"Bukankah di setiap lima waktumu dalam satu harinya kau sibukkan untuk berbicara kepada Tuhan? Meminta dan meminta agar anak yang masih di dalam surga itu Dia tiupkan ruh-nya segera ke dalam rahimmu?"
"Apakah dengan begitu aku berprasangka buruk kepada Tuhan?"
"Ya, kau pikir Dia tidak mendengarmu karena itu kau selalu mengulang-ngulang doa yang sama. Dan bukan hanya itu, jika kau kelak akan bosan, bukankah akhirnya kau pun akan berlari menjauhi-Nya? Lagipula, berapa banyak yang kau lalaikan hanya untuk meminta yang satu itu?"
"Aku tak akan pernah bosan."
"Tetapi kau sering menangis di hadapanku dan berkeluh kesah. Bukankah itu merupakan pertanda bahwa kau telah bosan?"
Ibumu hanya diam, Anakku. Seperti biasanya.
"Panggillah dia lewat hatimu, buah hati yang kau dambakan itu. Mungkin saja Ruh bakal anakmu itu terlalu nakal dan selalu bersembunyi ketika giliran waktunya telah tiba untuk menjadi mahluk malang yang bernama manusia. Mungkin dunia ini terlalu menakutkan baginya dan dia lebih memilih berlama-lama di ribaan Tuhan."
Apakah demikian, Anakku? Karena ayah pun tak pasti dan hanya membual di hadapan ibumu. Menurutku itu lucu, tapi memang bisa jadi benar. Kau terlalu nakal dan bidadari pengasuhmu itu terlalu sayang padamu hingga untuk memukul pantat permaimu atas kenakalanmu itu saja dia tidak akan tega.
Jika memang benar demikian, Anakku, akupun harus memukul kedua pantat permaimu itu karena kau tidak memiliki kepercayaan kepada kami: aku dan ibumu. Kau pikir ayahmu ini tidak akan sanggup membimbing sekaligus menjagamu? Merawatmu sejak kau keluar dari perut ibumu, memberikan segala yang kau butuhkan hingga engkau dapat mengginginkannya sendiri walaupun dengan menangis, menjauhkanmu dari hal-hal buruk dunia dan menyiapkanmu sebagai manusia yang baik kelak?
Memang, Anakku, dunia yang kini aku dan ibumu tinggali adalah dunia yang tidak akan bisa dibandingkan dengan tempat yang kau diami sekarang. Dunia yang kami tempati sekarang adalah dunia yang berbahaya dan menakutkan di mana kebaikan menjadi satu keping terkecil dari sebuah bulatan bernama keburukan. Tetapi yang sekeping kecil itu sebenarnyalah lebih berat timbangan nilainya dari seseluruhan keping yang besar. Sungguh, ayah akan menjadikanmu bagian dari kepingan yang kecil itu. Aku bersumpah dengan segala kemampuan dan kekuatanku. Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah ayah telah bersumpah?
Aku adalah ayahmu, Anakku, maka dengarkanlah. Tidakkah kaupun selalu dapat mendengarkan ataupun mencuri dengar doa-doa ibumua yang di bawa malaikat menuju Sidratul Muntaha di waktu-waktunya? Pun harapan-harapan yang sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan dari seorang perindu seperti aku, ayahmu?