- terinspirasi Woody Allen -
Pagi di sebuah kamar yang kering dan berbau muntah.
Dia :Â Hei! Buka matamu!
Aku :Â (menggeliat dan menguap) Hoaahm!
Dia :Â (menggerutu) Nah, kau mulai lagi. Apa kataku, otak lemahmu tidak cocok untuk tidur terlalu malam. Kemarilah! Ayo, bangkit dan kemarilah!
Aku :Â (menggaruk kepala dan mengerjap-ngerjapkan mata)
Dia :Â Ayo, kemari!
Aku :Â (baru dengan jelas melihatnya, heran) Hei, siapa kau?
Dia :Â Siapa, coba?
Aku : Aku belum pernah melihatmu (duduk di tepi pembaringan sambil mengucek-ucek mata) dan kapan kau pernah berkata padaku bahwa aku tidak cocok untuk tidur malam?
Dia :Â (tertawa)
Aku :Â O, pasti kau baru di sini. Ya, kau pasti baru di tempat ini. Kau akan tinggal pula di sini?
Dia :Â (tertawa) Kau lihat sendiri, aku sama saja dengan kau.
Aku :Â Ya, berarti kau pun baru. Baru kali ini pula aku melihatmu. Tapi..hmm, kau memang sepertinya tidak asing buatku.
Dia :Â Ya, ya..teruskan.
Aku :Â (bangkit dan mendekat) Aku seperti telah lama mengenalmu, terutama suaramu.
Dia :Â (tertawa) Otak lemahmu sedang berpikir? Sudah sejak kapan kau mulai berpikir lagi?
Aku :Â Maksudmu?
Dia :Â Kau dan otak lemahmu itu. Sejak kapan kau mulai bisa berpikir lagi? Setahuku, biarpun mempunyainya, otakmu itu tak pernah kau gunakan.
Aku :Â Kau pun tahu dengan otak lemahku? Wah..siapa kau, Saudara? Menarik sekali. Apakah kau akan tinggal di kamar ini pula?
Dia :Â Tidak penting. Tapi sejak kapan kau mulai berpikir lagi? Kau belum menjawabnya.
Aku : Hmm..aku tidak begitu yakin. Sejak pagi ini, mungkin, kalau kau memaksa ingin tahu. Aku bangun dengan segar dan gembira, tidak seperti biasanya. Mungkin karena disambut olehmu, Temanku. Eh, boleh kan, kau kupanggil teman?
Dia :Â Huhuy! (bersiul)
Aku :Â Kenapa? Kau tidak suka? Aku tulus. Aku jarang mempunyai teman.
Dia :Â Huhuy! (bersiul)
Aku :Â Kau aneh sekali, tapi justru aku semakin merasa bahwa kita memang pernah bertemu, entah di mana, atau mungkin kau bisa menjelaskannya padaku? Memang akhir-akhir ini otakku melemah dan aku sering sekali lupa. Kau tahu, kalau aku meletakkan tanganku ini di atas kepalaku, beberapa menit kemudian aku akan mencari-carinya (tertawa).
Dia :Â Kau sudah mengenalku, tentu saja. Aku teman semua orang sepertimu.
Aku :Â (tersenyum senang) Pantas saja, tapi aku memang benar-benar lupa. Kaupun seorang pelupa?
Dia :Â Tidak juga, tapi aku suka membuat orang lupa (tertawa).
Aku :Â (tertawa tapi tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud).
Dia :Â Kulihat semalam kau berdoa sebelum tidur. Satu pemandangan yang benar-benar baru buatku. Kau jadi anak manis, eh?
Aku :Â Semalam? Pemandangan baru? (menggaruk-garuk kepala) He, kau tahu dari siapa? Orang-orang itu yang menceritakannya? Atau kau memang telah mengamatiku sejak lama? Aku jadi benar-benar curiga.
Dia :Â Aku melihat sendiri, bahkan aku mendengar doamu yang putus-putus itu. Tapi terus terang, baru kali itulah aku melihatmu berdoa.
Aku :Â Kau salah, aku selalu berdoa. Kau hanya tidak mengenalku saja.
Dia :Â Ya, mungkin memang kau selalu berdoa.
Aku :Â Nah, jadi apa yang aneh dengan aku berdoa?
Dia :Â (berbisik) Doamu kosong.
Aku :Â (tertawa) Ah, kau memang jangkrik!
Dia :Â Jangkrik! (tertawa)
Aku :Â Jangkrik! (tertawa)
Dia :Â (wajahnya berubah bersungguh-sungguh) Tapi, sungguh..doamu kosong. Tidak ada getaran yang sama seperti jika seorang pendosa berdoa dan memohon dengan tulus. Kau seperti tukang obat keliling yang menawarkan sesuatu yang palsu.
Aku :Â Oya? Tahu apa kau tentang doa?
Dia :Â Entahlah, aku tak pernah berdoa.
Aku :Â Tapi kau berani menggugat doaku. Lucu.
Dia :Â (tertawa) Apa salahnya? Dengarlah, dengarlah..doamu begini kira-kira: Tuhan, maafkan aku, Tuhan ampuni aku, Tuhan sembuhkan aku..aku, aku, aku..sangat egois. Sementara, pasti Tuhan akan bingung, aku dalam doamu itu aku yang mana? Aku yang sedang berdoa atau aku yang selalu melakukan perbuatan buruk akibat bisikan-bisikan dalam kepalanya? Kau bahkan tidak berdoa untuk selain dirimu sendiri. Dasar egois!
Aku :Â Tentu saja aku boleh egois, itu toh doaku sendiri ..aku yang aku..tidak ada yang lain. Kau pernah melihat aku yang lain itu kah? Tidak ada , bukan?
Dia :Â Huh, kau masih bertanya? Orang-orang itu memang telah berhasil membuatmu jadi bodoh.
Aku :Â Ya...(bingung) sepertinya aku memang tidak tahu.
Dia :Â (menggelengkan kepala) Kau memang tidak tertolong..tapi aku menyukaimu. Sekarang andaikan saja kau mau menghentikan doa tiap malam-mu, aku akan menyembuhkanmu dari keadaanmu yang sekarang untuk kembali ke keadaanmu yang semula, tapi hentikan pula pil-pil itu.
Aku :Â Hmm..aku seperti pernah mendengar yang semacam ini. Eh, kau benar-benar belum pernah bertemu aku?
Dia :Â (masih menggeleng-gelengkan kepala, kini dengan iba) Kau memang tidak tertolong lagi. Baiklah.
Aku :Â Baiklah apa?
Dia :Â Baiklah, kau ingat-ingat saja dulu kenapa kau bisa sampai kemari.
Aku : Hmm..(mencoba mengingat)..sepertinya karena aku melakukan sesuatu yang buruk (bergumam).
Dia :Â Tidak, kau tidak melakukan sesuatu yang buruk. Akibatnya sajalah yang tidak bisa diterima sebagai sesuatu yang tidak buruk (tertawa).
Aku :Â Jadi?
Dia :Â Kau berbuat mengikuti suara-suara dalam kepalamu, bukan begitu?
Aku :Â Sepertinya..tapi kata mereka sekarang tidak akan pernah terjadi lagi. Aneh, padahal sebelumnya mereka berkukuh tidak mau percaya bahwa aku hanya menuruti suara-suara dalam kepalaku.
Dia :Â (seperti terkejut) Maksudmu?
Aku :Â Bukankah aku sudah sehat dan rajin minum pil?
Dia :Â Bodoh sekali! Kau pikir pil-pilmu itu apa?
Aku :Â Penyembuhku, mungkin?
Dia :Â Penyembuh dari apa, biar kutanyakan padamu.
Aku :Â (berpikir) Aku suka hilang ingatan, kata mereka. Lebih parah lagi memang suara-suara itu. Entahlah, mereka yang mengatakannya begitu. Aku sendiri tidak mengerti, mungkin saat-saat ingatanku hilang itulah ketidak mengertianku. Dengan meminum pil-pil itu, otakku bisa menjadi lebih segar. Atau apa, ya? Kau mau memberitahuku, Saudara? Aku panggil kau saudara saja, kau toh tidak suka dipanggil teman.
Dia :Â Hmm..hasilnya aku di sini (menepuk dada). Inilah hasil dari pil-pilmu itu. Aku di sini.
Aku :Â Maksudmu?
Dia :Â Ya. Hasilnya aku di sini karena kau kini tidak sebebas dulu untuk membiarkanku masuk ke dalam pikiranmu. Setidaknya pil-pil itu yang membuatnya.
Aku :Â (bingung) Aku tidak mengerti. Pagi ini kau sudah membuktikan bahwa kapanpun saja kau bisa masuk. Pintu itu terkunci dari luar dan kau sudah ada di sini..jangan-jangan kau memang salah satu di antara orang-orang itu.
Dia :Â Selamat, kau menjadi bertambah bodoh!
Aku : (garuk-garuk kepala)
Dia :Â Orang-orang sok itu merasa dirinya pintar dengan memberimu pil-pil untuk melenyapkan suara-suara dalam kepalamu. Mereka bermaksud baik, tapi salah dalam perhitungan. Mereka justru menciptakan sesuatu yang baru, satu visualisasi tentangku, untukmu. Untuk kita! (bertepuk tangan).
Aku :Â Jadi sebenarnya siapa kau?
Dia :Â Tidak penting. Asalkan kau dengarkan ide-ideku dan mematuhi rencana yang aku buat, hidupmu tidak akan sesuram ini lagi. Mungkin tubuhmu terkurung, tapi orang terkurung bukanlah orang yang tidak mampu berbuat apa-apa. Bukan begitu? Kita akan selalu bisa memainkan permainan kita yang menarik.
Pintu kamar diketuk, seseorang berteriak tentang waktu sarapan dan kemudian terlihat menu hari ini disorongkan melalui lubang kecil yang bisa dibuka dan ditutup hanya dari luar, di bagian bawah pintu.
Aku : (tersenyum girang) Sepertinya menarik mendengarkanmu.
Dia :Â Isi perutmu sebelum kau penuh dengan ide-ide dariku selanjutnya. Kita akan mulai lagi dari awal. (mengumpat tidak jelas tentang pil-pil yang disebutnya jahanam).
Aku :Â (nyengir) Baiklah. Tapi aku mau makan dulu..aku lapar. Emm..jatah siapa ini? Kenapa hanya satu? Pasti mereka lupa. Aku berikan untukmu saja kalau begitu, Saudara.
Dia :Â (menjulurkan lidah)Â Tidak perlu. Makanlah saja.
Aku : Kau tak makan?
Dia :Â (menggeleng dan tersenyum)
Aku :Â (nyengir) Ya sudah, aku sudah menawarimu (mulai makan dengan lahap).
Dia :Â Kau bisa semakin gemuk di sini.
Aku :Â Kenapa? (mulut penuh).
Dia :Â Lihat saja cara makanmu. Bagaimana bisa kau melakukannya? Kau bayangkan butiran nasi itu sebagai apa?
Aku :Â Ya sebagai nasi, apa lagi? (mulut penuh, menelan tergesa-gesa).
Dia : Pelan-pelan saja, memangnya kau mau kemana?
Aku :Â (menghabiskan semua dengan tidak tersisa hanya dalam beberapa menit) Aku tidak sabar akan mendengarkanmu.
Dia :Â Gila, memangnya aku pendongeng?
Aku :Â Kau bilang akan memberikan ide-ide dan permainan yang menarik. Terus terang aku benci, awalnya mereka berkata bahwa aku akan nyaman di sini. Kenyataannya, aku sering sekali dimasukkan ke kamar ini. Tidak jarang dengan dipukul dan diikatkan di atas ranjang (melihat ranjang dan bergumam) memang lebih mirip ranjang penyiksaan.
Dia :Â (tertawa) Ya. Tapi sebelumnya kutanya, kau sudah ingat semuanya?
Aku :Â Tentang apa?
Dia :Â Tentang kau sendiri, Bodoh!
Aku : O, sedikit banyak tentu aku sudah ingat, tentu saja dengan sedikit panduan darimu. Misalkan kau bertanya dan sedikit-sedikit aku akan mengingatnya, tapi kau harus membantuku pula mengingatnya. Yah, pasti karena obatku itu, pil-pil itu menolongku untuk mengubah aku menjadi aku yang baru dan aku tidak akan pernah dilanda lupa lagi. Sebentar lagi pasti mereka datang untuk memberikan bagianku untuk hari ini. Kau mau berbagi pil-pil itu denganku?
Dia :Â (ekspresi jijik) Kau memang jangkrik!
Aku :Â Jangkrik! (tertawa)
Dia :Â Jangkrik (tertawa)
Aku :Â Apa? Apa?
Dia :Â Ingatlah! (menatap tajam cukup lama) bicaramu malah melantur. Kau belum ingat juga?
Aku :Â Sedikit.
Dia :Â Kau ingat kawanan anjing yang menggonggong di sekitar rumahmu dan membuatmu tidak bisa tidur siang?
Aku :Â Anjing? Aku tidak suka anjing.
Dia : Aku tidak memintamu menyukai anjing, aku memintamu mengingat mereka.
Aku :Â (berpikir keras dan mengingat-ingat) Ada beberapa anjing...ya, ada beberapa anjing. Anjing-anjing kecil yang bermain di samping rumah. Ribut sekali.
Dia :Â Hmm..(mengangguk-angguk dan tersenyum)
Aku : Mereka binatang yang sangat ribut, bukan? Kau punya anjing?
Dia : Bodoh! Pikiranmu masih saja tidak fokus! Fokus! Fokus! Fokus!
Aku :Â (menggeram dan marah) Jangan membentak-bentakku! Siapa sih kau ini, Saudara? Lama-lama aku merasa kau semakin menyebalkan.
Dia :Â Bukan sebaliknya? Kau yang sebenarnya sangat-sangat menyebalkan.
Aku :Â Tidak, kau yang menyebalkan! Tiba-tiba saja kau ada di sini tanpa mau memberitahu siapa kau sebenarnya. Bukankah itu sangat-sangat tidak sopan dan tidak beradab?
Dia :Â (tertawa) Beradab?
Aku :Â Siapa kau sebenarnya? Jawab aku! (mendekat)
Dia :Â Aku adalah dirimu sendiri.
Aku :Â Jangkrik!
Dia :Â Kau yang jangkrik!
Aku :Â Apa maksudmu datang kemari, he? Kalau aku diberitahu sebelumnya bahwa aku akan mendapatkan teman sekamar yang menyebalkan sepertimu, aku pasti akan buru-buru menolak.
Dia :Â (tertawa) Kau lucu.
Aku :Â (memukul tembok) Kau aneh!
Dia :Â Baiklah, kita kembali menyusun ingatanmu saja. Apa yang menyebabkan kau ada di sini?
Aku :Â Itu lagi! Itu lagi! Sudah kubilang aku lupa!
Dia :Â Kau membenci anjing, bukan? Kau ingat dengan anjing-anjing kecil yang bermain di sekitar rumahmu?
Aku :Â (berteriak) Ya!
Dia :Â Anjing-anjing yang membuatmu sulit tidur?
Aku :Â Ya! Aku benci anjing! Aku tidak bisa tidur dan marah!
Dia :Â Anjing-anjing yang bergerombol di samping rumahmu itu?
Aku :Â (merasakan sakit yang amat sangat di kepala, berteriak-teriak makin keras) Ya! Mereka bergerombol di samping rumah dan menyalak..menggonggong..berisik sekali!
Dia :Â Apa yang kau lakukan pada mereka?
Aku :Â (menggeretakkan gigi, merasakan kemarahan dan sakit yang bertambah) Aku membunuh mereka! Aku bantai mereka! Aku tebas dengan parangku seperti menebas batang pohon pisang di kebun ayahku!
Dia :Â Ha! Lalu apa yang kau rasakan? Kau puas atau menyesal?
Aku :Â Aku puas! (berteriak-teriak dan berlompatan kesana kemari, membentur-benturkan tubuh dan kepala ke tembok)
Dia :Â (tertawa) Bagus! Dan karenanya mereka memasukkanmu kemari dan bergaul- dengan pil-pil itu. Begitu, bukan? Kau ingat?
Aku :Â (berteriak-teriak dan membentur-benturkan tubuh dan kepala ke tembok dengan berisik)
Terdengar kemudian langkah-langkah kaki yang berat dan suara pintu dibuka dengan tergesa-gesa. Beberapa orang masuk dengan gertakan yang keras dan langsung menangkap dan membantingku ke lantai. Sebuah pukulan benda tumpul di punggung dan sebuah sengatan di leher menaklukanku. Hanya dalam beberapa detik saja kedua kakiku yang meronta-ronta seperti tidak bertulang dan aku manda saja diseret dan dilemparkan ke atas pembaringan.
Dia :Â (tertawa) Kau tidak melawan?
Aku :Â (masih sedikit meronta) Tolong aku!
Dia : Sst! Setelah ini pil-pilmu akan semakin sering kau minum. Aku akan jarang mengunjungimu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti aku akan menemuimu lagi dan kita akan melakukan permainan yang asik lagi seperti membunuh anjing-anjing itu. Ah, kenapa kau diam saja? Lihatlah, beberapa anjing sedang mengikatmu. Kau benci anjing, bukan? Kenapa tidak kau bunuh mereka? Lihatlah, mereka anjing-anjing yang sangat besar dan ganas!
Aku :Â (berteriak-teriak dan meronta sekuat tenaga dalam pengaruh obat penenang yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah di leher) Tolong aku! (makin melemah, tapi pada satu kesempatan, leher salah satu dari anjing-anjing itu berada sangat dekat)
Dia :Â Ayo, jangan ragu-ragu! Terkam saja dengan mulut dan gigimu leher yang terbuka itu. Satu kesempatan yang bagus. Dan ingatlah, mereka memang berniat untuk membalaskan kematian anjing-anjing di samping rumahmu dulu itu dengan menahanmu di sini dan membuatmu menderita dan mati pelan-pelan..
Aku :Â (membuka mulut, sedikit mengangkat kepala dan mengigit leher salah satu anjing itu)
Darah menyembur kemana-mana. Mulut dan wajahku belepotan darah segar, sebagian bahkan memasuki lubang hidungku, tapi leher anjing itu semakin manis rasanya sehingga aku tidak juga melepasnya. Anjing yang malang itu menggelepar dan saat itu kurasakan sebuah hantaman melanda kepalaku. Rasanya seperti kejatuhan blarak kering dari pohon kelapa yang ada di belakang rumahku. Gigitanku terlepas dan anjing itu jatuh menggelosor ke lantai.
Dia :Â (tertawa) Kau memang jenius!
Aku :Â (pelan-pelan hilang kesadaran)
Dia :Â Selamat tidur, Saudara!
Cigugur, 12 Maret 2011
Note   : Sebuah persembahan buat bapakku, Basuki, seorang baik yang pertama memperkenalkanku dengan kata-kata dan seharusnya sedang berulang tahun ke- 64 hari ini.
(Semoga di surga para malaikat sudah menyiapkan pesta kejutan untuknya dan dia akan membalasnya dengan menceritakan cerita-cerita yang lucu, segar dan konyol seperti kebiasaannya sehingga para malaikat itu tertawa dan menjadi semakin menyayanginya...dengan catatan: kalau masuk surga).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H