Makhluk tak kasat mata yang bernama Covid-19 atau yang biasa di sebut dengan virus Corona telah menghancurkan berbagai lini kehidupan bangsa kita dari kesehatan, perekonomian, sosial bahkan pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi.Â
Kebijakan pendidikan mengharuskan institusi pendidikan termasuk sekolah dasar untuk tidak melakukan tatap muka di sekolah memperlambat akses pendidikan bagi generasi saat ini.Â
Bagi kelas 1 sampai dengan kelas 3 Sekolah dasar, hal ini adalah perubahan paradigma dan kebiasaan yang sangat riskan. Di usia tersebut para siswa mulai dikenalkan dengan dengan keaksaraan yang biasanya di bimbing oleh guru di sekolah dengan dukungan orang tua di rumah. Secara historis belum pernah kita mengalami permasalahan pendidikan yang sepelik ini.
Jika para pelaku pendidikan tidak menemukan solusi yang tepat di masa pandemi, bahkan seperti prediksi para ahli hingga tahun 2021, maka kita akan kehilangan satu generasi bangsa dalam mengenal aksara.Â
Fenomena ini tidak di lebih-lebihkan karena peran orang tua menjadi lebih vital karena hampir 100% waktu belajar siswa sekarang di rumah.Â
Namun kita tahu kondisi orang tua siswa sangatlah beragam, ada yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai namun kurang memiliki waktu karena orang tua harus bekerja dari pagi hingga petang.Â
Terkadang ada yang  memiliki keduanya yaitu waktu, intelektual namun kurang memiliki kemampuan pedagogik dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung frustasi dan mudah marah jika kemampuan pedagogi tidak dimiliki.Â
Baca juga : Jangan Samakan Aksara dengan Huruf
Lebih celaka lagi jika kedua orang tuanya tidak memiliki ketiga hal tersebut baik waktu, intelektual, pedagogi, karena tingkat pendidikan serta kondisi orang tua yang bekerja memenuhi kebutuhan di masa pandemi .Â
Maka dari berbagai kondisi tersebut perlu ada intervensi dari sekolah dan atau pemangku kebijakan pendidikan guna mengatasinya.
Ki Hajar Dewantara mengemukakan ada tiga pusat pendidikan yaitu Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Ketiganya harus saling bergandengan tangan menemukan solusi terhadap permasalahan pendidikan saat ini.Â
Memang terdapat ketimpangan karena komponen sekolah belum bisa berjalan secara normal, namun jika ada komitmen bersama antara ketiga komponen ini maka permasalahan akan lebih mudah diatasi seperti pepatah "Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing" solusi yang ingin ditawarkan dalam menghadapi permasalahan ini antara lain :
Konsep ini yang selalu didengungkan pemerintah baik pusat maupun daerah, sebagai contoh siswa kelas 1 yang baru mulai mengenal huruf angka kemudian menggunakan dalam kalimat sederhana bisa diajarkan melalui media youtube, vidio pembelajaran serta Whatsapp.Â
Kelebihan media daring ini adalah fleksibilitas waktu, serta jenjang pendampingan yang diberikan bisa terarah sesuai dengan teori pendidikan yang ada.Â
Namun pola pendidikan daring ini memiliki beberapa kelemahan antara lain belum mampu diterapkan di daerah yang sinyal internetnya masih lemah, atau di daerah yang kondisi masyarakatnya belum melek teknologi.Â
Baca juga : Mengajari Anak Batak Aksara Batak: Metode Sim-ak
Kelemahaman yang lain pada ketersediaan sarana prasarana dan pemanfaatannya. kita tahu beberapa siswa tidak memiliki telepon genggam, beberapa orang yang terkadang harus bekerja sampai malam sehingga telepon genggam baru bisa digunakan oleh siswa tersebut saat malam hari.Â
Jadi sebaiknya pembelajaran model daring ini harus di kombinasikan dengan luring misalnya penugasan melihat televisi edukasi atau melalui buku paket yang sebelumnya di bagikan.
Memanfaatkan komunikasi antara guru dan orang tua siswa dalam mengajar keaksaraan siswa
Kita harus memiliki pandangan yang sama bahwa orang tua selalu ingin memberi yang terbaik untuk anaknya. Memang beberapa orang tua memiliki kelemahan di waktu, intelektual, dan kemampuan pedagogi.Â
Fungsi sekolah adalah sebagai jembatan tersebut, ketika awal tahun ajaran baru pihak sekolah harus memiliki program dan panduan orang tua dalam mendidik anaknya kemudian disosialisasikan secara tatap muka sesuai protokol kesehatan atau melalui daring.
Konsep keaksaraan haruslah menumbuhkan rasa ingin tahu dan kosakata baru tiap hari melalui penididikan yang bermakna, bukan hanya menghafal huruf atau mengajarkan aksara yang belum sesuai jangkauan usianya.Â
Pemahaman seperti ini haruslah di induksikan sekolah pada orang tua sehingga sikap perilaku orang tua bisa mengajarkan keaksaraan dengan benar melalui teladan dan contoh-contoh setiap harinya.
Baca juga : Menelusuri Jejak Kuno Aksara di Nusantara
Mengembangkan komunitas masyarakat setempat mengajarÂ
Komunitas masyarakat belajar artinya ada keterlibatan masyarakat guna mengatasi permasalahan keaksaraan. Komunitas yang di bangun tidak harus berjumlah besar namun bisa dalam jumlah 2 atau 3 orang saja.
Misalkan seorang siswa yang rumahnya bertetangga atau bersaudara dengan orang yang bisa mengajari membaca menulis berhitung maka orang dewasa yang bisa mengajar haruslah berperan aktif pada pembelajaran keaksaraan ini, komunitas kecil seperti ini akan menekan resiko penularan wabah Covid-19 sekaligus memiliki manfaat transfer pengetahuan keaksaraan bagi anak usia belajar.
Pembentukan komunitas ini sangat bergantung pada komitmen pengajar dan siswanya, semakin tinggi komitmen yang yang dimiliki oleh orang tua, siswa dan masyarakat maka akan tinggi pula tingkat keberhasilannya.
Tentu kita ingin virus Corona akan segera pergi dari Bumi Pertiwi. Namun ibarat vaksin maka hendaknya kita memiliki payung agar kita bisa terus berjalan meskipun hujan deras melanda.Â
Demikian juga pendidikan keaksaraan harus terus dikembangkan meski dalam kondisi sulit sekalipun. Karena mendidik generasi di masa pandemi akan membekas di ingatan dan menjadi generasi yang luar biasa di masa depan
Aris Kukuh Prasetyo, S.Pd.M.Pd
Top 50 Guru Dunia 2020 (Global Teacher Prize)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H