Sabtu sore (25/01/2025), penulis berkunjung ke Kampung Madai Madai, salah satu pemukiman yang terdapat di Daerah Kunak, Sabah, Malaysia.
Sabah sendiri merupakan salah satu negara bagian di Malaysia yang terletak di ujung utara Pulau Kalimantan. Sedangkan Kampung Madai Madai persis berada di tepi muara sungai yang menghadap ke laut lepas Laut Sulawesi.
Dalam kunjungan ini penulis bertemu dan berbincang-bincang di sebuah warung sederhana dengan sekitar 40 warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di kampung Madai-Madai dan sekitarnya.
Sebagian besar dari mereka adalah WNI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bekerja sebagai nelayan dan pekerja kapal pada berbagai perusahaan perikanan di Sabah. Tidak sedikit di antara mereka adalah nelayan berpengalaman yang telah tinggal selama puluhan tahun di Sabah.
"Di sekitar kampung Madai Madai ini diperkirakan terdapat sekitar 300 orang WNI yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka tinggal menyebar di berbagai tempat. Kalau sekarang yang datang hanya 40 orang, hal itu dikarenakan yang lainnya sedang melaut. Biasanya mereka melaut bisa berhari-hari," papar Silaus Surya, seorang WNI yang sudah tinggal di Kunak selama lebih dari 30 tahun.
"Kalau saat bulan purnama, biasanya banyak nelayan yang tidak melaut. Sehingga pada saat itu kita bisa lebih banyak lagi menjumpai keberadaan mereka," tambah Silaus.
Ketika penulis tanyakan alasan mengapa memilih menjadi nelayan di Sabah dibandingkan di daerah asalnya di NTT, Silaus mewakili rekan-rekannya pun menjelaskan alasannya jauh-jauh merantau meninggalkan kampung halamannya.
Menurut Silaus, para WNI ini memilih menjadi nelayan dan bekerja pada berbagai perusahaan perikanan di Sabah karena tuntutan ekonomi.
Di daerah asalnya mereka tidak mungkin menjadi nelayan yang dapat memperoleh pendapatan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena kondisi perairan yang ganas dan keterampilan yang kurang memadai serta pendapatan yang kecil.
Di Sabah, dengan keterampilan yang terbatas, mereka dapat menjadi nelayan dengan upah minimum yang cukup memadai. Bahkan apabila mereka telah berpengalaman, apalagi bisa menjadi kapten kapal, maka pendapatannya bisa meningkat belasan hingga puluhan kali dari upah minimum.
"Jadi berapa pendapatan seorang nelayan yang menjadi pekerja di sebuah perusahaan perikanan?," tanya penulis
"Nelayan mula-mula yang tugasnya hanya bantu membantu, bisa memperoleh sekitar RM 1.000 -- RM 2.000 (sekitar Rp 3,5 Juta -- Rp. 7 Juta) per bulan. Kalau hasil tangkapan lagi bagus, bisa lebih dari itu. Mereka bisa dapat tambahan insentif dan persentase pembagian hasil" ujar Antoni, salah seorang WNI yang sudah lama dipercaya menjadi kapten kapal.
"Pendapatan tersebut relatif bersih karena makan dan minum selama bekerja di tanggung perusahaan," tambah Antoni.
Sebuah pendapatan yang tidak kecil bagi seorang nelayan pemula, apalagi bila dibandingkan dengan pendapatan yang tidak menentu di daerah asalnya.Â
Dengan keadaan seperti ini maka tidak mengherankan apabila banyak WNI dari berbagai daerah seperti NTT mencoba peruntungan dengan bekerja di Malaysia, termasuk di Sabah. Entah menjadi nelayan ataupun pekerja perkebunan sawit.
"Dengan pendapatan yang relatif cukup, apakah terdapat masalah yang dihadapi selama menjadi nelayan?," tanya penulis
"Permasalahan utama adalah keluarga. Pemerintah Malaysia tidak memberikan ijin tinggal bagi keluarga. Sehingga mereka harus tinggal di luar Sabah dan karenanya kami harus berpisah sementara untuk waktu yang lama. Karena kalau sering-sering kembali ke kampung halaman untuk bertemu keluarga, pendapatan kami bisa habis di ongkos," ujar Silaus.
"Tapi beruntung wilayah Kunak ini tidak jauh dari Pulau Sebatik, sehingga kemudian sebagian dari keluarga kami bisa menempatkan keluarganya di sana dan dikunjungi sebulan sekali," tambah Silaus.
Sebagai informasi, Pulau Sebatik adalah sebuah pulau yang terletak di perbatasan Indonesia -- Malaysia, antara Tawau dan Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan.
Tiga perempat bagian pulau ini merupakan wilayah Indonesia dan seperempatnya wilayah Malaysia. Terdapat transportasi laut yang menghubungkan Tawau -- Nunukan setiap harinya.
"Lalu permasalahan lainnya apa?," tanya penulis lagi
"Masalah lain sebenarnya terkait keamanan di laut, khusus di wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Filipina Selatan. Kerap terjadi ancaman gangguan dari para perompak terhadap para nelayan," ujar Silaus.
"Lalu bagaimana mengatasinya?," tanya penulis
"Beruntung saat ini pengamanan laut oleh tentara laut Malaysia dan Indonesia sudah sangat baik. Patroli bersama kerap dilakukan di perairan yang diperkirakan rawan ancaman. Kami pun sekarang dibekali dengan perangkat komunikasi yang lebih baik, sehingga bila muncul ancaman gangguan bisa langsung berkomunikasi dengan aparat keamanan. Selain itu, kami juga memiliki group untuk saling bertukar informasi, termasuk informasi mengenai kemungkinan terjadinya ancaman di laut," papar Silaus.
Usai berbincang-bincang dengan para WNI, penulis mengunjungi sebuah dermaga perikanan yang terletak tidak jauh dari warung tersebut. Dermaga tersebut berada di sebuah sungai yang tenang menuju laut lepas.
Di dermaga ini terlihat sebuah ruangan bertuliskan "Persatuan Nelayan Kawasan Kunak", yang tampaknya menjadi ruang kerja persatuan nelayan di kawasan tersebut. Tidak terlihat perlengkapan kerja seperti ruang perkantoran pada umumnya, selain meja dan kursi dan beberapa buku catatan.
Di tepi dermaga tampak beberapa kapal ikan tengah bersandar dan beberapa awak kapal tengah duduk bersantai.
"Iya kami baru kembali dari melaut tadi pagi. Makanya tadi bisa ikut berbincang-bincang dengan bapak," ujar seorang awak yang penulis jumpai dan tengah memainkan gawainya.
Menurut Antoni yang ikut mendampingi penulis menuju dermaga, kapal-kapal nelayan yang bersandar di dermaga ini hanya sebagian kecil saja. Kalau sedang ramai, seluruh kawasan sungai akan dipenuhi kapal-kapal yang sandar. Kapal-kapal tersebut merupakan milik perusahaan perikanan. Orang Indonesia disini hanya menjadi pekerja.
"Dulu, dermaga ini merupakan yang teramai di Kunak. Tapi sekarang tidak lagi karena sudah ada beberapa dermaga lainnya. Bahkan sebelum ada larangan dari pemerintah Indonesia, kapal-kapal yang bersandar di dermaga ini bisa berlayar hingga perairan Maluku. Di perairan Maluku banyak sekali ikan yang dapat ditangkap dengan cepat. Saking banyaknya, bahkan seluruh permukaan kapal bisa dipenuhi ikan tangkapan," jelas Antoni.
Menyusuri dermaga yang lantainya terbuat dari papan kayu, penulis melihat dua orang anak sedang asyik memasukkan sesuatu di sela-sela papan dermaga.
Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata anak tersebut tengah memasukkan alat pancing berupa seutas kenur.
"Kamu sedang memancing ikan, memangnya di kolong dermaga ada ikannya," tanya penulis memastikan.
"Iya, memancing. Ada banyak ikan di kolong dermaga ini. Itu beberapa ekor ikan yang sudah kami dapat," jawab si anak.
Penulis yang awalnya tidak memperhatikan keberadaan beberapa ekor ikan tersebut akhirnya menoleh ke tempat yang ditunjukkan oleh si anak.
Terlihat beberapa ekor ikan Baronang, jenis ikan air asin yang mendiami perairan laut dangkal dan memakan tumbuh-tumbuhan (rumput laut), dengan ukuran yang tidak terlalu besar tergeletak di lantai papan, masih hidup dan menggelepar-gelepar.
Karena memakan rumput laut, ikan Baronang disebut pula sebagai rabbitfish dalam Bahasa Inggris. Dan karenanya juga, Baronang menjadi salah satu ikan yang menjadi favorit bagi para pemancing di laut.
"Wah asyik ya. Itu umpan rumput lautnya darimana?," tanya penulis
"Ini rumput laut yang kami ambil dari dinding kapal yang sedang sandar," jawab si anak sambil menunjuk sejumput rumput laut segar berwarna hijau.
"Agak susah juga mendapatkan rumput laut dari dinding kapal. Jadi kami berharap dari umpan rumput laut yang sedikit ini bisa mendapat ikan sebanyak-sebanyaknya, " tambah si anak.
Penulis perhatikan, alat pancing yang digunakan terdiri dari sebuah mata kail bercabang lima berukuran agak besar yang disambungkan ke seutas kenur. Menariknya, rumput laut yang digunakan sebagai umpan tidak dipasang pada ujung mata kail, melainkan dipasang di pangkal kail.
"Saat umpan dimakan oleh ikan, kami akan segera menariknya dengan cepat. Biasanya saat ditarik, mata kail akan menyangkut pada bagian samping kepala ikan. Bukan menyangkut di mulut ikan," jelas si anak.
"Jadi sekali tarik, bisa saja dua ekor tersangkut di mata kail secara bersamaan," tambah si anak.
Tidak terasa waktu menjelang senja dan penulis pun harus mengakhiri kunjungan pada sore hari ini. Semoga pada kunjungan berikutnya bisa ikutan memancing atau melihat nelayan menangkap ikan agak di tengah laut. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI