"Hijrah Nabi Muhammad SAW dan Kemerdekaan Republik Indonesia mengajarkan kita arti kebebasan, kesetaraan dan penghapusan segala bentuk keterbelakangan,' (Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi Ph.d, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Instagram BPIP 20 Agustus 2020)
Hari ini Kamis 20 Agustus 2020 bertepatan dengan 1 Muharram 1442 Hijriyah, tanggal yang menandai pergantian Tahun Baru Hijriyah dalam kalender Islam. Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam merupakan suatu hari yang menandai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam yaitu memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Kota Makkah ke Yatsrib (kemudian berubah menjadi Madinah) pada tahun 622 Masehi. Hijrah yang menjadi titik tolak perjuangan menuju kemandirian dan kedaulatan umat Islam yang diawali dari kota Madinah.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan masyarakat baru di bawah kepemimpinannya.
Masyarakat baru di Madinah merupakan masyarakat majemuk, yang berasal dari suku-suku atau kabilah seperti pertama, kaum Muslim yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar sebagai mayoritas.Â
Kedua, kaum musyrik yang berasal dari suku Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam sebagai golongan minoritas. Ketiga adalah kaum Yahudi yang berasal dari Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah.
Untuk membedakan dengan kalender Masehi yang sudah terlebih dahulu berlaku dan berpatokan pada peredaran bumi mengitari matahari, maka perhitungan kalender hijriah mengacu pada peredaran bulan mengitari bumi.Â
Tidak mengherankan, meski sama-sama memiliki 12 bulan dalam setahun, namun jumlah harinya tidak sama. Apabila tahun masehi memiliki 365-366 hari dalam setahun, maka dalam tahun hijriyah terdapat 354-355 hari dalam setahun.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia memperingatinya sesuai dengan tradisi dan cara masing-masing, tak terkecuali umat Islam di Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya dan tradisi.
Di Indonesia, pergantian tahun baru Hijriyah biasanya diperingati dengan beragam kegiatan seperti pawai obor keliling kampung sambil bershalawat ataupun berdoa, melakukan kirab kebo bule seperti yang dilakukan masyarakat di Surakarta, dan mubeng banteng atau keliling benteng keraton Yogyakarta yang dilaksanakan oleh ratusan abdi dalem keraton berkeliling lingkungan keraton yang kemudian diikuti oleh warga.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan pergantian Tahun Baru 1442 Hijriyah tahun ini memang tidak dirayakan meriah karena pandemi Covid-19. Namun demikian maknanya tidak berkurang.Â
Bahkan tahun ini terasa lebih istimewa karena Tahun Baru Hijriyah 1442 Hijriyah sangat berdekatan Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2020.
Istimewa karena bila ditarik benang merahnya terdapat kesamaan  antara peristiwa Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan Proklamasi Kemerdekaan RI. Ada kesamaan untuk mencapai kebebasan, kesetaraan dan menghapuskan keterbelakangan di tengah kehidupan masyarakatnya yang majemuk dan terdiri dari beragam suku bangsa.
Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada 1442 Hijriyah mengingatkan umat pada sikap istiqamah atau teguh pendirian Nabi Muhammad SAW yang tetap berjuang menyebarkan Islam meski menghadapi berbagai rintangan, hambatan dan ancaman. Hijrah juga mencerminkan kecerdasan pemikiran Nabi dalam perjuangan dakwahnya, menyebarkan agama Islam di tengah keterbatasan dan umat Islam yang masih sangat sedikit jumlahnya. Â
Sementara Proklamasi Kemerdekaan RI merupakan pintu gerbang menapaki jembatan emas pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Sesuatu yang mungkin tidak terbayangkan pada saat itu, mengingat kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, terpisah-pisah secara geografis antara satu suku/daerah dengan suku/daerah lain dan tidak memiliki teknologi militer yang dapat digunakan untuk melawan tantara penjajah.
Persamaan semangat hijrah dengan proklamasi kemerdekaan RI menjadi penting untuk dipahami karena seperti dikatakan Kepala BPIP "mengajarkan kita arti kebebasan, kesetaraan dan penghapusan segala bentuk keterbelakangan". Secara politik ada kesamaan dengan semangat proklamasi kemerdekaan dan nilai-nilai Pancasila yang merupakan fasalafh dan dsar negara Indonesia.
Nabi Muhammad SAW yang hijrah ke Madinah dihadapkan pada tantangan untuk membangun negara dengan mempersatukan masyarakat Madinah yang saat itu sangat plural baik dilihat dari agama maupun suku warganya. Disamping umat Islam, ada penganut Nasrani dan Yahudi. Juga dari sisi suku atau kabilah ternyata sangat banyak dan beragam tradisi dan budayanya.
Meski mayoritas penduduk Madinah adalah umat Islam, namun Nabi Muhammad SAW tetap menghormati suku bangsa lain yang tinggal di Madinah namun tidak menjadikan Islam sebagai agamanya. Lahirlah kemudian perjanjian yang disebut Piagam Madinah.Â
Piagam ini diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia.
Proklamasi Kemerdekaan RI dan Pancasila adalah contoh terbaik bagaimana masyarakat Indonesia meneladani jejak Nabi Muhammad SAW yang berhasil mempersatukan masyarakatnya tanpa pertumpahan darah.
Para tokoh pendiri bangsa dan negara berhasil menjadikan Indonesia mewujudkan Piagam Madinah di jaman modern melalui penetapan Pancasila sebagai ideologi dan. dasare negara Indonesia.
Apabila kita melihat bagaimana perbedaan agama dan suku dikelola, maka kita akan menjumpai anyak kesamaan antara Pancasila dengan Piagam Madinah. Masyarakat Madinah ternyata bukan saja berhasil membangun toleransi, akan tetapi juga bekerjasama membangun kesejahteraan seluruh warganya, sekaligus melindungi dan memajukan negara.Â
Begitupun dengan Pancasila yang berhasil mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam dan berupaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Para tokoh pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa meski mayoritas pendudiuk Indonesia adalah Muslim, namun ada penganut agama lainnya yang juga harus diakomodir dan dihormati hak-haknya.Â
Karena pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta ingin agar nilai-nilai Islam dapat menggarami kehidupan budaya bangsa, hingga akhlak mulia dan keadilan dapat ditegakkan secara nyata. Islam tidak mesti ditunjukkan via simbol-simbol, tapi dapat juga disubstansialisasikan dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Memahami peta sosiologis dan antropologis bangsa Indonesia, Hatta kukuh menggulirkan Islam garam dengan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya". Sila pertama itu kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Meski awalnya ditentang, akhirnya keputusan Hatta itu dapat diterima berbagai pihak. Sebagai seorang negarawan yang cukup arif, Hatta tidak ingin memisahkan Islam dari kehidupan bangsa Indonesia dengan dihapusnya kata itu. Hatta justru melihat bahwa spirit Piagam Jakarta tetap terkandung dalam sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa", meskipun kata syari'at Islam tidak dicantumkan di situ. Hatta mengedepankan substansi dan menyimpan simbol jika simbol pada akhirnya melahirkan ketidakharmonisan horizontal.
Melalui proklamasi kemerdekaan RI dan berkat Pancasila, Indionesia berhasil menyatukan masyarakat yang majemuk menjadi sebuah negara dan bangsa yang memiliki kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warga Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang bersuku-suku dengan beragam kerajaan dan kesultanan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga Pulau Rote, berhasil bersatu dalam negara kesatuan RI.
Kemerdekaan yang direbut secara mandiri dari tangan penjajah menjadi salah satu faktor penguat persatuan bangsa. Daya tahan masyarakat Indonesia menjaga persatuan dan kesatuan NKRI sejauh ini sudah cukup teruji bila dibandingkan dengan negara lain seperti India, Uni Soviet ataupun Yugoslavia.
India yang memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Inggris pada 15 Agustus 1947 justru terpecah dengan terbentuknya Pakistan yang berpenduduk Muslim sehari sebelumnya, 14 Agustus 1947. Pakistan sendiri pun kemudian terpecah setelah negara bagian Pakistan Timur berpisah menjadi negara baru bernama Bangladesh pada 1971.
Uni Soviet, sebuah negara adi daya pada masa Perang Dingin, bubar dan terpecah belah menjadi beberapa negara setelah Perang Dingin berakhir pada 1989. Begitupun dengan Yugoslavia yang juga bubar setelah wafatnya Jenderal Josep Broz Tito.
Jadi sesungguhnya nikmat mana lagi yang kau dustakan ketika masyarakat Indonesia telah merdeka dan memiliki Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Janganlah berpikir untuk menodai kemerdekaan yang telah diraih dan diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa selama berabad-abad. Jangan berpikir untuk mengubah NKRI dengan bentuk negara lain ataupun menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain.
Mari jadikan tahun baru hijriyah sebagai momen bersejarah hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Jadikan semangat hijrah sebagai momen berpindah dari keadaan yang tidak baik di suatu tempat ke tempat lain untuk menggapai keadaan yang lebih baik.
Jadikan suasana pandemi Covid-19 sebagai momen untuk meneguhkan semangat mengisi kemerdekaan melalui gotong royong, holopis kuntulk baris, dan melaksanakan Pancasila dalam tindakan dengan sepenuh hati. Yakinlah kita semua bisa keluar dari krisis pandemi sebagai pemenang. Â
Bekasi, 20 Agustus 2020, 1 Muharram 1442 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H