"Pada saat menjelang sidang PPKI yang dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB, memang terdapat tuntutan untuk menghapus tujuh kata  pada sila pertama Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tuntutan tersebut datang dari para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur pada sore 17 Agustus 1945 melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang disampaikan kepada Wakil Ketua PPKI Mohammad Hatta, sehari sebelum siding PPKI," tutur Bung Karno mengawali penjelasannya.
"Pada awalnya, Bung Hatta yang menjabat sebagai Wakil Ketua PPKI menjelaskan bahwa kalimat yang mewajibkan penerapan syariat Islam bukan diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Apalagi, kalimat itu juga telah disetujui AA Maramis yang merepresentasikan kelompok non-Muslim di Panitia Sembilan. Namun penjelasan Bung Hatta tak berbuah hasil. Opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen dan Katolik akan tetap bersikukuh meminta tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Jika kalimat itu tetap dipertahankan, mereka mengancam Indonesia Timur tidak akan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan," cerita Bung Karno lebih lanjut.
"Setelah berusaha maksimal untuk meyakinkan, namun tidak berhasil, kulihat Bung Hatta akhirnya mengalah dan berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang PPKI. Bung Hatta sadar jika republik yang baru diproklamasikan pecah, maka Belanda akan mudah kembali menjajah. "Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai," begitu cerita Bung Karno.
"Esok paginya sebelum rapat PPKI dimulai, kulihat Bung Hatta mendiskusikan tuntutan para pemuka agama Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur bersama sejumlah tokoh Islam. Mereka yang terlibat ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo. Perundingan berlangsung sengit dan tegang. Semula tokoh-tokoh Islam sukar menerima tuntuntan para pemuka agama Katolik dan Kristen dari Indonesia Timur. Namun akhirnya mereka mengalah karena saat itu republik membutuhkan persatuan untuk mendapat dukungan dan simpati dunia," cerita Bung Karno lebih lanjut.
"Salah satu tokoh Islam yang saat itu paling bersikeras menolak penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ialah Ketua Umum Muhammadiyah sekaligus anggota Panitia Sembilan Ki Bagus Hadikusumo," cerita Bung Karno kemudian.
"Sebagai Ketua PPKI, aku kemudian meminta Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan PPKI. Selain Kasman, aku juga meminta Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Mr Iwa Kusumasumantri, dan Mr. Ahmad Subarjo sebagai anggota tambahan PPKI," tutur Bung Karno.
"Namun untuk Kasman aku memberikan tugas khusus untuk membujuk Ki Bagus Hadikusomo agar berkenan menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Aku percaya Kasman yang juga warga Muhammadiyah dapat melunakkan pendirian Ki Bagus. Sebab lobi sejumlah tokoh Islam seperti K.H Wachid Hasjim, Teuku M.Hasan, hingga Bung Hatta tidak mampu melunakan pendirian Ki Bagus mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta," tuture Bung Karno.
"Kenapa bukan Bung sendiri yang membujujk Ki Bagus Hadikusumo?" tanyaku
"Aku tidak ingin terlibat dalam proses lobi menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta karena aku sebagai Ketua PPKI dan terutama sebagai peserta dari Panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta, aku merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya," jawab si Bung dengan nada berat
"Dengan berat hati, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun dengan syarat mengganti bunyinya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa," tutur Bung Karno kemudian.
"Kalau kemudian sekarang ini ada yang mempersoalkan kembali masalah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, ada baiknya mengingat jas merah, jangan sesekali melupakan sejarah. Para tokoh agama Islam pada saat itu dengan penuh kesadaran rela berkorban untuk menghapuskan ketujuh kata tersebut karena ingin mempertahankan keutuhan NKRI. Tidak ingin terjadi konflik internal yang berkepanjangan dan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa dan negara," ujar Bung Karno.