"Bagaimana, apa yang ingin bro tanyakan? Sepertinya ada keingintahuan yang mendalam," ujar Bung Karno dengan gaya bertutur kata seperti anak muda jaman now, namun tetap dengan tutur kata yang rapih dan teratur.
"ehmm ... begini Bung, pertama, kenapa Bung kerap disebut sebagai Putra Sang Fajar? Apakah benar Bung dilahirkan saat fajar merekah? Kedua, aku ingin tanya tentang Pancasila. Bagaimana Bung melihat penerimaan masyarakat terhadap Pancasila sekarang ini? Bagaimana menyikapi pandangan sebagian anggota masyarakat yang ingin mengganti ideologi Pancasila atau mempersoalkan kembali penghapusan tujuh kata dalam sila pertama yang tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945," tanyaku.
Dengan tersenyum penuh arti, Bung Karno mengangguk-angguk mendengar pertanyaanku itu.
"Oke bro ... aku jawab satu persatu pertanyaannya," jawab Bung Karno sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Ia memulai jawabannya tetap dengan gaya kekinian dan santai. Tidak terlihat sikap yang berpura-pura hanya untuk menjaga wibawa.
"Mengenai pertanyaan mengapa aku disebut sebagai Putra Sang Fajar, aku teringat akan perkataan ibuku di suatu pagi. Ia mengatakan "Anakku, engkau sedang memandang matahari terbit. Dan engkau, anakku, kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu, karena ibu melahirkanmu di saat fajar menyingsing. Â Kita orang Jawa memiliki suatu kepercayaan, bahwa seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah digariskan sebelumnya. Jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang fajar," ujar Bung Karno ketika menceritakan penuturan ibunya.
"Ketika aku lahir, saat itu bukan hanya awal dari hari yang baru, tetapi juga awal dari dari abad yang baru. Aku dilahirkan pada tahun 1901. Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman yang gelap. Sebaliknya zaman sekarang bagi mereka adalah zaman penuh semangat di dalam pasang naiknya revolusi kemanusiaan," tutur Bung Karno.
"Oh ternyata sebutan Putra Sang Fajar berasal dari ibunda tercinta Bung Karno sendiri. Dan sebutan tersebut merupakan doa seorang ibu untuk kemuliaan hidup anaknya," simpulku dalam hati.
"Mengenai pandanganku terkait penerimaan masyarakat terhadap Pancasila, aku melihat bahwa dibandingkan waktu-waktu sebelumnya, sekarang ini ada kegairahan baru untuk kembali mempelajari dan memahami nilai-nilai Pancasila serta mendorong upaya untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara," jelas Bung Karno
"Maaf, bisa dijelaskan lebih lanjut Bung?," tanyaku menyela penjelasan si Bung.
"Begini bro, sejak Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk pada tahun 2018, aku senang bahwa obrolan mengenai Pancasila kembali bergairah di ruang-ruang publik. Karena setelah Suharto yang menggantikanku tidak lagi berkuasa di tahun 1998, sejak itu terjadi kekosongan pembelajaran Pancasila di ruang publik. Seperti ada ketakutan ketika mesti membicarakan Pancasila yang dipandang sebagai warisan Suharto," jelas Bung Karno.
"Meningkatnya kegairahan untuk membincangkan kembali Pancasila tampak dari banyaknya kegiatan dan diskusi menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Media cetak dan elektronik ramai memperbincangan Pancasila di halaman mereka. Percakapan mengenai Pancasila di media sosial juga ramai. Webinar-webinar Pancasila berlangsung hampir setiap hari dengan isu yang beragam, mulai dari Pancasila menghadapi Covid-19 hingga Pancasila menghadapi ideologi-ideologi lain, termasuk menghadapi ideologi yang sudah jelas dilarang dan tidak diperkenankan untuk bangkit kembali," lanjut Bung Karno.