Pernyataan sikap Menlu RI mengenai posisi Indonesia di Laut Natuna Utara sudah sangat jelas. ZEE Indonesia di perairan Natuna diakui hukum internasional berdasarkan UNCLOS 1982 dan Indonesia tidak mengakui nine dash line yang tidak memiliki dasar hukum internasional.
Begitupun pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang sangat tegas bahwa tidak ada negosiasi mengenai perairan Natuna. Indonesia menolak perundingan bilateral dengan Tiongkok karena memang tidak ada sengketa. Laut Natuna Utara mutlak milik Indonesia secara hukum.
Kedua pernyataan tersebut di atas kiranya bisa menjadi panduan bagi para pejabat tinggi di Indonesia dalam menyatakan posisi Indonesia mengenai Laut Natuna Utara. Kiranya jangan sampai ada pejabat yang menyatakan hal lain yang melemahkan pernyataan kedaulatan Indonesia.
Tidak berkompromi mempertahankan kedaulatan belumlah cukup dengan pernyataan. Harus ada tindakan nyata berupa penguasaan efektif atas setiap jengkal wilayah demi wibawa negara yang saat ini sedang diuji.
Sepanjang Desember 2019 dan Januari ini saja Indonesia kembali diuji dengan kehadiran kapal-kapal nelayan Tiongkok di perairan Natuna yang dikawal kapal penjaga pantainya.
Menghadapi hal tersebut tentu saja seluruh elemen bangsa mesti bersatu padu untuk menghadapi dalam satu komando, tidak boleh mengambil tindakan sendiri-sendiri yang justru merugikan kepentingan bangsa.
Kedua, menyamakan pandangan bahwa perbedaan pendapat antara Indonesia dan Tiongkok di perairan Natuna sebisa mungkin tidak memunculkan konflik militer yang dapat merusak Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia -- Tiongkok yang sudah terjalin selama 70 tahun ini. Menghindari konflik militer bukan berarti berdiam diri dan tidak melakukan perlawanan.
Perlawanan dapat dilakukan melalui jalur diplomasi dan tanpa ragu menghadirkan semua mesin perang di wilayah perairan Natuna. Sebagai negara hukum, kita bisa menyeret kapal-kapal asing pencuri ikan itu ke meja hijau untuk kemudian ditenggelamkan.
Diplomasi dikedepankan karena menyadari bahwa Indonesia dan Tiongkok sama-sama memiliki kepentingan strategis yang besar. Bagi Tiongkok, Indonesia merupakan salah satu mitra dagang potensial. Selain perdagangan, Â investasi Tiongkok juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sementara bagi Indonesia, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar di dunia dimana menurut data Kementerian Perdagangan total perdagangan bilateral  pada 2018 mencapai US$ 72,t milyar (ekspor sebesar US$ 27,1 milyar dan impor US$ 45,5 milyar atau defisit US$ 18,4 milyar di pihak Indonesia).
Ketiga, perlunya menghapus kesan atau narasi bahwa perdagangan Indonesia sangat tergantung pada Tiongkok. Indonesia harus membangun narasi bahwa justru perdagangan Tiongkok yang membutuhkan Indonesia.