Mohon tunggu...
Aris Dwi Nugroho
Aris Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang selalu ingin menjadi pembelajar sejati untuk menggapai kebahagiaan hakiki.

Email: anugrah1983@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Perlu Ada Penambahan Waktu Sekolah untuk Penguatan Pendidikan Karakter

18 Juli 2017   12:30 Diperbarui: 18 Juli 2017   12:57 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, dunia pendidikan Indonesia diramaikan dengan pro kontra masalah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud tersebut telah kita ketahui bersama menetapkan waktu kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung lima hari dari Senin hingga Jumat, dengan alokasi waktu 8 jam setiap harinya, yang dalam rencana sebelumnya akan diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018 saat ini.

Namun, setelah memperhatikan aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, termasuk ormas-ormas Islam di dalamnya, Presiden Joko Widodo membatalkan Permendikbud tersebut. Sebagaimana pernyataan Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi, yang dikutip oleh Kompas.com (19/6/2017) menyatakan bahwa "Permen tersebut tidak akan diberlakukan". "Yang pasti nanti bukan dalam bentuk permen lagi", tambah Johan Budi.

Setelah membatalkan Permendikbud yang banyak menimbulkan penolakan ini, Presiden Joko Widodo akan melakukan evaluasi dan menata ulang kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Terlepas dari bagaimana hasil Peraturan Presiden yang saat ini rancangannya sedang disiapkan, apakah akan tetap mengadopsi kebijakan sekolah 8 jam setiap harinya selama 5 hari, melalui tulisan ini, pertama saya ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden Joko Widodo atas sikap responsif beliau dalam memperhatikan aspirasi dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat yang tidak lain bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan nasional negara tercinta ini.

Selanjutnya, di masa-masa proses berlangsungnya evaluasi dan penataan ulang Permendikbud tentang hari sekolah saat ini, ada sebuah harapan besar saya terhadap proses evaluasi dan penataan ulang tersebut, sekiranya dapat menghasilkan sebuah rancangan peraturan presiden yang berisi sebuah desain program penguatan pendidikan karakter yang dapat benar-benar berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional, khususnya dalam penguatan karakter para siswa, tanpa adanya penambahan waktu sekolah dalam setiap harinya.

Proses pendidikan yang dilakukan oleh pihak sekolah di Indonesia yang selama ini berlangsung antara 5 -- 6 jam setiap harinya, sebenarnya telah dianggap cukup untuk proses pendidikan karakter para siswa, yang telah didukung oleh proses pendidikan keluarga dan masyarakat selama berada di luar sekolah. 

Tahapan pendidikan yang selama ini dilaksanakan di sekolah pun, yang dapat diklasifikasikan ke dalam kegiatan perencanaan/persiapan, proses, dan evaluasi, sudah terbilang tepat. Namun yang harus lebih mendapat perhatian khusus adalah pengoptimalan waktu dan tahapan yang ada. Dimana sekiranya waktu yang ada dapat dioptimalkan untuk melakukan sebuah upaya yang benar-benar seluruhnya berorientasi pada terwujudnya pendidikan yang komprehensif, yaitu pendidikan yang oleh Ki Hajar Dewantoro didefinisikan sebagai sebuah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Sebuah daya upaya yang tidak hanya sekedar transfer of knowledge(transfer pengetahuan), melainkan juga transfer of values(transfer nilai).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan waktu dan tahapan yang ada untuk mewujudkan pendidikan yang komprehensif, khususnya pendidikan karakter adalah dengan cara mengintegrasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai karakter di setiap tahapan pendidikan di sekolah, dari mulai perencanaan/persiapan, proses, sampai dengan tahap evaluasi.

Tahap Perncanaan/Persiapan

Dalam tahap perencanaan/persiapan ini, pengoptimalan harus diawali dari diri seorang pendidik itu sendiri. Seorang pendidik harus menyadari bahwa profesi yang dijalani itu adalah sebuah amanah besar dari negara untuk mencetak para generasi penerus yang berkarakter, sesuai dengan nilai-nilai karakter yang berlandaskan budaya bangsa yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), yaitu; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Sebelum menanamkan nilai-nilai karakter tersebut pada diri para siswa, terlebih dahulu seorang pendidik harus menginternalisasikan dan menanamkannya pada dirinya sendiri. Mustahil akan tertanam nilai religius pada diri para siswa, jika nilai tersebut belum tertanam pada diri seorang pendidiknya. Tidak mungkin seorang pendidik akan dapat mendidik siswanya menjadi seorang yang jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, dan lain sebagainya, apabila nilai-nilai tersebut tidak terdapat pada dirinya. Karena dia adalah teladan bagi para siswanya, sebagaimana Rasulullah SAW menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang pendidik dapat memberikan teladan yang baik bagi para siswanya, sejauh itu pula tingkat keberhasilan proses pendidikan yang dilakukannya. (Zakiah Darajat,  2012: 41).

Selain itu, tahap perencanaan ini juga bukanlah hanya sekedar menyusun kurikulum sebagai pemenuhan formalitas dokumen belaka. Penyusunan kurikulum ini harus dilandasi dengan niat yang tulus dan tidak menjadikannya sebagai sebuah beban. Penyusunan kurikulum merupakan sebuah upaya merencanakan berbagai hal yang terkait dengan pengalaman yang akan diberikan kepada siswa selama mengikuti program pendidikan di sekolah. Selain itu, dalam penyusunan kurikulum ini bukan hanya sekedar merencanakan kegiatan transfer of knowledge, namun harus direncanakan juga berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mentransfer nilai-nilai karakter selama berinteraksi dengan siswa. 

Kurikulum dalam hal ini bukan hanya dipahami dengan menggunakan paradigma klasik, sebagai sebuah perencanaan kegiatan yang terbatas pada ruang kelas. Namun, kurikulum harus dipahami dengan menggunakan paradigma modern, yang oleh Oliver (1977: 32) didefinisikan sebagai program pendidikan untuk mendapatkan pengalaman belajar yang dirancang lembaga pendidikan untuk diikuti siswa yang meliputi program studi, program pengalaman, program pelayanan dan kurikulum tersembunyi. Sehingga, seluruh interaksi yang terjadi terhadap pribadi siswa, baik yang dilakukan oleh pendidik, maupun seluruh elemen yang berada di lingkungan sekolah (tenaga administrasi, tenaga kebersihan, tenaga keamanan, dan lain sebagainya), tidak dapat dipisahkan dari kurikulum, yang tentunya harus didesain untuk mendukung penanaman nilai-nilai karakter siswa.   

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tahap perencanaan/persiapan merupakan sebuah tahap yang bukan hanya sekedar mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan dokumen semata, namun proses internalisasi nilai-nilai karakter pada diri pendidik dan seluruh elemen sekolah menjadi sesuatu yang harus dilakukan, dan semua itu harus termanifestasi di setiap interaksinya dengan siswa.

Tahap Proses

Tahap proses merupakan sebuah tahapan inti dari sebuah pendidikan di sekolah. Dimana pendidik akan berinteraksi secara langsung dengan para siswanya selama di sekolah untuk menjalani sebuah proses pendidikan. Pada tahap ini, seluruh perilaku pendidik harus selalu mencerminkan nilai-nilai karakter, dan mengintergrasikannya di setiap interaksinya dengan siswa, baik di dalam kelas, maupun di luar kelas. Sehingga interaksi pendidik dengan siswa, bukan hanya sebatas transfer of knowledge,namun terjadi pula transfer of values.

Selanjutnya, seorang pendidik harus memahami bahwa tahap proses ini bukanlah hanya sekedar fokus terhadap standar kurikulum yang telah ditetapkan, tetapi lebih dari itu dalam pelaksanaannya memiliki esensi-esensi dasar yang harus dikembangkan oleh setiap pendidik, yaitu melandasi seluruh aktivitas pelaksanaannya dengan cinta dan kasih sayang. Karena dengan cintalah hubungan pendidik dengan siswa akan harmonis. Cinta dan kasih sayang akan melahirkan kelembutan, kesabaran, penerimaan dan sikap postif lainnya yang akan menjadikan siswa memiliki kepribadian yang baik dan berkarakter.

Selain upaya lahiriah yang dilakukan pada tahap proses ini, seorang pendidik juga tidak boleh mengabaikan upaya batiniahnya. Dia harus mengawali pelaksanaan tahapan proses ini dengan sebuah niat suci, semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Selanjutnya memohon pertolongan kepada-Nya agar seluruh upaya yang dilakukannya mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan bagi para siswanya. Dan setelah melaksanakan tahap proses ini, seorang pendidik senantiasa harus menghadirkan para siswanya di setiap doanya, agar seluruh rangkaian proses pendidikan di sekolah dapat memberikan manfaat dan keberkahan dalam kehidupan pribadi dan para siswanya.

Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi merupakan sebuah tahapan untuk melihat tingkat keberhasilan proses pendidikan yang telah dilakukan secara berkala. Idealnya dalam tahap evaluasi ini, pendidik tidak hanya mengevaluasi siswa, namun harus pula mengevaluasi pribadinya dari berbagai aspek, baik aspek lahiriah, maupun aspek batiniahnya. Di luar program evaluasi yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah yang tidak menjangkau domain afektif, pendidik dapat melakukan evaluasi secara berkala bersama-sama dengan siswa terkait dengan proses transfer of values. Berikan sentuhan-sentuhan spiritual di dalam hati siswa, agar siswa dapat melihat pribadinya secara objektif dengan penuh kejujuran dan keterbukaan. 

Selain itu, pendidik pun harus memberikan ruang kepada siswa untuk dapat mengungkapkan segala sesuatu yang terkait dengan pribadinya dan pribadi pendidik itu sendiri yang berhubungan dengan proses transfer of knowledgeyang telah dilakukan bersama. Pendidik tak perlu malu dan takut dengan ungkapan-ungkapan siswa tentang dirinya, karena hal tersebut tak akan menjatuhkan martabatnya. Terima dan sikapi semuanya dengan bijak sebagai bahan peningkatan kualitas bagi dirinya dan proses pendidikan selanjutnya.   

Selanjutnya, selain mengevaluasi proses pendidikan sesuai dengan standar kurikulum yang ada, seorang pendidik sekiranya dapat memanfaatkan tahapan ini sebagai sarana untuk penanaman nilai-nilai karakter kejujuran, dan kepercayaan diri pada pribadi siswa. Sehingga akan tumbuh kesadaran pada diri siswa akan kemampuan pribadinya, dan tentunya itu akan menjadi sebuah modal untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dirinya dalam mengikuti proses pendidikan.

Melihat konsep tersebut di atas, sepertinya tidak diperlukan adanya penambahan waktu sekolah dalam setiap harinya untuk penguatan pendidikan karakter di sekolah, karena pada hakikatnya penanaman nilai-nilai karakter pada pribadi siswa dapat dilakukan dengan menginternalisasikan dan mengintegrasikannya ke dalam setiap tahapan pendidikan yang telah ada dengan alokasi waktu yang berlaku selama ini. Untuk apa menambah waktu sekolah, apabila waktu yang telah diberlakukan selama ini tidak dioptimalkan dengan berbagai upaya yang mengarah pada terwujudnya pendidikan yang komprehensif untuk mencetak para siswa menjadi generasi penerus yang mumpuni intelektualnya, dan memiliki karakter yang luhur. Lebih baik waktu sekolah yang ditambahkan itu digunakan oleh para siswa untuk mendapatkan berbagai pengalaman hidup di masyarakat dengan berbagai aktivitasnya. 

Pemerintah tak perlu mengkhawatirkan anak-anak kita akan terjerumus ke dalam pergaulan-pergaulan yang negatif. Semua itu tidak akan terjadi apabila pemerintah dapat menjamin dan memastikan bahwa setiap sekolah dapat berperan secara optimal dalam proses pendidikannya yang tidak hanya sekedar melakukan transfer of knowledge, namun transfer of valuesselalu ada dalam setiap interaksi seluruh elemen sekolah dengan para siswanya, dengan terlebih dahulu terjadi proses internalisasi nilai-nilai karakter pada pribadi setiap elemen sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun