Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menawan Hati

8 Januari 2024   01:24 Diperbarui: 20 November 2024   00:42 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Permisi, kursi ini kosong?" Ucap seorang wanita pada Antony yang sedang menggariskan kata pada jurnalnya. 

Perlahan mata pria itu menerawang si gadis berambut panjang yang menyelipkan helaiannya pada belakang telinga sembari tersenyum ramah. Seketika Antony menegakkan badan, memalingkan wajahnya pada kursi kosong di meja tempat ia menikmati secangkir teh. 

"Ia, silakan. " Ucapnya sambil menunjuk kursi, meminta gadis itu duduk dengannya. 

"Terimakasih." Jawab sang gadis. 

Di luar dugaan, gadis itu tidak berniat menemani Antony. Jemarinya menarik kursi dari meja dan membawanya pergi ke arah meja lain di sudut ruangan kafe. Tawa menggelegar ketika sang gadis mengobrol dengan teman-temannya dan meninggalkan Antony. 

"Sialan.. " Gerutuh Antony sembari menundukkan kepala, telinganya memerah.

Segera ia meneguk teh yang sudah mulai dingin, mencoba menghilangkan rasa malu yang menggerogoti kulitnya. 

Sesaat kemudian ia menoleh ke kiri dan kekanan, menatap setiap sudut cafe yang lebih ramai dari sejam yang lalu, ketika ia datang kemari. 

Tak satupun dari pengunjung yang duduk sendirian sepertinya. Biasanya hal itu tidak mengganggu Antony. Tetapi karena kejadian barusan, pria itu menyadari bahwa ia selalu duduk di kursi yang sama setiap hari, menorehkan kalimat di jurnal yang sama, dan memesan minuman yang sama juga.

Tak ada yang ingin menemaninya. 

"Kenapa melamun?" Seru seorang wanita sambil menepuk halus pundak Antony. 

"Bukan apa-apa. " Jawab Antony tanpa membalikan badan, karena ia mengenali suara itu. 

"Tadi itu lucu banget. Mukamu kayak orang be.. "

"Kalau cuman mau mengejekku, mendingan kamu ga usah datang. " Potong Antony kembali menyeruput tehnya. 

Si gadis membenarkan gaun biru yang ia kenakan dan duduk di samping Antony. Ia tersenyum, begitu lebarnya hingga memaksa Antony memalingkan wajah menghindar. 

"Ga usah ngambek kayak anak kecil. Kan kamu yang manggil aku kesini. Udah lama banget kita ga ngobrol bareng. Kenapa sekarang?" Tanya si gadis. 

"Aku... Ga tau, Ven. Mungkin karena rindu?" Antony menatap Veni, senyuman hangat bersarang di wajahnya. 

Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah itu. Kulitnya sehalus secangkur susu yang membiaskan cahaya lampu cafe, matanya yang coklat berbinar berhiaskan kacamata bundar, dan rambutnya bagaikan sutra hitam penuh kedalaman melambai halus pada lehernya. Ia begitu cantik, terlalu cantik. 

"Jangan bohong.." Veni mengecutkan wajahnya, "kamu ga boleh terus-terusan seperti ini, Ton"

"Terus aku harus gimana, Ven? Kamu liat sendiri tadi. Berharap sedikit aja bisa menyiksa buatku. Hanya kamu yang bisa bikin aku tenang." Ucap Antony menikamkan pena pada jurnalnya. 

"Harapan tidak pernah menyakiti mu." Gadis itu meletakkan jemarinya di pundak Antony. 

"Mudah kamu bicara seperti itu. Kamu ga perlu berharap, Ven. Akan selalu ada yang mencintaimu, berjuang untuk mendapatkan hatimu. Kamu ga harus susah-susah mendapatkan pria yang kamu mau. Sementara aku hanya bisa bersandiwara.. Seperti ini. " Antony meremas pena hingga terdengar bunyi retakkan pada batangnya. 

Sejenak Veni menghela nafas. "Itu ga adil, Ton. Kamu ga bisa memaksakan perasaanmu padaku. Apa menurutmu kita bakalan bahagia kalau aku harus berpura-pura mencintaimu?"

"Kamu ga pernah mau mencobanya, Ven." Bantah Antony. 

"Kamu tahu kalau itu ga benar. Aku pernah menyukaimu. Tapi kau merasa itu ga mungkin. Kamu menjauh, khawatir kalau kamu ga tahu cara mencintai ku. Sekarang pilihanmu terbatas, Ton."

"Aku ga bisa, Ven. Tidak hari ini dan tidak juga 50 tahun lagi. Aku ga akan pernah melupakanmu. "

"Kamu ga bosan bermain-main dengan perasaanmu? Kalau terus begini, semua orang akan mengambil kursi kosong disisimu dan tidak pernah duduk disampingmu. " Perlahan Veni mengelus Wajah Antony, mengusap air mata yang tak mampu ia tahan lagi. 

"Jangan menawankan hatimu padaku, Ton. Aku ingin kamu bebas. Mari kita sudahi ini semua. "

Antony mencoba menggenggam tangan Veni meskipun ia tahu bahwa itu tidak mungkin. 

Sejak awal ia masih duduk sendiri di cafe itu, ditelan keramaian yang menutupi khayalan akan gadis yang tak lagi bersamanya.  

"Lihat, kamu kayak orang be.. "

"iya-iya, aku tahu. Aku mencintaimu, Veni."

Gadis itu tidak menjawab, tersenyum lalu menghilang dari hadapan Antony. Terang saja, kenangan tak bisa memberikan jawaban atas masa depan. 

Antony pun sudah tahu jawabannya sejak lama. Ia hanya tidak ingin menerima bahwa gadis yang selalu mengisi mimpinya tak lagi bersamanya mengarungi dunia nyata. 

Matanya melirik tulisan percakapan Veni dengannya yang ia tulis di jurnal. Sejenak ia tersenyum dan menutup buku itu. Ia bangkit berdiri, meletakan uang di atas meja dan melangkah keluar. 

Langkahnya terhenti ketika ia berada di depan pintu. Antony melemparkan jurnal itu ke tempat sampah di samping pintu. 

"Cukup." Ucapnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun