Sejenak Veni menghela nafas. "Itu ga adil, Ton. Kamu ga bisa memaksakan perasaanmu padaku. Apa menurutmu kita bakalan bahagia kalau aku harus berpura-pura mencintaimu?"
"Kamu ga pernah mau mencobanya, Ven." Bantah Antony.Â
"Kamu tahu kalau itu ga benar. Aku pernah menyukaimu. Tapi kau merasa itu ga mungkin. Kamu menjauh, khawatir kalau kamu ga tahu cara mencintai ku. Sekarang pilihanmu terbatas, Ton."
"Aku ga bisa, Ven. Tidak hari ini dan tidak juga 50 tahun lagi. Aku ga akan pernah melupakanmu. "
"Kamu ga bosan bermain-main dengan perasaanmu? Kalau terus begini, semua orang akan mengambil kursi kosong disisimu dan tidak pernah duduk disampingmu. " Perlahan Veni mengelus Wajah Antony, mengusap air mata yang tak mampu ia tahan lagi.Â
"Jangan menawankan hatimu padaku, Ton. Aku ingin kamu bebas. Mari kita sudahi ini semua. "
Antony mencoba menggenggam tangan Veni meskipun ia tahu bahwa itu tidak mungkin.Â
Sejak awal ia masih duduk sendiri di cafe itu, ditelan keramaian yang menutupi khayalan akan gadis yang tak lagi bersamanya. Â
"Lihat, kamu kayak orang be.. "
"iya-iya, aku tahu. Aku mencintaimu, Veni."
Gadis itu tidak menjawab, tersenyum lalu menghilang dari hadapan Antony. Terang saja, kenangan tak bisa memberikan jawaban atas masa depan.Â