Mbok.. mbok Ati!" Seru Bagus memanggil pembantunya sembari memukulkan gembok pada gerbang depan. Dahinya mengerucut saat mbok Ati tak jua menjawab panggilannya.
"Kemana sih ni orang?" Gumamnya terus memukul-mukul gerbang rumah.
Sesaat kemudian seorang bocah keluar dari pintu rumah sambil membawa kunci gerbang.Â
"Mbok Ati dimana, Dit?" Tanya Bagus pada adiknya.
"Ada di belakang. Tapi dari tadi di dapur terus, kak. Kok kakak udah pulang? biasanya pas sore."Â
"Ga usah berisik. Buka aja gerbangnya." Perintah Bagus yang tidak ingin menceritakan bahwa kampusnya sengaja di tutup dan murid-murid dipulangkan setelah terjadi pengeboman di kantor daerah di seberang jalan.
"Iya..iya, sabar" Radit memutar kunci pada gembok, lalu melepaskan rantai yang mengikatnya.
Segera Bagus memasukan sepeda motornya kedalam gerbang. Ia melepaskan plastik yang diikatkan pada gagang setir dan melangkah masuk kedalam rumah bersama sang adik.
"Kamu udah makan? nih kakak bawain mie ayam." Ujar Bagus sambil mengangkat plastik putih berisi mie yang dibelinya di warung langganannya.
"Pas banget, kak, hehe." Wajah Radit berseri menyambet mie dari tangan Bagus. Ia berlari kebelakang dapur lalu mengambil mangkuk di rak.
"Panggil mbok Ati kesini, Dit. Biar kita makan sama-sama." Ujar Bagus dari ruang TV.
Radit melihat sekeliling, namun ia tidak melihat sosok pembantu mereka di tempat itu.Â
"Mbok Ati ga ada, kak. Aneh, padahal tadi masih nyuci piring di sini."
Radit bergabung dengan kakaknya di ruangan TV berbekal dua mangkuk di tangan. Ia meletakannya diatas meja, menyaksikan dengan seksama saat kakaknya membuka bungkusan mie ayam dan menuangkannya kedalam mangkuk. Bocah itu mencoba merebut mangkuk, namun Bagus menghalanginya.
"Eiiiits, ini punya kakak. Ekstra pedas. Kamu tuang sendiri mienya."
Radit menggerutu melekukan bibir. Ia mengambil mie didalam kantong plastik. Ia berusaha membuka ikatan plastik, namun terlalu erat untuk jemari kecilnya.
"Susah,kaaak." protesnya.
"Jangan manja. waktu kakak semumurmu kakak udah bisa ngangkat galon. Buka sen_"
Seketika terdengar suara keras dari dalam rumah. Bagus melirik mencari sumber yang sepertinya berasal dari kamar orang tuanya di samping ruangan TV. Dahinya mengkerut khawatir.
"Siapa di kamar itu, Dit?"
"Ohh, tadi ibu pulang duluan, kak. Ibu dianter om-om aneh pake seragam tentara. Tapi langsung masuk kamar dan bilang jangan diganggu." Jawab sang adik yang masih berusaha membuka plastik mie.
"Ibu diantar tentara? kenapa bisa?"
"Aku ga tahu, kak. Oh iya, ibu bilang kalau kakak atau ayah pulang, nonton video di dalam laptop itu." Radit menunjuk laptop yang diletakan diatas meja kecil di samping sofa.
Gemuruh lanjutan dari dalam kamar mengagetkan Bagus hingga ia meloncat dari sofa. Perlahan Bagus melangkah menuju pintu kamar orang tuanya.
"Bu.. ibu ga apa-apa?" Ujarnya sembari memegang gagang pintu kamar.Â
Seketika ia mundur seribu langkah saat suara teriakan ibunya menggema dari dalam kamar. Pintu seolah didobrak berkali-kali mengunakan benda keras, atau tubuh manusia yang dipukulkan padanya.
"Kak, ibu kenapa?" Tanya Radit yang ikut bengong menatap pintu. Bocah itu telah mengurungkan niat untuk makan dan berdiri meremas lengan kakaknya.
Segera Bagus mengambil laptop di meja yang kemudian ia hidupkan. Nampak sebuah video rekaman ibunya pada layar depan. Secepat kilat Bagus memutar video itu.Â
"Mas Gatot, Bagus. Siapapun yang melihat video ini, bawa Radit dan segera pergi dari kota ini." Ujar bu Ratna dari dalam rekaman itu. Ia duduk di kasur kamar, air mata membasahi kelopaknya.
"Pagi tadi ibu dijemput oleh tentara dan di bawa pergi ke rumah sakit. Mereka butuh bantuan ibu untuk melihat mayat seorang perempuan yang meninggal di pabrik gabah Rodasari. Perempuan itu mati ditembak oleh polisi karena dia mencoba menyerang seperti anjing gila.
Setelah ibu melihat mayatnya, ibu kaget karena jamur Cordyceps tumbuh di dalam tubuhnya. Wanita itu digigit oleh orang tidak dikenal yang menularkan jamur ketubuhnya. Bagus, kamu anak yang pintar. Kamu pasti tahu apa maksud dari ini semua. Penularan jamur Cordyceps itu kasus yang baru, bahkan tidak mungkin terjadi. Penyakit ini tidak bisa di sembuhkan.Â
Karena itu ibu menyarankan tentara untuk membom seluruh penjuru kota untuk menghentikan penyebaran. Kalau kalian belum tertular, jangan makan makanan yang terbuat dari tepung. Bawa mobil dan pergi ke villa keluarga kita. Jika bertemu dengan orang yang tertular, jangan sampai digigit. Ka_"
Tubuh bu Ratna seketika gemetaran seperti tak terkontrol. Airmata tak mampu lagi dibendung dan mengalir deras membasahi pipinya.
"Mas Gatot, terimakasih untuk waktu kita selama ini. Apapun yang terjadi, jangan buka pintu kamar. Ibu sudah tidak ada lagi. Selamat tinggal mas. Anak-anak, ibu sayang kalian." bu Ratna mematikan rekaman sambil terisak-isak.
"Kak, kenapa ibu bilang begitu?" Tanya Radit menggoyangkan tangan kakaknya.
Bagus melotot tak kuasa mencerna semua informasi itu. Sebagai mahasiswa ilmu Mikologi, semua yang dikatakan ibunya terdengar tidak masuk akal. Cordyceps tumbuh didalam tubuh manusia? jangan bercanda. Itu tidak mungkin.
Tapi ibunya tidak pernah mengarang, apalagi tentang bidang yang ia tekuni. Ia meremas kepalanya tak mampu mengambil keputusan. Suara benturan yang masih saja terdengar dari dalam kamar membuat Bagus menjatuhkan air mata.
Ia meletakan telapak tangan pada pintu, menangis terisak didepan kamar ibunya.
"Bu, maafin Bagus sudah banyak salah sama ibu."Â
Sesaat kemudian Ia melap air matanya, lalu pergi ke luar rumah sambil menarik tangan Radit. Tidak lupa ia mengambil kunci mobil pada gantungan kunci di samping TV. Segera ia membuka gerbang lebar-lebar, sejenak menatap wajah adiknya yang penuh kebingungan.
"Dit, kamu makan mie tadi?"
Radit menggelengkan kepala, "Ga, kak. Ga bisa kubuka plastiknya."
"Baguslah." Ia memeluk tubuh adiknya, "Dengerin kakak, Dit. Kita bakal pergi ke villa di bogor. Kamu mau, kan?"
Radit mengangguk pelan mengiyakan. "Tapi ibu..."
"Ibu ga bisa ikut kita, Dit." Ujarnya menahan tangis.
"Kenapa, kak?"
Bagus menarik nafas panjang sembari tersenyum lebar, berusaha meyakinkan adiknya kalau semuanya akan baik-baik saja.
 "Ibu lagi sakit. Nanti ibu menyusul kalau sudah baikan. Sekarang bantu kakak buka garasi mobil, ok?"
Keduanya melangkah pada garasi lalu mengangkat pintunya ke atas. Mobil putih keluarga mereka bersarang didalam garasi seolah menunggu untuk dinyalakan. Segera bagus menekan tombol kunci otomatis pada mobil, menghasilkan bunyi siulan meleking yang khas.Â
Bagus dikagetkan oleh sesosok wanita yang mengenakan daster panjang sedang duduk menundukan kepala di sudut garasi. Ia mengenali wanita itu. Mbok Ati pembantunya ternyata berada disini. Mungkin ia masuk dari pintu samping dan terkunci.
"Mbok?" Panggil Bagus.
Mbok mengangkat kepala, meringis menunjukan giginya.
"Radit mundur!" Perintah Bagus pada adiknya ketika mbok Ati maju menyerang seperti anjing gila sambil berteriak dengan liar.Â
Perempuan itu menerjang Bagus dan membuatnya tersungkur ke tanah.
"Kakak!" Teriak Radit menyaksikan pembantu mereka mencoba menancapkan giginya pada Bagus.
Tubuh atletis yang terlatih membuat Bagus masih dapat menahan serangan, hingga gigi mbok Ati tidak menyentuh tubuhnya. Horor yang tak terbayangkan menyerang mata Bagus ketika perempuan itu membuka mulutnya lebar-lebar. Serabut jamur Cordyceps menjalar meliuk-liuk mencoba menyentuh mulutnya.Â
Spontan Bagus memiringkan kepalanya sembari berteriak ketakutan, tak percaya akan apa yang disaksikannya.
Brakk!Â
Mbok Ati tersungkur disampingnya. Bagus menoleh kesamping, Radit terengah-engah setelah mengayunkan kunci inggris ke kepala wanita itu. Segera Bagus bangkit berdiri, sekali lagi pelukan ia layangkan pada adiknya.
"Kakak ga apa-apa?" Tanya Radit terisak.
Bagus mengecek lengan, lalu memegang lehernya. Syukurlah tidak ada bekas gigitan yang terlihat.
"Makasih, Dit."
"Aku takut, kak." Ujar Radit sambil mengusap air mata yang mengucur deras.
"Ga apa-apa. Ada kakak di sini." ucapnya menenangkan sang adik dalam pelukannya.
Sesaat kemudian keduanya memasuki mobil. Bagus mengenakan sabuk pengaman pada Radit, lalu dirinya sendiri. Ia menyalakan mesin membiarkannya mengaung sejenak.Â
"Sekarang gimana, kak?"
"Kita pergi ke bogor. Tapi sebelum itu kita cari ayah di kantornya." Jawab bagus menatap sang adik dengan tajam. Meski tak tahu akan nasib sang ayah, Bagus tidak ingin meninggalkannya sebelum memastikan dengan mata kepalanya sendiri.Â
"uuhhhh, kaaaaak!" Seru Radit melihat mbok Ati yang kembali bangun dan berdiri di depan mobil, berteriak keras kearah mereka.
Tanpa pikir panjang Bagus menginjak pedal gas dan melindas wanita itu hingga terseret sampai di gerbang depan. Keduanya meluncur meninggalkan rumah mereka, menerjang bahaya yang menunggu mereka di hari pertama pandemi pembawa akhir bagi manusia.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H