Genggaman tangan sang ayah melemah, senyuman kembali menghiasi wajahnya. Mata si pemuda menangkap tiga orang yang melangkah kearah mereka.
"Daripada menceramahiku terus, tamu utama kita sudah datang." Ucap Santos menganggukan kepala pada mereka.
Segera ia berdiri dan menyilangkan tangan dibelakang. Ayahnya juga berbalik sembari tersenyum ramah pada tamu yang kini berada di depan mereka.
"Tuan Qasillas, tuan muda. Aku harap aku tidak menggangu percakapan kalian." ujar pria bertubuh gemuk dan pendek sambil menunduk hormat.Â
Ia mengenakan jas merah berornamen emas yang mencolok. Kumis tipis mantap bersarang diatas bibir tebalnya. Dibelakang pria itu, dua pengawal berseragam militer berdiri tegap bak patung.
"Ah, pangeran Antonio. Tentu saja tidak. Senang sekali anda bisa bergabung di kediaman sederhana kami. Maafkan aku, tapi aku tidak mendengar kedatangan mu diumumkan." Ujar sang Ayah sopan pada pewaris ke-empat kerajaan ini.
"Formalitas bukan gayaku, Qasillas. Apalagi jika banyak ular malam ini yang berkeliaran karena mencium bau darah." Ucapnya datar namun penuh keanggunan.
"Ah tentu saja, yang mulia." Ujar sang ayah was-was.
Santos tersenyum disamping ayahnya yang kurang peka. Dengan tidak mengumumkan kedatangannya, pangeran ingin menunjukkan pada bangsawan yang lain bahwa kedatangannya bukan untuk berpesta.Â
Itu tanda bahwa apapun penawaran bisnis tuan rumah akan ditolaknya. Sebuah formalitas politik agar tidak ada kecemburuan diantara para bangsawan.
 Meskipun begitu, Santos tahu bahwa sang pangeran tidak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan keluarga Qasillas.