Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

MCU Turun Pamor, Apa Alasannya?

3 Maret 2023   18:44 Diperbarui: 3 Maret 2023   18:51 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/24/marvel-cinematic-universe-mcu

Mulai ngawur lagi nih si Aris. Film marvel baek-baek aja tuh, buktinya masih terus dibuat dan banyak yang nonton...

Tulisan ini sebenarnya dibuat untuk nge-review film Ant Man: Quantumania, yang saya rasa merupakan satu lagi kegagalan narasi yang dihasilkan oleh perusahaan adidaya Disney. Namun melihat masalah sejenis yang terus-terusan muncul pada produk MCU, saya memilih untuk menguraikan beragam masalah yang sangat mempengaruhi hilangnya perhatian publik terhadap film bergendre superhero besukan Marvel Studios.

Film-film marvel pada fase keempat memang masih menempati urutan puncak penjualan pada industri sinema di seluruh dunia. Film Thor: Love and Thunder misalnya, meraup keuntungan USD 302 juta pada minggu pertama penayangan secara global. 

Akan tetapi, respon penonton terhadap film tersebut merosot jauh jika dibandingkan dengan film MCU sebelumnya. Satu review pada situs Metacritic.com mengatakan bahwa menonton film itu seperti menelan satu sendok gula, karena meninggalkan rasa manis yang menjijikan di lidah. (kok bisa?)

Film Ant man ke tiga yang masih tayang dibioskop tanah air juga tidak luput dari kekecewaan penonton yang menganggapnya membosankan. Film itu memiliki score 48% dari situs Rottentomatoes.com dengan satu review mengatakan bahwa MCU kehilangan "thrill" dan hanya kehampaan yang tersisa saat menonton film itu.

Selain film Spiderman: No Way Home, Phase 4 MCU tidak mendapat respon positif dari penggemar. Black Widow, Sang Chi, hingga Black Phanter  seolah tidak mampu menangkap kembali kejayaan film-film pada fase sebelumnya. 

Bagaimana sebuah francise raksasa seperti Marvel Cinematic Universe seketika tidak mampu mengulang kejayaan masa lalu? beberapa poin dibawah mungkin dapat membantu menjawab pertanyaan ini :

  • Narasi Susu Formula

Saya rasa masalah terbesar dari film MCU muncul dari pembentukan narasi yang terkesan formulatik. Dalam cerita apapun, penonton pasti sudah bisa menebak kalau protagonis akan mengalahkan penjahat. Hal yang jadi pembeda adalah bagaimana kita sampai pada konklusi tersebut. Apa yang menjadi motivasi karakter serta apa yang dipertaruhkan dalam konflik merupakan aspek yang menentukan kekuatan narasi. 

Setelah melewati Infinity Saga, MCU seolah tidak punya gambaran yang jelas akan langkah mereka selanjutnya. Kematian Iron Man serta pensiunnya Captain America meninggalkan ruang yang hingga sekarang tidak dapat di isi oleh karakter lainnya.

 Thor kehilangan semua "character building" yang ia alami dan menghilang dari konflik utama, Doctor Stange harus melawan Wanda yang menggila karena pengen punya anak (Hah?), Black Panther yang baru berkonflik sebentar dengan Aquaman Latin lalu berdamai (haaaaah?) dan Spiderman harus melawan musuh terbesar dalam industri perfilman, Nostalgia.

Setiap film tersebut punya formula yang sama, yaitu memperkenalkan karakter baru dengan mengorbankan perjalanan karakter lama di posisi kedua narasi cerita, lalu membuat ending yang menggantung untuk memberi ruang bagi produk berikutnya.

Formula itu bekerja dengan baik pada era Infinity Saga, sebab setiap cerita tidak terpisah dari konflik utama, yaitu kemunculan Thanos sebagai musuh terbesar.

Mengapa Loki menyerang bumi pada film avenger pertama? karena disuruh Thanos. Mengapa Iron man membuat sistem Ultron? karena takut akan kemunculan Thanos. Mengapa Peter Quill memberikan power stone pada Nova Corp daripada menjualnya? karena takut diambil oleh Thanos.

Setiap konflik dalam narasi film MCU Phase 4 terasa tidak berbobot karena tidak ada urgensi yang meyakinkan bahwa film-film itu punya signifikansi akan konflik berikutnya yaitu kemunculan dinasti Kang.

Selain itu, salah satu formula yang menghancurkan narasi MCU adalah penggunaan lelucon yang berlebihan. Film Thor love and thunder misalnya, setiap lelucon yang muncul cenderung tidak kena sasaran dan terkesan maksa bagi saya. Menonton film itu mengingatkan saya pada "Opera van Java" yang pernah tayang di televisi nasional.

Setiap adegan yang seharusnya memiliki ketegangan dan bobot narasi, sirna begitu saja ketika dialog karakter-karakter dalam film seperti keluar dari mulut om Sule dan Andre. 

  • Karakter Baru = Boring

Menurut Nietchze, kesempurnaan dari manusia itu membosankan. Hal itu tidak lepas dari kemunculan protagonis baru dalam MCU. Film ke tiga Black Phanter memperkenalkan kita pada Black Phanter yang baru, Suri setelah kematian aktor Chadwick Boseman serta pengganti Iron Man, Riri Williams si Iron Heart. 

Sepintas, kedua karakter ini hampir tidak bisa dibedakan. Dua gadis muda yang sangat jenius, yang membuat seragam tempur berteknologi canggih di waktu senggang mereka. Setelah menonton Quantumania, kita lagi-lagi diperkenalkan dengan gadis muda yang menciptakan alat berteknologi mutakhir, Cassy Lang, putri dari Ant Man. 

Hal ini membuat saya bertanya-tanya kenapa semua remaja di MCU seketika mampu merancang teknologi canggih seperti alat komunikasi kuantum di belakang rumah mereka? Apakah sistem pendidikan disana begitu bagusnya, hingga mereka memiliki pengetahuan luar biasa yang mampu menandingi si jenius Tony Stark, yang butuh bertahun-tahun menyempurnakan teknologi seragam tempur miliknya. (Mungkin karena sekolah dimulai pukul 5 pagi, hehehe)

Hal tersebut hanya sebagian kecil dari  permasalahan karakter-karakter pengganti itu. Mereka tidak memiliki karisma yang memikat seperti pendahulunya. Tony Stark menjelma menjadi Iron Man bukan karena kostum yang ia buat, melainkan rasa bersalah atas teknologi yang ia ciptakan digunakan untuk membunuh orang-orang tidak berdosa. Steve Rodgers menjadi Captain America karena keinginannya ikut bertempur melawan invasi Nazi yang ia anggap sebagai "bully" yang mengganggu kebebasan orang lain.

Pahlawan hanya akan semenarik motivasi yang ia miliki serta keinginan untuk mengubah kekurangan menjadi kekuatan. Itulah mengapa selama 2 dekade terakhir, penonton tetap tertarik untuk mengikuti petualangan para pahlawan MCU karena seperti kita, mereka bukanlah mahluk sempurna yang selalu benar dalam mengambil langkah.

Hal itu tidak saya temui dari sekian banyak karakter baru yang muncul pada film maupun serial televisi MCU. (ehhrm ehhrm.. She Hulk) Mereka seolah membawa nilai-nilai progresif liberalisme andalan Amerika Serikat tanpa fondasi konflik yang menarik selain "kami pahlawannya" dan menyuruh penonton peduli akan keberadaan mereka.

Selain protagonis, MCU juga memiliki masalah pada karakter antagonis utama, Kang yang saya rasa perlu dibahas secara terpisah. Penasaran? tunggu saja tulisan saya berikutnya.

  • Film = Konten

Jika kita melihat jumlah media yang diproduksi MCU pada setiap fase, terdapat peningkatan yang sangat pesat dan menghawatirkan. Pada fase pertama, MCU mengeluarkan 6 film dalam waktu 5 tahun, lalu 6 film dalam waktu 3 tahun pada fase kedua, kemudian 11 film selama 4 tahun pada fase ketiga, hingga phase ke empat yang mencapai 17 proyek film dan televisi dalam kurun waktu 2 tahun saja.

Perkembangan ini tentu saja mempengaruhi kualitas karya yang dibuat oleh tim kreatif MCU. Mulai dari kualitas CGI, sinematografi,  hingga narasi terkesan dikerjakan secara terburu-buru agar proyek selanjutnya segera direncanakan.Film MCU diproduksi dengan cepat seperti seorang kompasianer yang memposting tulisan setiap detik demi mengejar jam tayang dan mendapat K- Rewards yang banyak, tanpa memperhitungkan kualitas dari karyanya.(oh, self burn)

Pada tahun 2019 sutradara kenamaan Amerika, Martin Scorsese berpendapat bahwa film-film MCU tidak lebih dari "taman bermain" dimana orang-orang bisa datang dan tertawa selama dua jam lebih, lalu lupa akan apa yang baru saja mereka tonton. Entah teman-teman setuju atau tidak dengan pendapat sutradara The Godfather itu. Namun satu hal yang pasti, Marvel membuat kesalahan dengan mengubah film mereka menjadi konten.

Menonton film MCU terasa seperti mengkonsumsi mie instan setiap hari dengan toping yang sedikit berbeda, hingga akhirnya muntah karena perut tak lagi mau menerima makanan tidak bergizi terus-menerus.

 Itulah ulasan singkat saya tentang kemunduran MCU. Sebagai penggemar superhero, sesungguhnya saya tidak ingin Marvel kehilangan pamornya di mata penikmat film.  Saya juga membantah argumentasi bahwa film superhero sudah kehilangan kreativitas dan tidak lagi dapat dibuat secara menarik. Keberhasilan film The Batman pada tahun 2022 kemarin menjadi bukti bahwa cerita pahlawan super masih memiliki ruang untuk terus berkembang secara narasi. 

Oleh karena itu, saya tidak ingin kehilangan harapan bahwa film-film superhero Marvel akan kembali pada masa kejayaannya. Terimakasih sudah membaca.

Sumber:

satu, dua, tiga, empat

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun