"Katakan saja, nak." Pintah Eugene pada si koki.
"Kanibal." Ujar Edward menelan ludah, lalu menuangkan minuman.
Eugene terdiam sejenak. Senyum kering tersimpul pada wajah merahnya. Ia meneguk anggur di gelas lalu bercerita.
"Sewaktu aku kecil, aku punya ribuan saudara. Terkadang wajah mereka muncul dalam mimpiku. Teriakan saudaraku masih kudengar sampai sekarang. Teriakan horor ketika ayahku mengunyah daging dan cangkang mereka hidup-hidup."
Edward tak mampu bersuara. Wajahnya kaku, peluh dingin mulai muncul dari belakang lehernya.
"Jangan takut, nak. Aku tidak akan memakanmu, apalagi saat kau mampu membuat makanan selezat ini." Tawa khas Eugene menggelar memenuhi ruangannya.
Edward turut tertawa gugup disampingnya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini dirinya berlayar dengan seorang kanibal dari jurang Clamnation. Ini hal yang buruk. Ia harus menambah porsi makan orang tua ini.
"Setelah keluar dari tempat itu, aku kira aku telah terbebas dari rasa takut, dari horor yang telah ditanamkan oleh ayahku. Ternyata aku salah." Sang kapten merunduk pilu.
"Saat menjadi kapten kapal ini, aku memutuskan untuk kembali ke sana. Aku tidak pernah merasa lebih puas dari ketika kutanamkan peluru ke kewajahnya." Eugene menatap si koki tajam.
"Kau bertanya mengapa aku mengejar Mozaid? Karena paus itu hanyalah mahluk pembawa petaka. Monster seperti mereka tidak pantas hidup di lautan ini!" Sahut Eugene memukulkan tangan ke meja, mengejutkan Edward.
"Maafkan aku, nak. Harusnya aku tidak perlu berteriak." Ujar sang kapten.