Dr. Uriel memasuki ruang kerja. Ia meletakan jubah putih pada gantungan, sapu tangan diambil dari saku. Sembari melangkah menuju mejanya ia melibas habis peluh yang menempel pada wajah. Sesaat kemudian ia menyalakan komputer lalu membuka video recorder pada jendela layar. Ia merapikan kemeja, menyisir rambut beruban dengan jemari, lalu menekan tombol rekam.
"Video Jurnal_" katanya, "dr. Uriel Raga, 26 Juni 2001. Instalasi telah selesai dipasang. Tak terasa tiga bulan berlalu begitu saja." Uriel tersenyum melepaskan kacamata.
"Sebenarnya aku masih belum percaya perusahaan menyetujui penelitian ini. Kerja kerasku terbayar, mulai besok kecoa-kecoa itu akan dibawah kemari, di rumah baru mereka. Aku telah menciptakan beberapa spesies kecoa baru. Mengapa aku melakukannya? tentu saja untuk kebaikan dunia." Ia mengedipkan sebelah mata. Jika berhasil, penelitian ini akan mendatangkan banyak uang untuk dirinya. Itu alasan terpenting bagi Uriel.
"Seperti yang kita ketahui, zat amonia merupakan pupuk tanaman yang masif digunakan pada industri pertanian di seluruh dunia. Namun produksinya memakan biaya yang sangat besar. Mengubah nitrogen menjadi  amonia memerlukan energi yang banyak dan tidak efisien. Namun bagaimana kalau kita bisa memproduksinya secara alamiah dan langsung dapat digunakan oleh tanaman industri?
Melalui mutasi, aku telah memodifikasi sebuah spesies kecoa dari Australia, Periplaneta Fuliginosa agar dapat mengubah nitrogen di udara serta tanah menjadi zat amonia melalui sekresi. Spesies ini kupilih karena di wilayah asalnya, mereka dikenal sebagai penggembur tanah. Selain itu bentuknya juga tidak menjijikan seperti kecoa rumahan. Estetika juga harus diperhitungkan toh?
Zat amonia yang dihasilkan oleh kecoa-ku bisa langsung diserap oleh tanaman tanpa perlu zat pengurai lainnya. Aku juga memodifikasi genom mereka untuk menjadi karnivora sejati. Mereka akan berburu serangga lain sebagai sumber makanan utama tanpa merusak tanaman industri.
Akan tetapi, aku belum bisa menetapkan spesies baru mana yang akan bekerja dengan baik dan dapat dikembangbiakan secara efektif demi kebutuhan industri.  Oleh karena itu, perusahaan telah menyediakan tempat seluas 50.000 meter persegi ini sebagai ladang percobaan. Ada empat spesies unggulan yang akan diuji, yaitu Periplaneta Alpha atau Alpha, Periplaneta Betta atau Betta dan yah, sudah kalian tebak, Delta dan Gamma. Aku tidak ahli untuk memberi nama." Ujarnya sembari mengelus-elus kacamata dengan kain lembut berwarna abu-abu.
"Ladang ini sudah ditanami gandum tanpa menggunakan pupuk serta pestisida, lalu jeruji mikro dipasang untuk memisahkan empat spesies kecoa itu. Dalam beberapa bulan, aku dan timku akan meneliti sampai sejauh mana mereka akan berkembang. Ini sangat menarik. Setelah sekian lama, hari ini akhirnya datang. Sampai ketemu lagi." Uriel mematikan rekamannya.
***
"22 September, 2001. Jurnal dr. Uriel Raga." Ujarnya sembari tersenyum lebar. Barisan gigi yang mulai menguning muncul pada wajahnya.
"Terdapat perkembangan yang sangat menjanjikan dari koloni Betta dan Delta. Ladang gandum yang mereka tinggali tumbuh dengan subur dan tidak diganggu oleh serangga hama. Kedua koloni tersebut mampu bersimbiosis dengan tumbuhan gandum tanpa efek samping yang merugikan. Ini luar biasa, aku tidak menyangka akan memperoleh hasil secepat ini." Ujarnya pada kamera penuh kebahagiaan. Selang beberapa saat, ia mengangkat alis dan menggosok dahi.
"Koloni Alpha dan Gamma tidak begitu beruntung. Alpha memanglah berhasil mengurangi populasi hama pada tanaman, namun gandum menjadi tidak sehat karena produksi amonia yang tidak murni serta sangat banyak. Kami mengumpulkan yang cairan sekresi dan menyimpannya untuk dimurnikan. Berkurangnya serangga hama membuat mereka juga kekurangan sumber makanan.Â
Selang beberapa hari, kanibalisme mulai dilakukan oleh koloni Alpha, hingga mengkonsumsi larva serta telur mereka sendiri. Sementara itu, koloni Gamma tidak berhasil menjadi karnivora sejati dan ikut mengkonsumsi batang dan daun gandum.Â
Penelitian kedua koloni itu mungkin harus dihentikan. Tapi aku masih ingin melihat perkembangan keduanya sedikit lagi. Mungkin saja aku bisa menemukan cara untuk  mencegah kekurangan itu muncul pada Betta dan Delta. Kurasa perjalananku masih cukup panjang." Uriel meletakan kacamata di samping meja, lalu menekan tombol untuk menghentikan rekamannya.
***
"15 Januari 2002, jurnal dr. Uriel Raga. Luar biasa, sungguh luar biasa." Uriel berteriak girang didepan kamera.
"Kecoaku telah melampaui ekspektasi. Dua bulan kemarin, koloni Betta kekurangan sumber makanannya, sama seperti Alpha. Namun hal itu tidak menyebabkan kanibalisme. Setelah melihat populasi koloni yang tak kunjung menurun, aku dan timku turun untuk melihat apa yang terjadi.Â
Diluar dugaanku, koloni alpha melindungi larva puluhan kumbang gandum dan memberinya makan secara rutin, memberi mereka gandum! bayangkan itu. Koloni alpha menjalankan peternakan kumbang sebagai sumber makanan berkelanjutan. Mereka beternak!Â
 Hal itu tidak mengherankan jika dilakukan oleh koloni semut, misalnya. Namun tidak pernah ada kecoa yang beternak sebelumnya. Mereka berbagi tugas didalam koloni seperti sistem kasta pada serangga semut. Sebagian mengumpulkan gandum, sementara yang lain menjaga larva disarang, bersamaan dengan larva mereka sendiri. Setelah dewasa, kumbang-kumbang itu dikonsumsi oleh koloni seperti sapi peliharaan.
Betta telah berkembang menjadi koloni yang kompleks. Ini sungguh luar biasa.
Yang lebih mencengangkan lagi, koloni Alpha yang seharusnya menghilang setelah kekurangan makanan, kini bertumbuh dua kali lipat jumblahnya. Bagaimana mereka melakukannya? mereka menginvasi. YAH, INVASI!
Koloni Alpha menerobos sekat pemisah antara wilayah mereka dan Gamma. Alpha mengembangkan kemampuan untuk melepaskan nitrogen pada sekresinya sedemikian rupa, hingga dapat bereaksi dengan Oksigen dan Karbon, lalu menciptakan ledakan berukuran kecil yang cukup untuk menghancurkan sekat. Kalian tahu artinya? Koloni Alpha membuat TNT sebagai upaya mencari sumber makanan yang baru!
Aku bahkan tidak peduli lagi dengan penelitian pupuk yang konyol ini, dan persetan dengan kekayaan yang bisa kudapat. Aku telah menciptakan sesuatu yang lebih penting dari apapun. Sebuah awal dari peradaban serangga.
Keco_ bukan, anak-anakku telah tumbuh dengan me_" Belum sempat Uriel menyelesaikan rekaman, suara sirene memekakan telinganya.
"Dok, kita harus segera keluar dari sini." Ujar seorang wanita dari balik pintu ruangan.
"Ada apa?" Tanya Uriel setelah membuka pintu.
"Kebakaran, dok." Jawab wanita itu dengan nafas tak karuan.
"Dimana?"
"Dekat ruangan penyimpanan a.. amonia. Kita tidak punya banyak waktu!"
Keduanya berlari menelusuri lorong panjang gedung menuju pintu utama. Mereka berpapasan dengan orang lain yang turut berupaya meninggalkan tempat itu.Â
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Ujar Uriel sembari menderukan kaki.
"Masih belum pasti dok, namun petugas yang mengumpulkan amonia bilang kebakaran berawal dari ladang koloni Alpha. Mereka sudah berusaha memadamkannya, namun api merambat dengan cepat." Jelas wanita itu.
"Dan kini api sudah merambah ruang penyimpanan begitu?"
"Iya, dok." Jawabnya.
Tidak, ini tidak boleh terjadi. Amonia bukanlah zat yang mudah terbakar. Namun jika dipanaskan, puluhan ton kontainer itu akan meledak. Semua kerja kerasnya, semua itu akan menghilang. Uriel berbelok di persimpangan, menelusuri lorong menuju ruang penyimpanan.Â
"DOKTOR, DISITU BERBAHAYA!" Teriak wanita itu.
Tak menghiraukan panggilan koleganya, Uriel menambah kecepatan. Ia menghancurkan kaca kotak di dinding, jemarinya menyabet fire extinguisher. Berbekal pemadam api ditangan, ia membuka pintu menuju ruang penyimpanan.Â
Secepat kilat ia melepaskan pengait pada selang dan menyemburkan gas putih kelabu, berusaha menghentikan amarah lidah-lidah api yang seolah tak ingin padam. Panas yang menyengat tak menghentikan langkahnya untuk masuk lebih dalam menantang keganasan si jago merah.Â
"Anak-anakku, aku tidak akan membiarkan kalian musnah." Ujarnya memantapkan hati.
Seketika atap runtuh menjatuhkan baja ringan yang menahan fondasinya. Uriel terkejut saat benda itu menghantam tubuhnya, membuatnya tersungkur ditanah. Ia terperangkap, tak mampu bergerak melepaskan diri. Perlahan sang ilmuan membukakan mata mencoba melawan sakit di sekujur tubuhnya.
Seekor kecoa menyercit didepan mata, leher serangga itu menggeleng cepat, tak mengenali penciptanya. Dengan wajah berlumuran darah, sang ilmuan tersenyum sembari berkata,
"Hiduplah, anakku."Â
Ledakan besar menggema, mengirimkan gelombang kejut bermeter-meter jauhnya. Gedung penelitihan hancur lebur, terpencar liar ke segala arah. Api merambat menyelimuti puing-puing hingga ladang gandum ikut tenggelam dalam tarian yang membara. Dari sela-sela kekacauan itu, ratusan kecoa merayap keluar, melangkahkan kaki menuju dunia baru tanpa sekat yang menghalangi perjalanan mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H