"Dan kini api sudah merambah ruang penyimpanan begitu?"
"Iya, dok." Jawabnya.
Tidak, ini tidak boleh terjadi. Amonia bukanlah zat yang mudah terbakar. Namun jika dipanaskan, puluhan ton kontainer itu akan meledak. Semua kerja kerasnya, semua itu akan menghilang. Uriel berbelok di persimpangan, menelusuri lorong menuju ruang penyimpanan.Â
"DOKTOR, DISITU BERBAHAYA!" Teriak wanita itu.
Tak menghiraukan panggilan koleganya, Uriel menambah kecepatan. Ia menghancurkan kaca kotak di dinding, jemarinya menyabet fire extinguisher. Berbekal pemadam api ditangan, ia membuka pintu menuju ruang penyimpanan.Â
Secepat kilat ia melepaskan pengait pada selang dan menyemburkan gas putih kelabu, berusaha menghentikan amarah lidah-lidah api yang seolah tak ingin padam. Panas yang menyengat tak menghentikan langkahnya untuk masuk lebih dalam menantang keganasan si jago merah.Â
"Anak-anakku, aku tidak akan membiarkan kalian musnah." Ujarnya memantapkan hati.
Seketika atap runtuh menjatuhkan baja ringan yang menahan fondasinya. Uriel terkejut saat benda itu menghantam tubuhnya, membuatnya tersungkur ditanah. Ia terperangkap, tak mampu bergerak melepaskan diri. Perlahan sang ilmuan membukakan mata mencoba melawan sakit di sekujur tubuhnya.
Seekor kecoa menyercit didepan mata, leher serangga itu menggeleng cepat, tak mengenali penciptanya. Dengan wajah berlumuran darah, sang ilmuan tersenyum sembari berkata,
"Hiduplah, anakku."Â
Ledakan besar menggema, mengirimkan gelombang kejut bermeter-meter jauhnya. Gedung penelitihan hancur lebur, terpencar liar ke segala arah. Api merambat menyelimuti puing-puing hingga ladang gandum ikut tenggelam dalam tarian yang membara. Dari sela-sela kekacauan itu, ratusan kecoa merayap keluar, melangkahkan kaki menuju dunia baru tanpa sekat yang menghalangi perjalanan mereka.Â