Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Eyes, Nose, Lips

23 Juli 2022   17:48 Diperbarui: 23 Juli 2022   20:35 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arya kembali menatap citranya pada cermin, sejenak membolak-balikan wajahnya, mencari lecet sehabis mencukur bersih kumis dan jenggot yang bersarang. 

Ia mengencangkan dasi kupu-kupu di leher serta mengaitkan kancing pada lengan jas biru gelap yang dikenakan. Jam tangan pemberian sang ayah mantap terpasang pada pergelangan kanan. Paras merona terpancar, senyum merekah tersimpul pada bibirnya.

"Lama sekali, kita bisa terlambat." Seru seorang pria yang tengah duduk di kursi depan kamar, asap rokok menari di sekitar kepalanya.

"Sabar sedikit, Ben. Ini hari yang penting. Aku ingin terlihat sempurna." Sahut Arya pada sahabatnya yang sudah lama menunggu.

"Jangan kek cewe lah. Buruan!" 

"Iya, iya. Ini juga udah kelar." 

Arya berpaling dari cermin menuju ke depan pintu. Sepatunya nyaring berderu pada lantai keramik bak gemuruh kaki kuda jantan yang mengarungi padang.

"Gimana?" Tanya Arya pada Ben di depan kamar.

"Lumayan, mirip Kim Jong Il kalau lagi diet." Ujar ben sembari menghembuskan asap dari mulutnya.

"Sialan, ini sudah paling maksimal."

"Buang-buang waktu kalau kau berdandan. Kek naruh bedak ke muka babi. Tetap saja jelek." Ejek Ben sembari beranjak dari kursi dan merangkul pundak sahabatnya. 

Keduanya melangkah melewati orang-orang yang tengah sibuk mempersiapkan hari ini. Tiga pelayan nampak buru-buru membawa nampan berisikan daun kering yang terlilit api biru.

 Seorang pria bertubuh besar berteriak memberi perintah pada anak buanya yang sedang memasang tenda, ditemani puluhan ikan warna warni yang berenang mengitari perut buncitnya serta_ Apa?

"Hey, kenapa melamun?" Suara ben mengejutkan Arya.

"Ga apa-apa kok. By the way, makasih sudah mau membantuku, Ben." Ujarnya sembari tersenyum ramah.

"Biasa aja kali, Ar. Mana mungkin aku nolak jadi WO nikahan mu. Lagian aku juga dibayar." Sahut Ben memberi pukulan ringan ke lengannya.

Arya tertawa lembut sambil mendayung sampan yang ia naiki. Ia tidak menyangka hari ini akan tiba. Hari yang mana cintanya terjawab oleh sebuah ikatan seumur hidup. Ia akan menikahi wanita yang telah merebut hatinya sejak pertama kali mengenal cinta, Sintya. 

Ia mengenal gadis itu sejak masih duduk di bangku putih biru. Gadis yang hanya duduk dibelakang kelas sembari membaca laksana permata yang mampu menarik mata si bocah untuk tenggelam dalam parasnya. 

Mata yang berbinar laksana cermin dibawah mentari, hidung yang anggun menjulang, serta senyuman lebar yang menyembunyikan bibir dibawah barisan gigi putih begitu indah dimata Arya.

 Seperti baru kemarin ia mengajak si gadis bicara. Melawan peluh dingin serta tubuh yang gemetaran, Arya memberanikan diri berkenalan. Namun seperti disiram cuka, hanya wajah culas nan risih yang jadi hadiah bagi si bocah.

Nasib baik muncul ketika ia tahu Sintya menyukai buku-buku novel. Meski tak senang membaca, Arya memaksakan diri untuk membenamkan mata pada ribuan kata-kata penuh cerita dan drama. Semua itu ia lakukan agar gadis idaman mau membukakan hati, memberi celah bagi perasaan si bocah. 

Usahanya tidak sia-sia. Tidak ada hari dalam ruangan kelas yang tidak mereka habiskan bersama, meludah tentang cerita yang mereka baca. Seiring waktu bergulir, mereka tak sekedar menjadi sahabat aksara namun tempat untuk berbagi suka dan duka. 

Hubungan itu berlanjut hingga mereka beranjak SMA. Banyak laki-laki yang menginginkan Sintya, sebab gadis itu telah meninggalkan tubuh kurus nan canggung kanak-kanaknya, tergantikan oleh keanggunan seorang gadis remaja. 

Ben juga salah satu dari mereka. Sahabat sebangkunya itu bahkan terang-terangan meminta Arya mengenalkan dirinya pada Sintya. Tak rela kehilangan pujaan hati, Arya meneguhkan diri dan mengungkapkan rasa di dada.

"Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu tiga tahun" Jawaban Sintya ketika mendengar kata-kata cinta dari mulut Arya.

Kini mereka akan melangkah bersama menapaki kehidupan setelah 12 tahun berdampingan. Sungguh ia tidak menyangka, bahkan ketika ia nyaris kehilangan Sintya setahun yang lalu karena pekerjaan, merengut waktu mereka menjalin asmara. 

Semua itu telah berlalu. Mereka berhasil mengarungi rintangan hingga tiba di pelaminan, merajut mimpi pada detik ini.

Arya berdiri tegap di altar gereja, menunggu sang kekasih datang bergabung mengikrarkan janji. Ia menoreh pada Ben yang berdiri disampingnya, tersenyum sembari mengangkat jempol. 

Sesaat kemudian melodi piano berkumandang menggema pada dinding gereja. Para tamu berdiri bersiap menyambut kedatangan pengantin wanita. 

Ayah dan ibu Arya tersenyum bahagia meski air mata jatuh membasahi pipi mereka. Dua anak kecil melemparkan kelopak mawar merah muda dari keranjang yang jatuh lembut menjamah karpet merah. 

Dua ekor serigala bertubuh manusia membuka peti, dan seketika puluhan merpati terbang menari-nari diudara. Sayapnya berkilatan membiaskan cahaya surya, me_ tunggu dulu, apa ini?

"Gimana?" Ben kembali mengagetkan Arya, "Susah mencari merpati dikota ini. Bagus ga?" lanjutnya.

"Norak lu..." Ujar Arya cengengesan.

Sesaat kemudian, seorang wanita bergaun putih memasuki ruangan gereja. Tangan kanannya menggenggam karangan bunga mawar biru berhiaskan pita merah muda yang indah terlilit pada tangkai. Tangan kiri si gadis merangkul lengan sang ayah yang tak kuasa menahan tangis bahagia. 

Arya memandangnya sekali lagi. Matanya berkaca-caca berpadu dengan kebahagiaan yang terpancar dari senyuman Sintya.

 Senyuman yang telah membuatnya jatuh, lalu bangkit lagi melawan kerasnya semesta. Senyuman yang bisa membuatnya menyogok sang kuasa menahan senja, agar cahaya surya tetap menyinari adinda. 

Senyuman yang telah memberinya cinta, mata yang menatapnya penuh sayang, hidung yang merona, menjulang bak anak tangga menuju surga.

Perlahan senyuman itu mendekati Arya hingga kini ia berada di depan mata. 

"Aku mencintaimu." Ujar Arya.

Sintya terdiam. Senyuman kecil tersimpul pada bibirnya. Wanita itu menatapnya hampa, lalu berkata,

"Waktunya bangun...."

Dan Arya membukakan mata, kembali pada kegelapan subuh tanpa senyuman itu. Kini hanya tangis yang bersedia menemaninya.

 Ia memukulkan tangan pada meja di samping kasur, menjatuhkan secarik kertas bersampul indah bertuliskan,

The Wedding of Ben and Sintya

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun