Sesaat kemudian, seorang wanita bergaun putih memasuki ruangan gereja. Tangan kanannya menggenggam karangan bunga mawar biru berhiaskan pita merah muda yang indah terlilit pada tangkai. Tangan kiri si gadis merangkul lengan sang ayah yang tak kuasa menahan tangis bahagia.Â
Arya memandangnya sekali lagi. Matanya berkaca-caca berpadu dengan kebahagiaan yang terpancar dari senyuman Sintya.
 Senyuman yang telah membuatnya jatuh, lalu bangkit lagi melawan kerasnya semesta. Senyuman yang bisa membuatnya menyogok sang kuasa menahan senja, agar cahaya surya tetap menyinari adinda.Â
Senyuman yang telah memberinya cinta, mata yang menatapnya penuh sayang, hidung yang merona, menjulang bak anak tangga menuju surga.
Perlahan senyuman itu mendekati Arya hingga kini ia berada di depan mata.Â
"Aku mencintaimu." Ujar Arya.
Sintya terdiam. Senyuman kecil tersimpul pada bibirnya. Wanita itu menatapnya hampa, lalu berkata,
"Waktunya bangun...."
Dan Arya membukakan mata, kembali pada kegelapan subuh tanpa senyuman itu. Kini hanya tangis yang bersedia menemaninya.
 Ia memukulkan tangan pada meja di samping kasur, menjatuhkan secarik kertas bersampul indah bertuliskan,
The Wedding of Ben and Sintya