"Tuan, mengapa menatapku seperti itu?" Tanya Haka sembari melemparkan senyuman tipis.
"Tidak apa-apa, aku hanya terkejut mendengar ceritamu. Bukankah itu terlalu berlebihan untuk dongeng anak-anak?"
"Terkadang anak-anak harus belajar tentang kejamnya dunia. Semakin cepat semakin baik untuk mereka, bukankah begitu?"
Tanpa menunggu jawaban dari Ouhm, Haka kembali memainkan serulingnya. Kali ini melodi yang ia tiup berkejaran dengan tempo yang cepat dan liar.
"Usai ia melahap jantung ibu beruang, perasaan girang muncul menari-nari diatas kepalanya. Ia sangat bersemangat ketika darah menempel di lidah saat ia menjilati bibir dan hidung. Apakah ini kebahagiaan? tidak, masih belum. Ia meloncat menerkam ayah beruang. Hewan tua itu berusaha melawan, namun ia bukan tandingan anjing yang kini tenggelam dalam kegilaan.
Jantung ayah beruang telah habis ia makan. Perasaan itu semakin menggila. 'Hati' yang ia impi-impikan telah ia miliki. Perasaan itu memberinya gairah yang tak terbayangkan yang ia yakini sebagai kebahagiaan. Ia menginginkan lebih dari ini.
Pandangannya beralih pada anak beruang yang kini menangis sedih disamping tubuh ibunda yang tak lagi bernyawa. Tanpa pikir panjang ia menerkam anak beruang dengan ganas. Air mata mengalir deras dari mata anak beruang. Ia meronta-ronta dan berteriak dengan kencang.
Cakar setajam belatih menancap pada dadanya, membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Anjing terus mengais-ngais daging dari tulang kecil anak beruang.
'Kumohon, hentikan.' Ujar anak beruang merintih kesakitan.
'Kau anjing jahat... kau tidak mempunyai hati.'
Anjing tertegun sejenak lalu menghentikan perbuatannya. Kegilaan telah meninggalkan pikirannya. Ia menatap tubuh ayah dan ibu beruang yang berlumuran darah. Matanya berpaling menatap anak beruang yang bernafas dengan susah payah, hingga hembusan terakhir.