Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Fantasi : Anjing Liar Part 1

11 Mei 2022   05:00 Diperbarui: 4 Juni 2022   16:00 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tunggu, tunggu sebentar!" Seru Ouhm menghentikan karavan yang membawa istri serta putrinya. Tangan kanannya memegang sebuah boneka dari ranting yang teranyam indah. Uap hangat meloncat dari mulutnya yang terengah-engah mengejar kereta yang membawa para kaum wanita berdoa di kuil dewi Shid, ritual yang dilakukan setiap tahun sebagai bentuk rasa syukur karena telah melewati satu lagi musim dingin yang berat.

            Sang kusir menarik kekang pada dua ekor kuda ketika ia mendengar Ouhm berteriak seperti anjing gila yang mengejar buruan. Hewan berkaki enam itu menghentak-hentakan kaki tanda protes ketika kekang melilit hidung mereka dengan erat.

"Tahan...." ujar sang kusir menenangkan kedua hewan kesayangannya. Ia menghela nafas panjang lalu mencari wajah seorang wanita diantara sekian orang yang ia bawa di kereta.

"Lashwi, sudah kubilang untuk menciumnya dulu sebelum kita berangkat pagi ini." Goda sang kusir sembari melempar senyum pada wanita muda yang duduk bersama putri kecilnya. Lashwi merunduk tersipu malu. Seketika tawa hangat para wanita memenuhi kabin kereta kuda.

Si bodoh itu, aku akan membunuhnya ketika pulang nanti, pikir Lashwi membayangkan cara terbaik untuk menghukum suaminya tercinta. Ia turun bersama sang putri kecil menyambut Ouhm yang tersenyum sembari mengangkat boneka yang digenggamnya. Rambut Panjang pria itu berantakan tersapu angin karena berlari. Ia merunduk pada putri kecil yang kini turut berlari menghampiri dirinya.

"Kau menjatuhkan Gerhana. Ayah tahu kau tidak bisa tidur tanpanya." Ouhm memberikan boneka abu-abu berpita kuning dari bunga Kershang yang dikeringkan dan di lilit pada leher boneka. Gigi putih putrinya berkilauan terkena matahari pagi saat ia merangkul Gerhana kembali ke pangkuannya.

"Terimakasih ayah. Aku bahkan tidak tahu kalau Gerhana meloncat keluar. Mungkin dia lebih ingin bersamamu." Ujar si gadis kecil sembari mengayun-ayunkan tangan boneka jerami.

"Githa, kembalilah ke kereta." Ujar Lashwi memanggil.

"Baik bu." Githa memegang tangan sang ayah dan menariknya kearah suara sang ibu berada. Wajahnya memerah ketika sang suami melangkah mendekat. Para wanita tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah laku pria bertubuh tegap itu. Beberapa dari mereka melemparkan godaan pada Lashwi. Meskipun telah Sembilan tahun menikah, para wanita yang lebih tua menganggap keduanya seperti sejoli muda yang baru saja menjalin asmara. Terang saja, Ouhm bisa membuat wanita manapun iri terhadap caranya mencintai Lashwi yang kini harus menggunduli kepalanya untuk berziarah ke kuil Shid. Seperti ketika ia menggendong istrinya di tengah pasar hingga ke rumah karena kakinya terantuk batu atau saat ia menghabiskan hasil perkebunan mereka untuk membeli gaun baru, semuanya ia lakukan sambil memasang senyuman bodoh diwajahnya.

"Harusnya kau tidak perlu kesini. Ia membawa dua boneka lagi bersamanya."

"Tapi boneka-boneka itu bukan Gerhana. Lagipula aku lupa memberikan sesuatu padamu." Ouhm mengeluarkan secarik kertas tebal dari dalam saku lalu memberikannya pada sang istri.

"Doa lagi? Kau sudah menulis sepuluh doa malam kemarin, sayang. Kalau permintaanmu terlalu banyak, sang Dewi akan memberimu karma."

Pria itu menarik tangan lembut istrinya lalu meletakan kertas itu pada telapak sembari berkata.

"Ini untukmu. Bacalah ketika kau sudah tidak melihatku lagi pada cakrawala." Ia memegang kedua tangan Lashwi. Mata pria itu berbinar-binar, senyumannya menipis. Ia mendekatkan kepala pada istrinya yang merunduk malu sembari menggigit bibir bawahnya. Matahari meninggi, memukulkan cahayanya pada ladang tempat mereka berdiri. Sepasang kekasih bermandikan cahaya pagi merupakan pemandangan yang membuat siapapun menghargai kehidupan yang telah diberikan sang Dewi.

"Aku mencintaimu, cepatlah pulang." Ia merangkul Lashwi mendekat.

"Banyak orang yang melihat, Ouhm."

"Biarkan saja." Jawabnya.

Sebelum sempat kecupan mendarat pada dahi Lashwi, sang kusir mengagetkan keduanya.

"Ouhm, jangan lupa Lashwi hendak kemana. Rambut sudah meninggalkan kepalanya, kau tidak boleh menodainya hingga seminggu lagi."

Ouhm berhenti serentak, merenungkan perkataan sang kusir. Ia melepaskan pelukan dan tersenyum bodoh sembari menundukan kepala.

"Benar, maafkan aku." Ujar pria itu mengurungkan niat. Ouhm merapikan rambut dan pakaiannya lalu mengantar Lashwi serta Githa menaiki kereta.

"Aku titip keluargaku, Khali. Berhati-hatilah di jalan." Ujar Ouhm pada sang kusir.

"Kau juga, jaga desa kita. Katakan pada mereka sisakan minuman untukku saat kembali nanti. Satu minggu di kuil tanpa arak akan membuatku gila. Aku tidak tahu kenapa aku mengajukan diri untuk menjadi kusir." Gerutu pria berjanggut panjang itu menyesali keputusannya tiga hari lalu.

"Jangan mengeluh terus. Seminggu tanpa arak mungkin akan membuatmu sadar untuk mencukur sarang lebah diwajahmu. Setelah itu, mungkin Hartih akan menerima lamaranmu."

"Ha! Wanita itu menyukai janggutku. Ia hanya tidak ingin mengakuinya." Ujar sang kusir sambil mengelus-elus ijuk kasar yang bersarang di dagunya dengan bangga.

"Terserah kau saja."

Roda kereta kuda berdecit lembut saat sang kusir memecutkan kekang. Kuda-kuda berjalan berirama meninggalkan Ouhm yang terus melambaikan tangan pada istri serta putrinya. Sesaat setelah suaminya tak terlihat lagi pada cakrawala, Lashwi membuka kertas yang diberikan padanya. Tulisan pada kertas itu terukir indah dengan gaya huruf kerajaan. 

Meski telah Sembilan tahun menikah, Laswhi tidak mengetahui dimana suaminya belajar menulis seperti ini. Ouhm tidak pernah menceritakan dari mana ia berasal atau apa yang ia lakukan sebelum ia datang ke desa mereka.

Lashwi pernah menduga suaminya adalah bangsawan dari ibukota yang melarikan diri karena suatu kejahatan. Namun semua itu terasa konyol, sebab pria yang ia cintai itu terlalu semberono untuk menjadi bangsawan. 

Tangannya kasar karena bekerja dan tubuhnya dipenuhi luka sayat seperti para pria lainnya yang diwajibkan untuk menjadi prajurit oleh paduka raja pada perang besar dua belas tahun lalu. Tidak mungkin ada putra bangsawan yang dikirimkan ke medan perang hingga terluka sebanyak itu, benar kan?

Seiring berjalannya waktu, pria itu tumbuh menjadi suami yang ia kenal hingga sekarang. Seorang laki-laki yang mencintai dirinya dan putri mereka, yang cukup bodoh untuk melompat ke sungai meskipun ia tidak bisa berenang demi menyelamatkan gaun kesayangan Githa yang terbawa arus. 

Lashwi tak lagi mempermasalahkan asal-usul kekasihnya sebab siapapun ia dimasa lalu, Ouhm adalah pria lembut yang ia pilih untuk hidup bersamanya hingga sang dewi memisahkan jiwa dari raganya.

Sebuah puisi, tentu saja, pikirnya. Sang suami bukanlah penyair handal, namun puisi yang ia tulis mampu menarik hati seorang gadis muda hingga mengiyakan permintaannya untuk keluar bersama-sama sembilan tahun lalu. Lashwi melepaskan tudung dari kepala lalu membaca puisi itu keras-keras dalam hatinya.

Sungai, warna surga melebur bersama arus

Putri, malam bersembunyi dari cahayanya

Air mengalir tak tentu, kelaut jua surga membawanya

Air mengalir malam itu, engkau bersama malam

Surgaku bersama malam, rembulan menepihkan terangnya

Hanya warna, hanya aku, hanya engkau surgaku, hanya malam yang mencintai rembulan.

Lashwi tersenyum geli membaca tulisan sang suami. Gaya tulis kekanak-kanakan Ouhm yang tidak pernah berubah meskipun sudah hampir kepala tiga membuatnya tak mampu membayangkan apa yang ada dipikiranya sembilan tahun lalu, saat pria itu mengajaknya melihat rembulan di tepi sungai. Dasar bodoh, aku juga mencintaimu, gumam Lashwi sembari mendekatkan secarik kertas itu ke dadanya.

Jauh di atas bukit, jauh dari pandangan Ouhm serta karavan kereta, seorang penunggang kuda berjubah hitam tengah mengamati Ouhm secara seksama. Matanya tajam membara bagai seekor elang siap menerkam kelinci buruan. Kudanya menghentak-hentakan kaki seolah tidak sabar menerjang kebawah. Aura virant yang keluar dari tubuh pria tersebut merupakan tanda bagi sang hewan tunggangan bahwa tuannya ingin membunuh. 

"Tidak sekarang, kawanku. Tunggulah sedikit lagi..." Ujar pria itu mengelus-elus leher kudanya.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun