"Kau juga, jaga desa kita. Katakan pada mereka sisakan minuman untukku saat kembali nanti. Satu minggu di kuil tanpa arak akan membuatku gila. Aku tidak tahu kenapa aku mengajukan diri untuk menjadi kusir." Gerutu pria berjanggut panjang itu menyesali keputusannya tiga hari lalu.
"Jangan mengeluh terus. Seminggu tanpa arak mungkin akan membuatmu sadar untuk mencukur sarang lebah diwajahmu. Setelah itu, mungkin Hartih akan menerima lamaranmu."
"Ha! Wanita itu menyukai janggutku. Ia hanya tidak ingin mengakuinya." Ujar sang kusir sambil mengelus-elus ijuk kasar yang bersarang di dagunya dengan bangga.
"Terserah kau saja."
Roda kereta kuda berdecit lembut saat sang kusir memecutkan kekang. Kuda-kuda berjalan berirama meninggalkan Ouhm yang terus melambaikan tangan pada istri serta putrinya. Sesaat setelah suaminya tak terlihat lagi pada cakrawala, Lashwi membuka kertas yang diberikan padanya. Tulisan pada kertas itu terukir indah dengan gaya huruf kerajaan.Â
Meski telah Sembilan tahun menikah, Laswhi tidak mengetahui dimana suaminya belajar menulis seperti ini. Ouhm tidak pernah menceritakan dari mana ia berasal atau apa yang ia lakukan sebelum ia datang ke desa mereka.
Lashwi pernah menduga suaminya adalah bangsawan dari ibukota yang melarikan diri karena suatu kejahatan. Namun semua itu terasa konyol, sebab pria yang ia cintai itu terlalu semberono untuk menjadi bangsawan.Â
Tangannya kasar karena bekerja dan tubuhnya dipenuhi luka sayat seperti para pria lainnya yang diwajibkan untuk menjadi prajurit oleh paduka raja pada perang besar dua belas tahun lalu. Tidak mungkin ada putra bangsawan yang dikirimkan ke medan perang hingga terluka sebanyak itu, benar kan?
Seiring berjalannya waktu, pria itu tumbuh menjadi suami yang ia kenal hingga sekarang. Seorang laki-laki yang mencintai dirinya dan putri mereka, yang cukup bodoh untuk melompat ke sungai meskipun ia tidak bisa berenang demi menyelamatkan gaun kesayangan Githa yang terbawa arus.Â
Lashwi tak lagi mempermasalahkan asal-usul kekasihnya sebab siapapun ia dimasa lalu, Ouhm adalah pria lembut yang ia pilih untuk hidup bersamanya hingga sang dewi memisahkan jiwa dari raganya.
Sebuah puisi, tentu saja, pikirnya. Sang suami bukanlah penyair handal, namun puisi yang ia tulis mampu menarik hati seorang gadis muda hingga mengiyakan permintaannya untuk keluar bersama-sama sembilan tahun lalu. Lashwi melepaskan tudung dari kepala lalu membaca puisi itu keras-keras dalam hatinya.