Jakarta- Opini-Sebagai langkah untuk memutus mata rantai persebaran virus yang menular itu, berbagai pihak menyerukan agar pemerintah segera mengambil sikap, mulai dari lock down, social distancing, physical distancing, karantina, isolasi, dan sebagainya.Â
Akhirnya pemerintah memilih jalan tengah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beraktivitas dilonggarkan namun tetap harus mematuhi protokol kesehatan dan menghindari kerumunan massal. Jika melanggar akan ditindak tegas.
Maka diputuskanlah PSBB yang kemudian diregulasikan kedalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019. Sekilas, PSBB memang luwes. Artinya tidak seseram kebijakan-kebijakan yang di tempuh Negara lain seperti China, Amerika Serikat, dan lain-lain yang memilih lock down.
Belum benar-benar terbukti optimal mengatasi penurunan meski semua pihak berusaha maksimal menerapkan PSBB, kini pemerintah mewacanakan untuk menerapakan New Normal (normal baru).
Alasan ekonomi menjadi cikal bakal New Normal yang hendak diterapkan. Wacana itu muncul pertama kali sejak presiden Jokowi membuka acara seremoni pembukaan Mall Summarecon Bekasi pada Selasa 26 Mei lalu. Disini lah babak baru penerapan New Normal itu menggema di tanah air dan terus digulirkan sampai hari ini.
Alih-alih ingin menggalang dukungan dari sejumlah elemen bangsa, malah menuai pro-kontra. Karenanya pemerintah dipandang tidak konsisten. Atas berbagai kebijakannya yang tidak teguh pendirian itu menjadi polemik sehingga menuai pro kontra ditengah-tengah masyarakat, mulai dari politisi, aktivis, pengamat hingga ilmuan.
Tak terkecuali para ahli epidemiologi. Karena bagaimana mungkin pemerintah terus menghembuskan idiom New Normal, sedangkan PSBB masih berlaku di sejumlah wilayah? Pun demikian di ibukota Negara, PSBB masih berlaku untuk semua wilayah sampai 3 Juni mendatang.Â
Puncaknya, wacana New Normal yang akan diterapkan di 102 daerah pada 4 Juni makin menjadi perbincangan. Dengan demikian, 412 dari 514 daerah masih menerapkan PSBB.
Adalah Amien Rais yang pertama kali melontarkan kritikan yang menukik tajam pada pemerintah perihal wacana normal baru itu. Tidak hanya mantan ketua MPR yang tidak setuju dengan pemerintah, namun politisi PKB yang notabene sabagai partai koalisi pemerintah, Yaqut Cholil pun ikut memberikan komentar sebagai tanda tidak setuju dengan New Normal.
Tak terkecuali, Muhammadiyah. Ormas nomor wahid sebagai penyumbang bantuan terbanyak itu turut menuntut ketidakpastian pemerintah di tengah wabah masih menghantui umat manusia di bumi pertiwi ini dan mempertanyakan dasar pemerintah ingin menerapkan wacana tersebut. Dan masih banyak lagi pihak yang tidak sepaham dengan new normal pemerintah.
Sebagai mana diketahui bahwa New Normal yang mencuat saat ini bukanlah istilah yang sebenarnya. Adalah Roger McNamee, seorang investor teknologi venture sekaligus musisi berkebangsaan Amerika Serikat.Â
Dia yang pertama kali mengemukakan istilah ini melalui artikel Polly LaBarre berjudul "The New Normal" di majalah Fast Company pada tanggal 30 April 2003. Menurutnya Normal Baru adalah suatu waktu dimana kemungkinan besar umat manusia bersedia bermain dengan aturan baru untuk jangka panjang.
Kemudian istilah tersebut kembali dipopulerkan lagi oleh Rich Miller dan Matthew Benjamin melalui artikel berjudul "Post-Subprime Economy Means Subpar Growth as New Normal in U.S." yang di muat di Bloomberg.
Setahun kemudian, istilah itu kembali mencuat setelah Paul Glover menulis di kolom opini berjudul "Prepare for the Best" yang ditanykan melalui media daring Philadelphia Citypaper pada 29 Januari 2009. Oleh Glover, normal baru sebagai panduan bagi warga Kota Philadelphia dalam menghadapi isu global warming.Â
Menurutnya normal baru dalam konteks mengahadapi isu lingkungan akibat pemanasan global karena masa depan dunia yang sangat memperhatikan. Dirasa istilah New Normal itu semakin menarik, sehingga dijadikan sebagai salah satu tema dalam debat calon Presiden AS antara Barack Obama dan Mitt Romney pada tahun 2012 silam.
Seiring berkembang zaman, istilah itu kemudian banyak diadopsi diberbagai lini kehidupan. Tetapi istilah ini sebenarnya lebih sering digunakan dalam dunia ekonomi-bisnis bertujuan agar mengingatkan kepercayaan para ekonom dan pembuat kebijakan suatu Negara bahwa ekonomi industri akan kembali ke cara terbaru mereka setelah krisis keuangan tahun 2007-2008.
Disinilahawal mula istilah itu digunakan dalam berbagai konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak normal telah menjadi biasa. Pun demikan dengan berbagai Negara dibelahan dunia yang tengah menghadapi pandemi akibat Covid-19.
Merujuk dari himbauan dari tim dokter University of Kansas Health System beberapa waktu yang lalu memungkinkan ada perubahan perilaku kehidupan sehari-hari agar membatasi kontak fisik manusia yang sebelumnya adalah aktivitas biasa seperti berjabat tangan dan berpelukan, namun menghadapi normal baru ini agar ada pembatasan kontak fisik orang ke orang, seperti berjabat tangan dan pelukan. Inilah yang diadopsi oleh semua Negara termasuk Indonesia.
Kendati demikian, normal baru yang diadopsi kedalam konteks pandemi ini telah terbukti gagal. Sebagai kelinci percobaan, Korea Selatan merupakan Negara uji coba pertama di dunia yang menerapkan New Normal.Â
Namun apa yang terjadi pasca penerapan normal baru? Kini negeri Ginseng itu melaporkan telah mengalami lonjakan kasus gelombang kedua Covid-19 akibat menerpakan normal baru.
Komitmen dan Konsistensi Pemerintah Diuji Publik
Jika ada yang bertanya, mengapakah pemerintah kerap kali mengeluarkan kebijakan yang inkonsisten? Sebelum pertanyaan itu dijawab alangkah kita akan berbalik bertanya, memangnya sejak kapan pemerintahan Jokowi konsisten dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan?
Jika kita menyoroti berbagai kebijakan yang tumpang tindih, ada banyak. Pun demikan sejak periode pertama yang lalu-lalu itu. Boleh dicek sendiri. Tetapi anggap saja itu sebagai masa lampau. Kita maafkan. Barangkali ada itikad baik untuk berubah.
Disitu kita berharap ada evaluasi besar-besaran untuk perbaikan demi penyelamatan bangsa. Sejenak kita melupakan. Kita fokus saja pada masalah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang sedang mewabahi negeri ini. Lebih spesifiknya lagi tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah mengatasi Covid-19.
Bukan kebijakannya yang dipersoalkan, terlebih publik menguji sekaligus menagih komitmen pemerintah mengatasi pandemi yang mematikan ini melalui PSBB. Sejak di umumkan pertama kali pada tanggal 2 Maret-31 Mei 2020, tercatat jumlah positif sudah mencapai 26.473 kasus.
Laju persebaran kasus diatas makin mengkhawatirkan karena dalam sehari (per 31 Mei) saja mencapai 700 kasus. Jika penerapan PSBB saja mengalami lonjakan mencapai 700 bahkan pernah mencapi hampir 1000 kasus dalam sehari, bagaimana nanti pasca normal baru sebagaimana Korea Selatan yang telah terbukti gagal itu? Bukankah kasus diatas cukup mengkhawatirkan?
Meski kurvanya belum juga menunjukkan tren penurunan, namun disisi lain pemerintah justru menggembar-gemborkan New Normal (normal baru). Atau dalam kata lain pemerintah tetap keukeh menerapkan New Normal, padahal ditengah situasi seperti ini mestinya PSBB kian diperlukan. Lagi-lagi pemerintah makin blunder karena tidak konsisten.
Ketidakkonsistenan itu berujung pada 53,8% masyarakat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Demikian Indo Barometer merilis data tersebut pada Kamis (28/5/2020) lalu. Dari data tersebut, ada banyak indikator dan varian masalah.
Diantaranya, lemahnya koordinasi dan komunikasi di jajaran pemerintahan mulai dari pusat hingga daerah, distribusi bantuan tidak tepat sasaran, serta data penerima bantuan tidak akurat. Namun mayoritas masyarakat yang tidak puas karena dipandang tidak konsisten (mis understanding antara presiden sebagai leading sector dengan para pembantunya).
Tampaknya data diatas merupakan indikator dari sederet kebijakan yang tumpang tindih. Inkonsistensi pemerintah yang paling menonjol ketika presiden Jokowi menjelaskan antara mudik dan pulang kampung. Dalam penjelasannya yang paling fenomenal itu sang presiden menuturkan bahwa yang dilarang ialah mudik, sedangkan pulang kampung diperbolehkan.
Kebijakan lainnya saat penerbangan domestik di tutup, namun penerbangan internasional jalan terus. Bahkan yang paling menyayat hati ketika tempat ibadah ditutup sementara konser yang berujung memalukan itu diperbolehkan. Dan masih banyak lagi masalah lainnya.
Kontroversi makin mencuat. Penyakit lama kambuh lagi. Tampaknya inkonsisten seolah menjadi watak pemerintahan Jokowi, karena sedari awal kebijakan yang diambil membuat rakyat semakin bingung atas ketidakpastian yang tak menentu itu.
Sesungguhnya bukan hanya beberapa tokoh diatas yang tidak setuju, namun diinternal pemerintah sendiri tampaknya masih tarik ulur mengenai kebijakan tersebut. Pada suatu kesempatan, Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan New Normal masih wacana.
Tidak hanya Menkopolhukam yang menunjukkan keraguan, rekanan lainnya Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pada suatau kesempatan mengatakan akan ada penyebaran gelombang kedua (second wave). Tak terkecuali, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto ikut mengkhawatirkan adanya second wave.
Dengan demikian otomatis New Normal menjadi keraguan banyak pihak, karena pernyataan-pernyataan beberapa pembantu presiden Jokowi itu menunjukkan sikap sebagai tanda tak setuju dengan normal baru. Jika diinternal pemerintah saja masih ada tarik ulur, bagaimana dengan rakyat pada umumnya? Maka wajar jika Amien Rais dan tokoh-tokoh lain tidak setuju dengan istilah yang sedang hangat diperbincangkan saat ini.
Entah faktor apa yang mendorong pemerintah Indonesia bersikeras menerapkan normal baru. Korea Selatan sebagai Negara uji coba pertama di dunia yang menerapkan New Normal saja kini telah menyesal, karena pasca itu kasus positif mengalami lonjakan gelombang kedua Covid-19. Inilah yang kita khawatirkan. Apakah pengalaman gagal di Negara yang telah menjadi uji coba itu tidak diambil sebagai suatu pelajaran?
Jika gelombang penyebaran kedua itu terjadi, maka sia-sia lah perjuangan selama ini mengurung diri (karantina mandiri), ekonomi anjlok, PHK massal, pengangguran, hingga menyebabkan kelaparan dan berbagai dampak lainnya.
Akibatnya umat muslim menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan, karena semua petinggi Ormas Islam menyerukan kepada jamaahnya agar tetap menaati protokol kesehatan dan PSBB dengan beribadah dirumah masing-masing. Namun pemerintah justru akan menerapkan normal baru ditengah ancaman second wave.
Jika hal ini terus dibiarkan, hal buruk akan menimpa pemerintah. Ketidakpercayaan publik (public distrust) makin meningkat. Mungkin data yang dirilis Indo Barometer diatas akan semakin bertambah jika gelembung bola liar terus menggelinding.
Ditambah oleh pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD yang membandingkan tingkat kematian akibat kecelakaan dan diare lebih banyak dari kematian akibat Corona. Ini membuat kita semua menjadi permisif sekaligus kecewa dengan pemerintah.
Untungnya api ketidakpercayaan itu sedikit dipadami oleh Kapolri Idham Azis, perihal pengerahan TNI-Polri yang diperkirakan mencapai 340.000 personil gabungan. Dalam keterangan persnya, Jenderal Polisi itu menyatakan bahwa pengerahan tersebut bukan untuk penegakkan hukum, melainkan untuk mengedukasi masyarakat.
Langkah ini kita sepakat (meskipun kita kadang ragu dengan kebijakan pemerintah), karena kedisiplinan menaati protokol kesehatan menjadi prioritas utama. Tujuannya agar mempercepat laju pemutusan mata rantai penyakit menular itu mudah teratasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H