Jika kita menyoroti berbagai kebijakan yang tumpang tindih, ada banyak. Pun demikan sejak periode pertama yang lalu-lalu itu. Boleh dicek sendiri. Tetapi anggap saja itu sebagai masa lampau. Kita maafkan. Barangkali ada itikad baik untuk berubah.
Disitu kita berharap ada evaluasi besar-besaran untuk perbaikan demi penyelamatan bangsa. Sejenak kita melupakan. Kita fokus saja pada masalah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang sedang mewabahi negeri ini. Lebih spesifiknya lagi tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah mengatasi Covid-19.
Bukan kebijakannya yang dipersoalkan, terlebih publik menguji sekaligus menagih komitmen pemerintah mengatasi pandemi yang mematikan ini melalui PSBB. Sejak di umumkan pertama kali pada tanggal 2 Maret-31 Mei 2020, tercatat jumlah positif sudah mencapai 26.473 kasus.
Laju persebaran kasus diatas makin mengkhawatirkan karena dalam sehari (per 31 Mei) saja mencapai 700 kasus. Jika penerapan PSBB saja mengalami lonjakan mencapai 700 bahkan pernah mencapi hampir 1000 kasus dalam sehari, bagaimana nanti pasca normal baru sebagaimana Korea Selatan yang telah terbukti gagal itu? Bukankah kasus diatas cukup mengkhawatirkan?
Meski kurvanya belum juga menunjukkan tren penurunan, namun disisi lain pemerintah justru menggembar-gemborkan New Normal (normal baru). Atau dalam kata lain pemerintah tetap keukeh menerapkan New Normal, padahal ditengah situasi seperti ini mestinya PSBB kian diperlukan. Lagi-lagi pemerintah makin blunder karena tidak konsisten.
Ketidakkonsistenan itu berujung pada 53,8% masyarakat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Demikian Indo Barometer merilis data tersebut pada Kamis (28/5/2020) lalu. Dari data tersebut, ada banyak indikator dan varian masalah.
Diantaranya, lemahnya koordinasi dan komunikasi di jajaran pemerintahan mulai dari pusat hingga daerah, distribusi bantuan tidak tepat sasaran, serta data penerima bantuan tidak akurat. Namun mayoritas masyarakat yang tidak puas karena dipandang tidak konsisten (mis understanding antara presiden sebagai leading sector dengan para pembantunya).
Tampaknya data diatas merupakan indikator dari sederet kebijakan yang tumpang tindih. Inkonsistensi pemerintah yang paling menonjol ketika presiden Jokowi menjelaskan antara mudik dan pulang kampung. Dalam penjelasannya yang paling fenomenal itu sang presiden menuturkan bahwa yang dilarang ialah mudik, sedangkan pulang kampung diperbolehkan.
Kebijakan lainnya saat penerbangan domestik di tutup, namun penerbangan internasional jalan terus. Bahkan yang paling menyayat hati ketika tempat ibadah ditutup sementara konser yang berujung memalukan itu diperbolehkan. Dan masih banyak lagi masalah lainnya.
Kontroversi makin mencuat. Penyakit lama kambuh lagi. Tampaknya inkonsisten seolah menjadi watak pemerintahan Jokowi, karena sedari awal kebijakan yang diambil membuat rakyat semakin bingung atas ketidakpastian yang tak menentu itu.
Sesungguhnya bukan hanya beberapa tokoh diatas yang tidak setuju, namun diinternal pemerintah sendiri tampaknya masih tarik ulur mengenai kebijakan tersebut. Pada suatu kesempatan, Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan New Normal masih wacana.