Jumat 6 September 2024, saat media massa di seluruh Indonesia sibuk menyoroti kepergian Bapa Suci Paus Fransiskus untuk melangsungkan kunjungan apostoliknya di Papua New Guinea, umat Katolik Papua dikejutkan dengan berita duka dipanggilnya Pastor Yustinus Rahangiar, Pr ke pangkuan Allah Bapa di surga.
Seorang "Pastor Kampung" itu pergi dalam damai di Rumah Sakit Provita Jayapura. Kepergian mendiang tentu meninggalkan duka yang amat mendalam bukan saja bagi Gereja Katolik Keuskupan Timika tetapi juga segenap umat Tuhan yang mendiami bumi West New Guinea.
Pastor yang kerap disapa Pastor Yus itu menghabiskan seluruh pelayanan pastoral semasa hidupnya di Keuskupan Jayapura -- Dekenat Jayawijaya (Paroki Hepuba, Welesi, Kimbim, Paseima hingga Samenage); Keuskupan Timika -- Dekenat Kamu-Mapiha (Paroki Modio), Moni-Puncak (Paroki St. Mikael Bilogai) dan setelah purna tugas beliau melayani umat di Dekenat Mimika-Agimuga (Paroki St. Sisilia) sebagai pastor pembantu hingga wafatnya.
Dari semua tempat yang disebutkan, Paroki St. Mikael Bilogai adalah yang paling lama beliau mengabdi; kurang lebih selama 17 tahun atau sebagian besar seluruh kehidupan imamatnya dijalaninya di paroki ini. Seluruh wilayah dekenat Moni-Puncak, dari Paroki St. Petrus Mbugulo hingga Paroki St. Petrus Ilaga sangat berkesan baginya. Â
Dua tahun lalu tepatnya pada tanggal 19 Agustus 2022, dalam rangka menulis biografinya, saya berkesempatan mewawancarai beliau di ruang kerjanya di Pastoran Bilogai. Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam. Banyak data saya peroleh.
Namun, setelah mewawancarainya rupanya beliau "menolak" secara halus untuk menuliskan biografinya dengan mengatakan "Frater, saya tidak terlalu berbuat banyak untuk umat di tanah ini, di dekenat ini. Saya harap pengalaman yang sudah saya ceritakan ini menjadi motivasi buat Frater kelak ketika menjadi imam". Dan saya memaklumi maksud beliau.
Berikut sedikit poin penting dari hasil wawancara yang coba saya rangkum dalam bentuk refleksi kecil untuk menggambarkan sosok mendiang Pastor Yustinus Rahangiar, Pr.
Imam Tuhan
Sebelum lebih jauh mengajukan pertanyaan wawancara lainnya, saat itu saya bertanya kepada beliau, "Apakah dengan menjadi Imam, Pastor merasa gembira?" Petanyaan ini dijawab dengan senyum dan sedikit tetawa kecil, "sejauh ini saya merasa gembira sekalipun kadang berbagai persoalan pastoral di tengah umat bikin saya punya kepala ini pusing. Tapi, mau bagaimana lagi, mau -- tidak mau, suka -- tidak suka harus dihadapi".
Jawaban reflektif yang mendalam ini bagi saya menyiratkan dua hal: pertama, beliau sungguh menyadari bahwa ia dipanggil Tuhan Yesus menjadi imam-Nya untuk menggembalakan kawanan domba-Nya di bawah payung Gereja Katolik Roma yang satu, kudus, katolik dan apostolik.