Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Negara Harus Tahu Malu

30 Desember 2023   21:12 Diperbarui: 30 Desember 2023   21:18 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 83 negara mendesak Indonesia membuka akses bagi kunjungan Komisi Tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke Papua. Desakan ini adalah bukti ketidakpercayaan dunia internasional terhadap narasi manis para diplomat Indonesia di setiap sidang tahunan majelis umum PBB. Dunia internasional sudah mengetahui adanya ethnic cleansing, genosida dan ekosida secara masif di Papua.

Kita bisa saksikan bersama bagaimana para diplomat Indonesia meyakinkan dunia internasional bahwa di Papua sedang baik-baik saja; negara sedang menggenjot pembangunan infrastruktur; negara memiliki niat baik untuk menuntaskan seluruh khasus pelanggaran HAM; negara sedang meningkatkan mutu pendidikan dan ekonomi; dan alasan klasik lainnya. Seluruh narasi ini dengan sendirinya terbantahkan melalui desakan 83 negara kepada Indonesia.

Hari ini, negara Indonesia sedang gugup, cemas, takut, bingung, kalau-kalau kunjungan Dewan HAM PBB itu benar-benar terwujudkan. Mengapa? Karena seluruh kejahatan negara di Papua pasti terbongkar. Karena itu, kunjungan tersebut pasti akan diupayakan semaksimal mungkin agar ditunda atau dibatalkan dengan berbagai alasan.

Negara Indonesia benar-benar menyadari bawah kejahatan yang dilakukannya bukan saja terhadap manusia tetapi juga lingkungan hidup. Hampir ratusan ribu hektar hutan Papua dibabat habis per tahun; tanah-tanah ulayat dieksploitasi; hanya karena kepentingan ekonomi kapitalis. Kita bisa temukan data-data tersebut pada laporan tahunan SKPKC, KPKC, ICTJ, Greenpeace, WALHI, ELSHAM, LBH, dan berbagai LSM yang selalu mangadvokasi masalah tersebut.

Terhadap seluruh kejahatan ini, siapa yang paling bertanggungjawab? Jelas jawabannya adalah negara. Dalam hal ini, elite-elite pemerintah pusat di Jakarta dan Papua. Dua aktor ini paling bertanggungjawab.

Elite di Jakarta

Tentunya, citra negara di Papua sudah sangat buruk. Rakyat sudah tidak percaya kepada negara. Kecuali, segelintir rakyat dan elite asli Papua yang dibiayai oleh negara untuk membangun citra baik negara di Papua melalui opini-opini publik. Ketidakpercayaan rakyat sangat berdasar. Mereka tidak merasakan kehadiran negara bagi mereka. Seluruh kebijakan di berbagai aspek yang dilahirkan negara melalui para elite hampir selalu bersifat diskriminatif dan sangat oligarkis.

Seluruh kebijakan itu tidak terlepas dari kepentingan oligarki dan pemilik modal. Mereka hanya mementingkan akumulasi kapital tanpa menghargai dan menghormati harkat dan martabat rakyat Papua. Bahkan demi akumulasi kapital, aparat keamana dijadikan sebagai sarana penyukses seluruh kebijakan negara.

Penulis menduga, Tanah Papua sepertinya sudah dikapling oleh para petinggi negara di Jakarta. Buktinya, dalam laporan beberapa LSM, beberapa elite diduga "ikut bermain" dalam berbagai proyek pertambangan dan eksploitasi hutan di Papua. Kalau kita lihat secara jernih, beberapa daerah konflik di Papua seperti, Maybrat, Intan Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, ini adalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam sangat banyak. Belum terhitung beberapa daerah lainnya yang sedang terjadi illegal logging dan illegal mining.

Berbagai daerah ini akan diupayakan menjadi lahan proyek bagi kepentingan akumulasi kapital negara. Di satu sisi, eksploitasi tanah dan hutan Papua sangat membantu peningkatan ekonomi negara. Namun di lain sisi, negara tidak pernah memproteksi hak ulayat tanah masyarakat lokal; memberi jaminan keamanan; memperhatikan hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal.

Elite di Papua

Selain elite di Jakarta, elit asli Papua di Papua juga tentu punya peranan penting. Hari ini, psikologi mereka berada pada posisi dilema antara memihak pada rakyatnya atau pada kepentingan negara. Kita bisa melihat itu dari konsistensi setiap kebijakan yang dilahirkan. Apakah kebijakan untuk memandirikan rakyat asli Papua secara ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan sudah benar-benar diimplementasikan? Dalam konteks Otonomi Khusus, penulis secara tegas ingin mengatakan TIDAK.

Jika elite asli Papua benar-benar memihak rakyatnya, maka kita tidak akan menyaksikan mama-mama asli Papua berjualan dengan beralaskan plastik atau karung; adanya tapol/napol di rutan dan lembaga kemasyarakatan; transmigrasi yang semakin masif; tanah-tanah ulayat digusur secara semena-mena; kematian ibu dan anak akibat fasilitas kesehatan yang sangat buruk; jumlah buta aksara semakin meningkat; dan berbagai macam kekacauan yang terjadi akibat pengambilan kebijakan yang buruk dan pengimplementasiannya yang tidak konsisten.

Empat Akar Masalah yang Diabaikan

Negara, dalam hal ini, elite-elite di Jakarta dan Papua harus tahu malu. Rakyat, alam dan Tuhan sedang manyaksikan kejahatan yang sedang terjadi di atas tanah ini. Sadar atau tidak sadar, ethnic cleansing, genosida dan ekosida sedang menggerogoti tubuh manusia dan tanah Papua. Sementara elite-elite hanya sibuk mementingkan akumulasi kapital, pemekaran, uang, proyek dan jabatan.

Negara sudah seharusnya sadar dan malu karena LIPI sudah membantu negara dalam merumuskan empat akar masalah Papua. Empat akar masalah ini dikaji secara ilmiah. Bagaimana mungkin negara terus-menerus menolak untuk menyelesaikan empat akar masalah ini? Itu artinya tidak ada keseriusan dan niat baik dari negara untuk benar-benar menyelesaikan masalah Papua.

Sudah saatnya negara tidak perlu basah-basih lagi. Fokus pada penyelesaian empat akar masalah. Negara jangan berdalih lagi bahwa pemberian dana Otonomi Khusus adalah jawaban bagi setiap persoalan Papua. Rakyat sudah menolak Otsus. Bagi rakyat, Otsus sudah gagal. Otsus hanya berhasil bagi para elite.

Untuk memperjelas empat akar masalah Papua menurut LIPI di atas, berikut akan diuraikan sedikit pemahaman menurut pengamatan empirik penulis secara pribadi:

Pertama, kegagalan pembangunan. Ada dua jenis kegagalan pembangunan. Pertama, kegagalan membangun infrastruktur. Negara buta melihat hal ini. Negara tidak menyadari bahwa tanah yang digunakan sebagai objek pembangunan memilik hubungan metafisik antara tanah dan manusia. Ada banyak nilai terkandung di dalam relasi itu; nilai religi; sosial; politik; budaya; ekonomi; pendidikan; kesehatan; dan sebagainya.

Kedua, kegagalan membangun karakter masyarakat lokal. Apakah negara sudah berhasil membangun karakter masayarakat? Tentu tidak. Terhadap semua pembangunan itu, rakyat asli Papua akan menjadi penonton bahkan korban. Karakteristik dasar mereka jelas masih sangat tradisional. Mereka belum siap menghadapi perkembangan seperti di daerah lain.

Kedua, diskriminasi dan marginalisasi. Data sensus penduduk tahun 2000, 2010 dan 2020 menunjukkan bahwa jumlah orang asli Papua semakin menurun. Itu artinya, populasi warga non-OAP semakin meningkat. Dampaknya, orang asli Papua akan semakin menjadi penonton di atas tanah leluhurnya. Segala aspek dikuasai oleh warga non-OAP.

Ketiga, pelanggaran HAM. Logikanya, jika tidak ada pelanggaran HAM atau negara sedang berupaya menyelesaikan khasus pelanggaran HAM di Papua secara transparan, maka tidak akan ada desakan dari 83 negara kepada Indonesia untuk membuka akses bagi kunjungan Komisi Tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke Papua. Dunia internasional dan rakyat Papua sendiri sudah menyadari bahwa sejak integrasi/aneksasi, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang dituntaskan.

Keempat, status politik Papua. Ini adalah inti atau causa prima seluruh persoalan Papua. Negara harus secara gentleman membuktikan secara hukum internasional kepada dunia dan terutama rakyat Papua bahwa wilayah Papua secara administratif berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai hari ini, belum pernah ada pembuktian. Itu yang dipersoalkan oleh rakyat Papua.

Keempat akar masalah Papua ini adalah beban moral negara yang belum dituntaskan. Ini mestinya benar-benar menjadi fokus utama negara. Harapannya, negara membuka ruang dialog dengan aktor-aktor yang sudah dirumuskan oleh Jaringan Damai Papua. Dalam dialog, penting juga dihadirkan pihak ketiga sebagi mediator, sebab, masalah Papua adalah masalah yang berdimensi internasional.

Penulis yakin, negara sendiri tidak ingin dicatat sebagai negara paling memalukan di dunia pada abad moderen ini karena masih terus memelihara pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun