Ketiga, pelanggaran HAM. Logikanya, jika tidak ada pelanggaran HAM atau negara sedang berupaya menyelesaikan khasus pelanggaran HAM di Papua secara transparan, maka tidak akan ada desakan dari 83 negara kepada Indonesia untuk membuka akses bagi kunjungan Komisi Tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke Papua. Dunia internasional dan rakyat Papua sendiri sudah menyadari bahwa sejak integrasi/aneksasi, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang dituntaskan.
Keempat, status politik Papua. Ini adalah inti atau causa prima seluruh persoalan Papua. Negara harus secara gentleman membuktikan secara hukum internasional kepada dunia dan terutama rakyat Papua bahwa wilayah Papua secara administratif berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai hari ini, belum pernah ada pembuktian. Itu yang dipersoalkan oleh rakyat Papua.
Keempat akar masalah Papua ini adalah beban moral negara yang belum dituntaskan. Ini mestinya benar-benar menjadi fokus utama negara. Harapannya, negara membuka ruang dialog dengan aktor-aktor yang sudah dirumuskan oleh Jaringan Damai Papua. Dalam dialog, penting juga dihadirkan pihak ketiga sebagi mediator, sebab, masalah Papua adalah masalah yang berdimensi internasional.
Penulis yakin, negara sendiri tidak ingin dicatat sebagai negara paling memalukan di dunia pada abad moderen ini karena masih terus memelihara pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H