Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hermaneutika dalam Karya Seni

7 November 2023   23:54 Diperbarui: 8 November 2023   03:32 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuk pengungkapan diri pengada selalu diantarai oleh bahasa. Manusia adalah pengada dalam bahasa. Lewat bahasalah dunia terbuka dan menyingkapkan dirinya kepada manusia. Manusia berusaha mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Manusia tidak bisa memahami dirinya kecuali kalau manusia memahami dirinya tersituasikan dalam budaya yang dimediasi bahasa dan bersifat historis. Bahasa adalah kodrat kedua manusia.

Cara pandang semacam ini punya konsekuensi dalam memahami seni, budaya dan teks-teks historis. Sebagai bagian dari tradisi, karya-karya historis tidak pertama-tama menghadirkan diri mereka di depan kita sebagai sesuatu yang netral dan objek bebas nilai. Mereka adalah bagian dari cakrawala yang kita hidupi dan lewatnya pandangan kita tentang dunia mendapatkan bentuknya. Dengan lain kata, kita sudah selalu dibentuk oleh karya dan teks-teks historis ini sebelum kita mendekatinya secara objektif.

Hermaneutika Dalam Karya Seni

Sebagai murid Heidegger yang paling menonjol, Gadamer telah memberikan sumbangsih orisinil bagi seni. Proyek utamanya adalah rekonstruksi hermaneutika fenomenologis. Pandangan estetika Gadamer bisa dilihat pada rekonstruksi hermaneutika tersebut. Karya besarnya, Wahrheit und Methode, adalah sebuah kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang dilandasi oleh penjelasan tentang estetika dari sudut pandang fenomenologi.

Gadamer memandang kekhasan metodologi ilmu-ilmu sosial dibanding ilmu-ilmu alam tercermin dalam kekhasan seluruh aspek seni dibanding sains secara umum. Dengan perbandingan itu, ia mau menunjukkan bahwa seni juga memiliki akses terhadap kebenaran dengan cara dan bahasanya sendiri yang berbeda dari sains. Demikian pula dengan ilmu-ilmu sosial. Karya seni menunjukkan batas-batas dari logika ilmiah dan monopolinya terhadap klaim kebenaran dan karenanya dapat dilihat sebagai alegori tentang perlawanan atas ilmu-ilmu alam yang selama ini menjajah ilmu-ilmu sosial (Gadamer, 2004:xiii).

Gadamer mendudukan persoalan seni melalui analisis fenomenologis atas dua aspek. Pertama, pada aspek ontologis berupa kajian tentang hakikat karya seni. Kedua, aspek epistemologis berupa analisis terhadap estetis. Jika karya seni didekati secara ontologis, maka akan ditemukan bahwa karya tersebut adalah sebuah permainan. Sementara, jika secara epistemologis, maka akan ditemukan bahwa karya tersebut mempunyai hubungan khusus dengan kebenaran.

Gadamer seperti halnya Heidegger, mengkritisi metafisika subjektivitas dalam estetika. Salah satu bagian dari metafisika tersebut adalah tentang konsepsi karya seni sebagai objek hasil ciptaan seniman. Gadamer menolak dan mencoba membongkarnya. Menurutnya, karya seni harus dilihat sebagai subjek itu sendiri. Karya seni tak hanya dialami, tetapi juga merupakan pengalaman itu sendiri. Sebagai pengalaman, karya seni bahakan mampu mengubah orang yang mengalaminya (Gadamer, 1960:92).

Menurut Gadamer, konsepsi tentang karya seni sebagai subjek diumpamakan sebagai sebuah permainan (spiel). Sebagaimana karya seni, pemain juga harus dilihat terpisah dari maksud orang-orang yang bermain di dalamnya. Permainan memiliki aturan tersendiri yang harus diikuti oleh para pemain. Maka dari itu, permainan pertama-tama harus dilihat bukan sebagai aktivitas para pemain, melainkan sebagai sebuah karya yang mandiri keberadaanya. Permainan tetap ada terlepas dari apakah ia dimainkan atau tidak (Gadamer, 1960:93).

Permainan memiliki swa-representasi. Permainan tidak merepresentasikan maksud pemain ataupun pembuat aturan. Permainan merepresentasikan peraturannya sendiri. Merepresentasikan dirinya sendiri. Dengan begitu juga berlaku pada karya seni. Tak bisa sebuah karya seni dikerdilkan hanya sebagai sebuah representasi efek dunia luar karya maupun dari si seniman. Karya seni merepresentasikan dirinya sendiri. Gadamer memandang bahwa sebuah karya seni rupa (lukisan), apa yang merepresentasikan dan direpresentasikan olehnya bukanlah dua hal yang terpisah melainkan menyatu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya seni secara ontologis serupa dengan permainan dalam dua aspeknya. Pertama, seperti permainan, karya seni bukanlah sebuah objek sehingga analisis terhadapnya tidak bisa disempitkan pada analisis atas maksud si seniman maupun respon pembaca. Kedua, seperti permainan, karya seni tidak bisa diwakili oleh apapun kecuali dirinya sendiri. Sehingga analisis tentangnya mesti mengabaikan semua acuan eksternal yang kita duga terdapat dalam karya.

Karya seni adalah hal yang tak pernah selesai dialami. Karena itu, bagi Gadamer, karya seni mengandung dimensi ketakterhinggaan; selalu bisa diulang, selalu tampak baru, meskipun karya seni yang sama. Setiap kali berhadapan dengan pembaca dengan konteks sosio-historis baru, karya tersebut akan menghasilkan pemaknaan baru. Ibarat permainan, karya seni adalah permainan yang tak pernah selesai. Di sinilah gerbang pemikiran Gadamer dituju, tentang epistemology estetika, menyoal pengalaman estetis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun