Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hermaneutika dalam Karya Seni

7 November 2023   23:54 Diperbarui: 8 November 2023   03:32 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hans-George Gadamer, seorang filsuf yang lahir di kota Marburg - Jerman pada tanggal 11 Februari 1900. Ia terlahir dari keluarga Protestan yang berkecukupan. Gadamer sempat memperlajari sastra, sejarah seni, psikologi, dan filsafat di Universitas Bresleu di Polandia pada awal 1918 (Hardiman, 2015:155). Bebebrapa bulan belajar di Bresleu, ia kemudian pindah mengikuti ayahnya ke Marburg.

Di Marburg, Gadamer dididik dalam lingkaran akademik yang kuat berhubung ayahnya adalah seorang profesor kimia yang sempat menjabat sebagai rekto Universitas Marburg. Berbeda dengan ayahnya yang fokus pada ilmu-ilmu alam, Gadamer justru menaruh minatnya pada ilmu-ilmu sosial seperti filsafat. Dalam mengembangkan filsafatnya, ia berguru kepada Martin Heidegger. Sehingga amatlah jelas filsafatnya banyak dipengaruhi oleh panorama pemikiran Heidegger.

Konsep hermaneutika Gadamer sudah tidak asing lagi bagi masyarakat modern abad ke-21 ini. Ia paling kurang menjadi rujukan utama ketika membicarakan tentang hermaneutika. Apa itu hermaneutika? Hermaneutika berasal dari bahasa Yunani: hermeneuen (menafsir) dan hermeneia (penafsiran). Kedua istilah ini diambil dari nama seorang pembawa kabar baik yaitu Hermenes Ton Theon atau yang sering dikenal dengan nama Hermes.

Hermes memiliki kemampuan menyampaikan pesan-pesan suci dari Dewa-Dewi kepada manusia agar dapat dipahami dengan baik. Dalam menyampaikan pesan, Hermes memiliki kemampuan membahasakan, menerangkan dan menerjemahkan pesan-pesan dengan tepat (Gusmao, 2013:21-22). Pesan yang disampaikan sangat jelas sehingga manusia langsung memahami isi pesan tanpa harus menafsirnya lagi.

Dimensi Filosofis Hermaneutika

Konsep hermaneutika Gadamer tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh filsafat Heidegger. Gadamer melanjutkan kontribusi Heidegger pada hermaneutika secara khusus konsepnya tentang "Being and Time". Hermaneutika di bawa selangkah lebih jauh ke dalam kata "linguistik" dengan sebuah pernyataan kontroversialnya yaitu, "Ada (Being) yang dapat dipahami adalah bahasa".

Hermaneutika adalah pertemuan dengan ada (Being) melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia itu sendiri dan hermaneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa yang ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas. Oleh karena itu, hermaneutika diletakkan dalam pusat persoalan filosofis yang tidak bisa lari dari persoalan-persoalan epistemologis dan ontologis (Palmer, 2005:47).

Karya Gadamer, Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) (1960), memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermaneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh objek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat perhatian dari Gadamer. Berkaitan dengan hal ini Gadamer mengatakan, "semua yang tertulis pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai objek hermaneutika".

Menurut Gadamer, hermaneutika berkaitan pula dengan pengalaman bukan hanya dengan pengetahuan. Berkaitan dengan dialektika, bukan dengan metodologi. Metode dalam pandangannya bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran. Kebenaran akan mengelak jika kita menggunakan metodologi. Bagi Gadamer, metode tidak mampu mengesplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Hermaneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap kebenaran serta menemukan hakikat realitas segala sesuatu secara sebenarnya (Kaelan, 2002:209).

Kerangka hermaneutika Gadamer berangkat dari paradigma Heidegger tentang pembalikan ontologis dalam hermaneutika. Gadamer rupanya bergerak lebih jauh lagi dengan meneliti konsekuensi dari pembalikan itu terhadap ilmu-ilmu humaniora. Dalam rangka itu Gadamer mengkombinasikan pendekatan ontologis-eksistensial Heidegger khususnya tentang pemahaman sebagai bentuk penyingkapan diri dengan ide Bildung (pendidikan dalam kultur).

Bentuk pengungkapan diri pengada selalu diantarai oleh bahasa. Manusia adalah pengada dalam bahasa. Lewat bahasalah dunia terbuka dan menyingkapkan dirinya kepada manusia. Manusia berusaha mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Manusia tidak bisa memahami dirinya kecuali kalau manusia memahami dirinya tersituasikan dalam budaya yang dimediasi bahasa dan bersifat historis. Bahasa adalah kodrat kedua manusia.

Cara pandang semacam ini punya konsekuensi dalam memahami seni, budaya dan teks-teks historis. Sebagai bagian dari tradisi, karya-karya historis tidak pertama-tama menghadirkan diri mereka di depan kita sebagai sesuatu yang netral dan objek bebas nilai. Mereka adalah bagian dari cakrawala yang kita hidupi dan lewatnya pandangan kita tentang dunia mendapatkan bentuknya. Dengan lain kata, kita sudah selalu dibentuk oleh karya dan teks-teks historis ini sebelum kita mendekatinya secara objektif.

Hermaneutika Dalam Karya Seni

Sebagai murid Heidegger yang paling menonjol, Gadamer telah memberikan sumbangsih orisinil bagi seni. Proyek utamanya adalah rekonstruksi hermaneutika fenomenologis. Pandangan estetika Gadamer bisa dilihat pada rekonstruksi hermaneutika tersebut. Karya besarnya, Wahrheit und Methode, adalah sebuah kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang dilandasi oleh penjelasan tentang estetika dari sudut pandang fenomenologi.

Gadamer memandang kekhasan metodologi ilmu-ilmu sosial dibanding ilmu-ilmu alam tercermin dalam kekhasan seluruh aspek seni dibanding sains secara umum. Dengan perbandingan itu, ia mau menunjukkan bahwa seni juga memiliki akses terhadap kebenaran dengan cara dan bahasanya sendiri yang berbeda dari sains. Demikian pula dengan ilmu-ilmu sosial. Karya seni menunjukkan batas-batas dari logika ilmiah dan monopolinya terhadap klaim kebenaran dan karenanya dapat dilihat sebagai alegori tentang perlawanan atas ilmu-ilmu alam yang selama ini menjajah ilmu-ilmu sosial (Gadamer, 2004:xiii).

Gadamer mendudukan persoalan seni melalui analisis fenomenologis atas dua aspek. Pertama, pada aspek ontologis berupa kajian tentang hakikat karya seni. Kedua, aspek epistemologis berupa analisis terhadap estetis. Jika karya seni didekati secara ontologis, maka akan ditemukan bahwa karya tersebut adalah sebuah permainan. Sementara, jika secara epistemologis, maka akan ditemukan bahwa karya tersebut mempunyai hubungan khusus dengan kebenaran.

Gadamer seperti halnya Heidegger, mengkritisi metafisika subjektivitas dalam estetika. Salah satu bagian dari metafisika tersebut adalah tentang konsepsi karya seni sebagai objek hasil ciptaan seniman. Gadamer menolak dan mencoba membongkarnya. Menurutnya, karya seni harus dilihat sebagai subjek itu sendiri. Karya seni tak hanya dialami, tetapi juga merupakan pengalaman itu sendiri. Sebagai pengalaman, karya seni bahakan mampu mengubah orang yang mengalaminya (Gadamer, 1960:92).

Menurut Gadamer, konsepsi tentang karya seni sebagai subjek diumpamakan sebagai sebuah permainan (spiel). Sebagaimana karya seni, pemain juga harus dilihat terpisah dari maksud orang-orang yang bermain di dalamnya. Permainan memiliki aturan tersendiri yang harus diikuti oleh para pemain. Maka dari itu, permainan pertama-tama harus dilihat bukan sebagai aktivitas para pemain, melainkan sebagai sebuah karya yang mandiri keberadaanya. Permainan tetap ada terlepas dari apakah ia dimainkan atau tidak (Gadamer, 1960:93).

Permainan memiliki swa-representasi. Permainan tidak merepresentasikan maksud pemain ataupun pembuat aturan. Permainan merepresentasikan peraturannya sendiri. Merepresentasikan dirinya sendiri. Dengan begitu juga berlaku pada karya seni. Tak bisa sebuah karya seni dikerdilkan hanya sebagai sebuah representasi efek dunia luar karya maupun dari si seniman. Karya seni merepresentasikan dirinya sendiri. Gadamer memandang bahwa sebuah karya seni rupa (lukisan), apa yang merepresentasikan dan direpresentasikan olehnya bukanlah dua hal yang terpisah melainkan menyatu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya seni secara ontologis serupa dengan permainan dalam dua aspeknya. Pertama, seperti permainan, karya seni bukanlah sebuah objek sehingga analisis terhadapnya tidak bisa disempitkan pada analisis atas maksud si seniman maupun respon pembaca. Kedua, seperti permainan, karya seni tidak bisa diwakili oleh apapun kecuali dirinya sendiri. Sehingga analisis tentangnya mesti mengabaikan semua acuan eksternal yang kita duga terdapat dalam karya.

Karya seni adalah hal yang tak pernah selesai dialami. Karena itu, bagi Gadamer, karya seni mengandung dimensi ketakterhinggaan; selalu bisa diulang, selalu tampak baru, meskipun karya seni yang sama. Setiap kali berhadapan dengan pembaca dengan konteks sosio-historis baru, karya tersebut akan menghasilkan pemaknaan baru. Ibarat permainan, karya seni adalah permainan yang tak pernah selesai. Di sinilah gerbang pemikiran Gadamer dituju, tentang epistemology estetika, menyoal pengalaman estetis.

Menurut Gadamer, secara epistemologis, karya seni memiliki hubungan khusus dengan kebenaran. Menurutnya, pengalaman estetis pada dasarnya merupakan "modus pemahaman diri". Dengan melihat sebuah karya seni, pembaca sesungguhnya melihat dirinya sendiri. Semakin memasuki kedalaman sebuah karya seni, semakin kita meresapi relung terdalam diri kita sendiri.

Pengalaman estetis pada akhirnya adalah pengalaman tentang kebenaran eksistensial, kebenaran yang terpondasikan pada pengalaman konkrit kehidupan pembaca yang menyejarah. Karya seni terus bertumbuh-kembang di dalam pengalaman estetis pembaca. Sehingga percakapan terus-menerus dengan sebuah karya membuat karya tersebut menjadi abadi.   

Referensi

F. Budi Hardiman. 2015. Seni Memahami: Hermaneutika Dari Schleiermacher Sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius.

Hans-Georg. Gadamer. 1960. Truth and Method, London: Shed and Ward.

Hans-Georg. Gadamer. 2004. Truth and Method, Penerj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Martinho G. da Silva Gusmao. 2013. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermaneutik yang Mengagungkan Tradisi, Yogyakarta: Kanisius.

Richard E. Palmer. 2005. Hermaneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Penerj. Masnur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun