Mohon tunggu...
Muhammad Ariq Rifky
Muhammad Ariq Rifky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

....

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kebijakan Terkait Perlindungan Tenaga Kerja dan Ancaman Disrupsi Teknologi

20 Juni 2022   23:48 Diperbarui: 20 Juni 2022   23:59 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebijakan atau Regulasi Terkait Perlindungan Kerja

Regulasi atau kebijakan terkait perlindungan ketenagakerjaan mulanya telah digambarkan secara umum melalui UUD 1945, yaitu pada Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak". 

Oleh karenanya, Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 ini menjadikan pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menyediakan kesempatan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai dengan Hak Asasi Manusia. 

Dalam hal ini, dalam hubungan industrial yang terjadi antara ketiga pihak (pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh), pemerintah menjadi pihak ketiga yang turut campur tangan dalam pembuatan kebijakan atau regulasi yang kiranya ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran segenap rakyat Indonesia serta didasari dengan Pancasila.

Selain pada UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2), perihal perlindungan ketenagakerjaan juga diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian mengalami perbaikan kembali melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Umpamanya, pada UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 5 berbunyi "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan" yang juga berkaitan dengan Pasal 6 yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha". 

Kedua pasal ini menyatakan keberadaan hak tenaga kerja untuk memperoleh kesempatan kerja dan perlakuan yang berkeadilan tanpa adanya diskriminasi. Di sisi lain, pengusaha juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama dan berkeadilan terhadap setiap tenaga kerjanya.

Tidak hanya itu, perihal perlindungan kerja juga diatur pada pasal-pasal lain di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:

  • Pasal 11, menyatakan pekerja berhak memperoleh dan mengembangkan kompetensi kerja melalui pelatihan kerja
  • Pasal 12 ayat (1), menyatakan bahwa pengusaha bertanggung jawab terhadap atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja
  • Pasal 12 ayat (3), menyatakan bahwa setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pelatihan kerja yang sesuai dengan bidang tugasnya
  • Pasal 31, menyatakan bahwa setiap pekerja memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh penghasilan yang layak baik di dalam maupun luar negeri
  • Pasal 52 ayat (1), menyatakan bahwa hubungan kerja diatur melalui perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh
  • Pasal 67 ayat (1), menyatakan bahwa pengusaha memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya yang memiliki kecacatan
  • Pasal 76, menyatakan perlindungan terhadap pekerja perempuan
  • Pasal 80, menyatakan kewajiban pengusaha untuk memberikan kesempatan beribadah yang secukupnya kepada setiap pekerja
  • Pasal 86 ayat (1), menyatakan hak pekerja untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja
  • Pasal 88 ayat (1), menyatakan hak pekerja untuk memperoleh penghasilan yang layak, diperinci kembali pada pasal 88 ayat (3) mengenai cakupan kebijakan pengupahan tenaga kerja
  • Pasal 99 ayat (1), menyatakan hak atas jaminan sosial tenaga kerja bagi setiap pekerja dan keluarganya
  • Pasal 104 ayat (1), menyatakan hak pekerja untuk membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Maka dapat disimpulkan bahwa pembahasan perlindungan terhadap tenaga kerja pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melingkupi:

  • Hak dasar berunding antara pekerja dan pengusaha;
  • perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
  • perlindungan bagi pekerja perempuan dan penyandang cacat;
  • perlindungan mengenai upah dan jaminan sosial tenaga kerja;
  • perlindungan terhadap kebebasan berserikat dan berorganisasi

Selain itu, sebagaimana telah dinyatakan pada UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 99 ayat (1), perlindungan ekonomi berupa hak atas kepastian penerimaan penghasilan tenaga kerja diwujudkan melalui program JAMSOSTEK yang kemudian berubah nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan melalui UU No. 24 Tahun 2001. Program-program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan ini meliputi jaminan atas:

  • kecelakaan kerja;
  • hari tua;
  • pensiun;
  • dan kematian.

Meski begitu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini kerap kali dianggap multitafsir dan menyebabkan beberapa permasalahan. 

Misalnya pada Pasal 154 huruf c yang berbunyi "pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;". Kebijakan ini menimbulkan multitafsir terhadap penentuan usia pensiun seorang pekerja pada suatu perusahaan. Akibatnya, perusahaan memiliki kebebasan tersendiri untuk menentukan usia pensiun pekerjanya. 

Dilansir melalui portal berita Hukumonline, kejadian multitafsir terhadap UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 154 Huruf c ini sempat diperkarakan oleh Eko Sumantri dan Sarwono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Serikat Pekerja PT PLN pada September 2020 lalu. 

Hal ini terkait dengan adanya perbedaan batasan usia pensiun pekerja yang tercantum pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan. 

Umpamanya, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tahun 2010-2012 PT PLN (Persero), Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero), dan peraturan perundang-undangan menetapkan kebijakan batasan usia pensiun yang berbeda-beda sehingga  menimbulkan diskriminasi terhadap usia pensiun di antara sesama pegawai PLN.  

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kemudian diperbaharui kembali dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja atau yang kerap dikenal dengan Omnibus Law ini memiliki beberapa perbedaan dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, terutama dalam hal perlindungan ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:

  • Pasal 79 ayat (2) huruf b  dan d pada UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
  • b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
  • d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

  • sedang pada UU Cipta Kerja, waktu istirahat bagi pekerja hanya diperbolehkan selama satu hari dalam sepekan dan ketentuan mengenai cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja dihapuskan.

  • Pasal 154 dan 155 pada UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dapat dilakukan ketika pekerja/buruh mengundurkan diri, melakukan kesalahan berat, mencapai usia pensiun, meninggal dunia, atau perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan, peleburan, perubahan kepemilikan yang kemudian apabila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak serta uang pesangon dan penghargaan masa kerja sebanyak satu kali. Sementara itu, apabila pengusaha menjadi pihak yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan tenaga kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja sebanyak satu kali, dan uang pesangon sebesar dua kali.
  • Sementara itu, UU Cipta Kerja merevisi pasal 154 dan 155 dengan memasukkan pasal 154 A yang menyatakan pemutusan hubungan kerja diperbolehkan apabila termasuk dalam beberapa alasan berikut:
  • perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
  • perusahaan melakukan efisiensi
  • perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
  • perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur)
  • perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  • perusahaan pailit
  • perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
  • pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
  • pekerja/buruh mangkir
  • pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
  • pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
  • pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
  • pekerja/buruh memasuki usia pensiun, atau
  • pekerja/buruh meninggal dunia.
  • Pasal 78 ayat (1) huruf b pada UU Ketenagakerjaan mengatur lama lembur bagi pekerja/buruh yang berbunyi sebagai berikut:
  • b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

  • yang kemudian direvisi pada UU Cipta Kerja menjadi paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

  • Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mulanya mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menyatakan bahwa jangka waktu PKWT paling lama adalah 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang selama 1 tahun. Pasal ini kemudian direvisi melalui UU Cipta Kerja Pasal 81 angka 15 yang menghilangkan ketentuan batas waktu pada sistem kerja kontrak buruh.

Pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini menuai banyak kontroversi karena dinilai mengalami kecacatan baik secara formil maupun materiil. Cacat formil pada UU Cipta Kerja ini dapat dilihat pada ketiadaan upaya pemerintah dalam mengikutsertakan aspirasi rakyat (terutama golongan buruh/pekerja) dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. 

Sementara itu, cacat materiil yang dimiliki oleh UU Cipta Kerja ini dapat dilihat pada keberadaan butir-butir pasal yang tidak menunjukkan keberpihakan dan malah merugikan kaum buruh. Hal ini kiranya dapat dilihat pada pemaparan di atas.

Umpamanya pada poin (1), bahwa UU Cipta Kerja melakukan penghapusan pada waktu cuti panjang serta pemangkasan hari libur bagi buruh/pekerja, juga poin (3) di mana UU Cipta Kerja memperpanjang lama waktu lembur buruh/pekerja sehingga dinilai dapat berbuntut pada eksploitasi waktu kerja buruh. 

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menempatkan buruh/pekerja pada posisi yang rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terjadinya kecelakaan kerja, sebagaimana disebutkan pada Pasal 154 A huruf l bahwa "pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan".

 UU Cipta Kerja juga dinilai tidak memberikan kepastian kerja bagi buruh karena telah menghapuskan ketentuan jangka waktu PKWT pada UU Ketenagakerjaan. Dengan arti lain, beberapa butir pasal UU Cipta Kerja ini belum mampu menunjukkan keberpihakan kepada pekerja/buruh---terutama dalam perihal perlindungan ketenagakerjaan---karena telah menghasilkan kebijakan yang menuntun pada eksploitasi kerja buruh.

Kebijakan atau Regulasi Terkait Perlindungan Kesempatan Kerja Dari Ancaman Disrupsi Teknologi

 

Di Indonesia, sejatinya sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tercantum pada UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 

Pemerintah juga sudah menyediakan kebijakan terkait ketenagarkerjaan pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagarkerjaan. Namun, kebijakan yang mengaitkan dua hal tersebut, dalam tajuk ancaman disrupsi teknologi terhadap lapangan pekerjaan, belum dipertimbangkan oleh pemerintah. 

Namun, pemerintah telah mewacanakan pada tahun 2019 sebuah jaminan nasional bagi korban-korban PHK akibat transformasi atau digitalisasi yang terjadi pada sektor industri sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Ketenagakerjaan kala itu, Hanif Dhakiri. 

Pada tahun 2020, wacana tersebut direalisasikan melalui UU Ciptaker Pasal 46A Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berhak mendapatkan jaminan kehilangan melalui BPJS. 

Selain itu, pada UU No. 11 Tahun 2019, walaupun tidak mengatur secara langsung mengenai penggunaan teknologi sebagai alternatif pengganti tenaga kerja manusia, 

UU No. 11 Tahun 2019 pada Pasal 75 dan 76 mengatur mengenai tenaga kerja Indonesia yang berhak mendapat pengetahuan dan keterampilan pada teknologi asing yang masuk dan berkembang di Indonesia, yang mana dinilai oleh pemerintah dapat mengembangkan tenaga kerja Indonesia agar tidak tergeser oleh teknologi asing,

Pasal 75

(1) Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan dapat dilaksanakan oleh Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi asing dan/atau orang asing.

(2) Pelaksanaan Perielitian. Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan oleh Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi asing dan/atau orang asing sebagairnana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Pemerintah Pusat-.

(3) Dalam pelaksanaan pemberian izin Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan bagi Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi asing dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan kelayakan etik oleh komisi etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pernerintah.

Pasal 76

Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi asing dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan orang Indonesia yang melakukan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan dengan dana yang bersumber dari pembiayaan asing, dalam melakukan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan di Indonesia wajib:

a. mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan;

b. menghasilkan keluaran yang memberi manfaat untuk bangsa Indonesia;

c. melibatkan sumber daya manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia dengan kapasitas ilmiah yang setara sebagai mitra kerja;

d. mencantumkan nama sumber daya manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dalam setiap keluaran yang dihasilkan dalam kegiatan bersama;

e. melakukan Alih Teknologi; 

f. menyerahkan data primer kegiatan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3);

g. memberikan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan; dan

h. membuat perjanjian tertulis tentang pengalihan material dalam rangka pemindahan atau pengalihan material dalam bentuk fisik dan/atau digital.

UU No. 11 Tahun 2019 mewajibkan seluruh teknologi asing yang hendak diterapkan di Indonesia untuk dilakukan alih teknologi terlebih dahulu kepada tenaga kerja Indonesia agar tenaga kerja Indonesia tidak tergeser oleh teknologi dan pihak asing, dan dapat mengoperasikan teknologi tersebut secara mandiri. 

Pada intinya, pemerintah sampai saat ini belum mnegatur secara spesifik mengenai ancaman disrupsi teknologi pada revolusi industry 4.0 ini, namun pemerintah melalui kebijakannya telah merancang agar sumber daya manusia Indonesia dapat meningkatkan kualitasnya dalam keterampilan dan pengetahuan sehingga meminimalisir ancaman tergesernya sumber daya manusia oleh teknologi automasi.

Daftar Pustaka:

Adha, L. A. (2020). Digitalisasi Industri Dan Pengaruhnya Terhadap Ketenagakerjaan Dan Hubungan Kerja Di Indonesia. Jurnal Kompilasi Hukum, 5(2), 27-58.

Al Fatih, S. (2020). Balada Undang-Undang Cipta Kerja. Arsip Publikasi Ilmiah Biro Administrasi Akademik.

Hukumonline.com. (2020). Meminta Kejelasan Batas Usia Pensiun Pekerja dalam UU Ketenagakerjaan. Diakses pada 11 Oktober 2021, melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f60b2cf3ffcc/meminta-kejelasan-batas-usia-pensiun-pekerja-dalam-uu-ketenagakerjaan?page=2

Hukumonline.com. (2020). MK Sidangkan Aturan PKWT, Upah Minimum, Pesangon dalam UU Cipta Kerja. Diakses pada 12 Oktober 2021, melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa2f91d119df/mk-sidangkan-aturan-pkwt--upah-minimum--pesangon-dalam-uu-cipta-kerja/

Hukumonline.com. (2020). Serikat Pekerja PLN Persoalkan Batas Usia Pensiun dalam UU Ketenagakerjaan. Diakses pada 11 Oktober 2021, melalui https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5f4683dad7920/serikat-pekerja-pln-persoalkan-batas-usia-pensiun-dalam-uu-ketenagakerjaan/?page=all

Kahfi, A. (2016). Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, 3(2), 59-72.

Kementerian Perindustrian. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Diakses pada 11 Oktober 2021, melalui https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf

Kompas.com. (2020). Mengenal Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi Korban PHK di UU Ciptaker. Diakses pada 12 Oktober 2021, melalui https://money.kompas.com/read/2020/10/19/053132526/mengenal-jaminan-kehilangan-pekerjaan-bagi-korban-phk-di-uu-ciptaker?page=all

Kontan.co.id. (2019). Menaker Wacanakan Penambahan Dua Program Jaminan Sosial di BPJS Ketenagakerjaan. Diakses pada 11 oktober 2021, melalui https://nasional.kontan.co.id/news/menaker-wacanakan-penambahan-dua-program-jaminan-sosial-di-bpjs-ketenagakerjaan

News.detik.com. (2020). Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law vs UU Ketenagakerjaan, Ini Bedanya. Diakses pada 12 Oktober 2021, melalui https://news.detik.com/berita/d-5210107/isi-uu-cipta-kerja-omnibus-law-vs-uu-ketenagakerjaan-ini-bedanya

Peraturan.bpk.go.id. UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Diakses pada 11 Oktober 2021, melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117023/uu-no-11-tahun-2019

Peraturan.bpk.go.id. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (JDIH BPK RI). Diakses pada 12 Oktober 2021, melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun