Mohon tunggu...
Muhammad Ariq Rifky
Muhammad Ariq Rifky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

....

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kebijakan Terkait Perlindungan Tenaga Kerja dan Ancaman Disrupsi Teknologi

20 Juni 2022   23:48 Diperbarui: 20 Juni 2022   23:59 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalnya pada Pasal 154 huruf c yang berbunyi "pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;". Kebijakan ini menimbulkan multitafsir terhadap penentuan usia pensiun seorang pekerja pada suatu perusahaan. Akibatnya, perusahaan memiliki kebebasan tersendiri untuk menentukan usia pensiun pekerjanya. 

Dilansir melalui portal berita Hukumonline, kejadian multitafsir terhadap UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 154 Huruf c ini sempat diperkarakan oleh Eko Sumantri dan Sarwono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Serikat Pekerja PT PLN pada September 2020 lalu. 

Hal ini terkait dengan adanya perbedaan batasan usia pensiun pekerja yang tercantum pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan. 

Umpamanya, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tahun 2010-2012 PT PLN (Persero), Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero), dan peraturan perundang-undangan menetapkan kebijakan batasan usia pensiun yang berbeda-beda sehingga  menimbulkan diskriminasi terhadap usia pensiun di antara sesama pegawai PLN.  

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kemudian diperbaharui kembali dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja atau yang kerap dikenal dengan Omnibus Law ini memiliki beberapa perbedaan dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, terutama dalam hal perlindungan ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:

  • Pasal 79 ayat (2) huruf b  dan d pada UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
  • b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
  • d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

  • sedang pada UU Cipta Kerja, waktu istirahat bagi pekerja hanya diperbolehkan selama satu hari dalam sepekan dan ketentuan mengenai cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja dihapuskan.

  • Pasal 154 dan 155 pada UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dapat dilakukan ketika pekerja/buruh mengundurkan diri, melakukan kesalahan berat, mencapai usia pensiun, meninggal dunia, atau perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan, peleburan, perubahan kepemilikan yang kemudian apabila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak serta uang pesangon dan penghargaan masa kerja sebanyak satu kali. Sementara itu, apabila pengusaha menjadi pihak yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan tenaga kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja sebanyak satu kali, dan uang pesangon sebesar dua kali.
  • Sementara itu, UU Cipta Kerja merevisi pasal 154 dan 155 dengan memasukkan pasal 154 A yang menyatakan pemutusan hubungan kerja diperbolehkan apabila termasuk dalam beberapa alasan berikut:
  • perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
  • perusahaan melakukan efisiensi
  • perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
  • perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur)
  • perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  • perusahaan pailit
  • perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
  • pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
  • pekerja/buruh mangkir
  • pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
  • pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
  • pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
  • pekerja/buruh memasuki usia pensiun, atau
  • pekerja/buruh meninggal dunia.
  • Pasal 78 ayat (1) huruf b pada UU Ketenagakerjaan mengatur lama lembur bagi pekerja/buruh yang berbunyi sebagai berikut:
  • b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

  • yang kemudian direvisi pada UU Cipta Kerja menjadi paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

  • Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mulanya mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menyatakan bahwa jangka waktu PKWT paling lama adalah 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang selama 1 tahun. Pasal ini kemudian direvisi melalui UU Cipta Kerja Pasal 81 angka 15 yang menghilangkan ketentuan batas waktu pada sistem kerja kontrak buruh.

Pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini menuai banyak kontroversi karena dinilai mengalami kecacatan baik secara formil maupun materiil. Cacat formil pada UU Cipta Kerja ini dapat dilihat pada ketiadaan upaya pemerintah dalam mengikutsertakan aspirasi rakyat (terutama golongan buruh/pekerja) dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. 

Sementara itu, cacat materiil yang dimiliki oleh UU Cipta Kerja ini dapat dilihat pada keberadaan butir-butir pasal yang tidak menunjukkan keberpihakan dan malah merugikan kaum buruh. Hal ini kiranya dapat dilihat pada pemaparan di atas.

Umpamanya pada poin (1), bahwa UU Cipta Kerja melakukan penghapusan pada waktu cuti panjang serta pemangkasan hari libur bagi buruh/pekerja, juga poin (3) di mana UU Cipta Kerja memperpanjang lama waktu lembur buruh/pekerja sehingga dinilai dapat berbuntut pada eksploitasi waktu kerja buruh. 

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menempatkan buruh/pekerja pada posisi yang rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terjadinya kecelakaan kerja, sebagaimana disebutkan pada Pasal 154 A huruf l bahwa "pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan".

 UU Cipta Kerja juga dinilai tidak memberikan kepastian kerja bagi buruh karena telah menghapuskan ketentuan jangka waktu PKWT pada UU Ketenagakerjaan. Dengan arti lain, beberapa butir pasal UU Cipta Kerja ini belum mampu menunjukkan keberpihakan kepada pekerja/buruh---terutama dalam perihal perlindungan ketenagakerjaan---karena telah menghasilkan kebijakan yang menuntun pada eksploitasi kerja buruh.

Kebijakan atau Regulasi Terkait Perlindungan Kesempatan Kerja Dari Ancaman Disrupsi Teknologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun