Mohon tunggu...
ariq nabagakan
ariq nabagakan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka aja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Keuskupan Agung Jakarta

14 Mei 2024   09:18 Diperbarui: 14 Mei 2024   13:15 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keuskupan Agung Jakarta adalah salah satu keuskupan metropolitan pertama dan tertua di Indonesia dalam provinsi gerejawi Jakarta. Asal usul terbentuknya keuskupan ini melalui perjalanan yang panjang dan rumit sejak awal kedatangan Verenigde Oostindische Compagnie yang menggeser misionaris portugis pada abad ke 16. Pada saat itu, para imam Katolik berkebangsaan Portugis dilarang melanjutkan penyebaran ajaran Katolik. Hal ini disebabkan oleh Belanda yang datang dengan membawa misi dagang sekaligus misi penyebaran ajaran agama Kristen Protestan. Bangsa Portugis hanya diperbolehkan melakukan kegiatan agama Katolik di luar wilayah Batavia (sekarang Jakarta). Maka dari itu, Portugis mendirikan gereja di luar kota pada 1696, yang sekarang dikenal sebagai Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat.

Peta politik negeri Belanda pun berubah setelah kekuasaan beralih di bawah kendali Raja Louis Napoleon dari Perancis yang beragama Katolik. Ia adalah saudara dari Kaisar Napoleon I. Penguasa Batavia pada waktu itu Marsekal H.W. Daendels (1808-1811). Pergantian penguasa ini mengubah sikap penguasa kolonial terhadap orang Katolik. Imam-imam diijinkan untuk merayakan Misa Kudus secara terbuka. 

Paus Pius VII mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia Belanda atas persetujuan Gubernur Du Bus de Ghisignies yang seorang bangsawan Belgia. Dengan wilayahnya yang mencakup hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Prefek Apostolik pertama adalah Pastor Jacobus Nelissen Pr. Bahkan, Gubernur Du Bus de Ghisignies juga menghadiahkan tempat kediaman tentara dan wakil gubernur jenderal kepada Umat Katolik sebagai tempat ibadat (1830). 

Tingkat Vikariat Apostolik 

Pada tanggal 3 April 1842, Prefektur Apostolik Batavia secara resmi ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Batavia yang saat itu meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Namun, karena perkembangan Gereja Katolik di Indonesia akhirnya didirikannya beberapa Vikariat Apostolik baru yang ada di dalam maupun di luar Pulau Jawa itu sendiri. Ada beberapa nama yang kemudian menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia;

1.  Jacobus Grooff (20 September 1842 s.d. 19 April 1852, wafat)

Mgr. Jacobus Grooff adalah Vikaris Apostolik pertama Batavia sejak ditunjuk pada 20 September 1842. Groff tiba di Batavia pada 21 April 1845. Selama berkarya di Hindia Belanda, Mgr. Grooff terkenal sebagai seorang uskup yang memiliki ketertiban, memiliki prinsip, dan bersikap tegas. Hal ini membuat ia mengalami perbedaan pandangan dengan pemerintah dan juga dengan para imam yang telah lebih dulu berkarya di Hindia Belanda. Grooff juga sempat berselisih dengan pemerintah Hindia Belanda, termasuk kaitannya dengan penunjukkan imam di Semarang dan Surabaya. Ia menolak intervensi pemerintah dalam hal itu dan meyakini bahwa penunjukkan imam merupakan wewenangnya sebagai Vikaris Apostolik. Hal ini membuat pada munculnya Nota der Punten yang dikeluarkan pada tahun 1847, yang menegaskan bahwa hanya seorang Vikaris Apostolik yang dapat melakukan pengangkatan dan pemindahan para imam, serta tidak adanya syarat dari pemerintah Belanda mengenai imam yang ditugaskan di Hindia Belanda yang hanya berasal dari kalangan imam praja.

2.  Petrus Maria Vrancken (19 April 1852 s.d. 28 Mei 1874, pensiun)

Petrus Maria Vrancken adalah Vikaris Apostolik kedua Batavia sejak Vikaris Apostolik sebelumnya Jacobus Grooff meninggal dunia pada 29 April 1852 hingga 28 Mei 1874. Di Batavia, Vrancken bersama beberapa orang lainnya mendirikan panti asuhan Dana Bantuan Santo Vincentius a Paulo di Batavia (kini bernama Perhimpunan Vincentius Jakarta) pada 29 Agustus 1855.  Ia juga memiliki pemikiran untuk pendirian seminari sebagai lembaga pendidikan dengan skala kecil untuk kaum pribumi, agar mereka dapat menjadi seorang imam. Ia meyakini bahwa memiliki imam dari kalangan pribumi adalah hal penting dalam pengembangan misi di Hindia Belanda saat itu. Hal ini akhirnya tidak dapat terwujud karena kurangnya dana dan personalia. Pada masa kepemimpinannya, Vrancken turut mengundang berbagai ordo dan kongregasi untuk datang ke Hindia Belanda dan melakukan karya dalam bidang pendidikan dan rumah sakit.

3. Adam Carel Claessens (16 Juni 1874 s.d. 23 Mei 1893, mengundurkan diri)

Adam Carel Claessens adalah Vikaris Apostolik ketiga Batavia sejak ditunjuk pada 16 Juni 1874 hingga pengunduran dirinya diterima pada 23 Mei 1893. Pada 16 Juni 1874, Claessens ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Batavia ketiga setelah pengunduran diri Vikaris Apostolik sebelumnya, Petrus Maria Vrancken diterima oleh Tahta Suci. Pada tahun 1882, Claessens menjadi Vikaris Apostolik Batavia pertama yang menulis Surat Gembala dalam dua bahasa, yakni bahasa Belanda dan bahasa Mandarin. Pada tahun 1881, Claessens membeli sebuah lahan di Bogor untuk dijadikan panti asuhan bernama "Vincentius". Pada tahun 1896, keponakannya, yakni R.D. M. Y. Dominicus Claessens mendirikan gereja yang kelak menjadi Gereja Katedral Bogor. Adam Claessens juga berperan dalam pembangunan kembali Gereja Katedral Jakarta yang roboh pada tahun 1890 di lokasi yang menjadi Gereja Katedral saat ini. Pada 23 Mei 1893, ia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Vikaris Apostolik Batavia. Ia kemudian tinggal di pastoran Bogor dengan ditemani oleh keponakannya, Dominicus.

4. Walterus Sybradus Staal, S.J. (23 Mei 1893 s.d. 30 Juni 1897, wafat)

Walterus Sybradus Staal, S.J. adalah Vikaris Apostolik Batavia sejak ditunjuk pada 23 Mei 1893 hingga meninggal dunia pada 30 Juni 1897. Mgr. Staal ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Batavia dengan gelar Uskup Tituler Mauricastrum pada 23 Mei 1893 untuk meneruskan kepemimpinan Mgr. Adam Carel Claessens yang telah mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Dalam kepemimpinannya, Mgr. Staal dikenal memiliki semangat apostolik yang besar, dengan melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang ada. Ia juga teguh dalam prinsip merintis dan memperjuangkan berdirinya Katholieke Kerk Kajoetangan (kini Gereja Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Malang) pada 4 Juni 1897. Pada 30 Juni 1897, Mgr. Staal meninggal dunia di atas kapal De Arend ketika sedang melayani umat di kawasan Laut Banda, Maluku, setelah kepergiannya ke daerah Kepulauan Kei dalam usia 58 tahun.

5. Edmundus Sybradus Luypen, S.J. (21 Mei 1898 s.d. 1 Mei 1923, wafat)

Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J.adalah Vikaris Apostolik Batavia sejak ditunjuk oleh Paus Leo XIII pada 21 Mei 1898 hingga meninggal dunia pada 1 Mei 1923. Pada 21 Mei 1898, Mgr. Luypen ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Batavia dengan gelar Uskup Tituler Oropus. Dalam rangka penahbisan di tanah kelahirannya, fokus utamanya adalah pencarian dana untuk Katedral Batavia dan membawa lebih banyak orang untuk misi ke tanah Hindia Belanda. Luypen bukanlah seorang organisator yang dinamis maupun pemimpin yang energik dan inspiratif, namun seorang pengikut yang selalu mendukung dan simpatik dari perkembangan yang telah diinisiasi oleh orang lain. Luypen menaruh perhatian yang besar pada pembangunan gedung-gedung gereja di Jawa. 

Pembangunan yang menarik banyak perhatian adalah pembangunannya yang pertama, yakni Katedral Batavia yang telah hancur pada 9 April 1890. Peletakan batu pertama Katedral Batavia dilakukan pada perjalanan Luypen ke Eropa oleh Pastor Paroki, Karel Wenneker. Pada 21 April 1901, Katedral ini diberkati olehnya dan pada saat itu menjadi menara tertinggi di Batavia dengan tinggi 60 meter.Selama kepemimpinannya, pada 20 Januari 1919 Suster Tarekat Carolus Borromeus membuka Rumah Sakit Sint Carolus. Mgr. Luypen meninggal dunia pada 1 Mei 1923 dalam usia 67 tahun di Rumah Sakit Sint Carolus, Weltevreden, Batavia dan dimakamkan pada 3 Mei 1923 di Tanah Abang, Weltevreden, Batavia.

6. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. (21 Januari 1924 s.d. Maret 1933, mengundurkan diri)

Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. adalah Vikaris Apostolik Batavia sejak ditunjuk pada 21 Januari 1924 hingga mengundurkan diri pada Maret 1933. Pada 21 Januari 1924, ia ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Batavia dengan gelar Uskup Tituler Aezani, meneruskan kepemimpinan Mgr. Edmundus Luypen yang meninggal dunia pada 1 Mei 1923. Sebagai seorang uskup terpilih, ia memberkati Gereja Santo Yoseph, Matraman pada 6 April 1924. Pada masa kepemimpinan van Velsen, Perkumpulan Strada didirikan pada 24 Mei 1924. Ia kemudian juga memberkati altar Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran, Bantul, Yogyakarta pada 20 Agustus 1924. Pembangunan gereja ini telah selesai sejak 16 April 1924. Pada 26 September 1926, ia juga memberkati Gereja Santo Antonius, Kotabaru pada 26 September 1926. Pada 27 April 1927, Kongregasi Suster-Suster Gembala Baik mulai membuka rumah pertama di Molenvliet (kini Jalan Hayam Wuruk). Hal ini sebagai tanggapan atas undangan Mgr. van Velsen. Mgr. van Velsen juga memberkati pembukaan Rumah Sakit Santa Elisabeth di Semarang pada 18 Oktober 1927 yang bertepatan dengan peringatan Santo Lukas, pelindung para dokter. Ia didampingi oleh Pater P. Hoeberechts, S.J. dan juga Residen Semarang Van Gulk. Sebelumnya, ia telah meletakkan batu pendirian pertama pada 9 Maret 1926. 

Pada 19 Desember 1927, ia memberkati Seminari Kecil Santo Petrus Kanisius Yogyakarta, yang terletak di sebelah barat Kolese Santo Ignatius (Kolsani), Yogyakarta. Seminari ini lulusan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS), sebelum akhirnya dipindahkan ke Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, tahun 1941. Saat ini gedung tersebut menjadi kampus pendidikan guru agama Katolik Universitas Sanata Dharma (IPPAK). Pada 26 Desember 1947, ia meletakkan batu pertama pendirian Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Candi ini kemudian diberkati pada 11 Februari 1930, bertepatan dengan penampakan Bunda Maria di Lourdes, Prancis oleh Mgr. van Velsen. Pada 25 Agustus 1929, gedung Rumah Sakit Panti Rapih diberkati oleh Mgr. van Velsen. 

Setelah menjabat selama 9 tahun, ia mengundurkan diri sebagai Vikaris Apostolik pada Maret 1933 karena kesehatannya yang sangat menurun sehingga dianggap terlalu berat, sementara penglihatannya sudah sangat buruk. Setelah mundur, Pastor A Th. Van Hoof memimpin untuk sementara waktu dengan jabatan sebagai Pro-Vikaris. Mgr. Petrus Johannes Willekens, S.J. kemudian memimpin sejak ditunjuk pada 23 Juli 1934. Ia meninggal dunia pada 6 Mei 1936 dalam usia 71 tahun. Ia dimakamkan di Pemakaman Belanda Peneleh, Surabaya.

7. Petrus Johannes Willekens, S.J. (23 Juli 1934 s.d. 7 Februari 1950, berubah nama)

Mgr. Petrus Johannes (Peerke) Willekens, S.J. adalah Vikaris Apostolik Emeritus Djakarta (sebelumnya Vikaris Apostolik Batavia) sejak 23 Juli 1934 hingga 23 Mei 1952. Pada 23 Juli 1934, Willekens diangkat menjadi Vikaris Apostolik Batavia sekaligus Uskup Tituler Zorava. Ia melanjutkan karya Mgr. Anton van Velsen, S.J.. Ia memilih moto tahbisan "Scio Cui Credidi" (2 Timotius 1:12), yang berarti "... karena aku tahu kepada siapa aku percaya...", dengan pemikiran bahwa Yesus adalah sumber segala kepercayaan dan, siapa yang percaya kepada-Nya dapat mengharapkan bahwa segala karya yang dilakukan bersama-Nya akan membawa buah-buah abadi. Ia banyak berkiprah dalam bibit-bibit panggilan rohani, dengan pendirian Seminari Tinggi Santo Paulus dan Tarekat Abdi Dalem Sang Kristus, pengesahan lembaga hidup bakti Kongregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul), serta membuka asrama seminari. Ia turut mengusahakan pembangunan tempat ibadah bagi jemaat dan juga dalam bidang pers. 

Perhatiannya terhadap pers diwujudkan dengan diterbitkannya dwimingguan "Penabur" tahun 1946 dan mingguan "De Katholieke Week" (kini menjadi Majalah Hidup) tahun 1947. Willekens memainkan peran yang sangat penting selama Perang Dunia II di Indonesia. Sebagai wakil diplomatik Vatikan, ia tidak bisa diinternir, tidak seperti yang terjadi pada para misionaris dan imam lainnya. Akibat kondisi ini, kepemimpinan Gereja hampir secara eksklusif jatuh pada dirinya. Dengan cara bertindak seperti ini, ia memerintahkan untuk tetap hormat. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Willekens memulai penyesuaian Gereja Katolik di Indonesia untuk mengubah keadaan. 

Dia mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah Indonesia dan mengusahakan pengangkatan sebanyak mungkin klerus lokal Indonesia yang terlatih. Ia juga mendorong upaya fusi antara Federasi KSV dengan Perserikatan Mahasiwa Katolik Indonesia (PMKRI Yogyakarta) yang kemudian menjadi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Pada 7 Februari 1950, Vikariat Apostolik Batavia berubah nama menjadi Vikariat Apostolik Djakarta, sehingga jabatannya berubah menjadi Vikaris Apostolik Djakarta. Pada 23 Mei 1952, Mgr. Petrus Johannes (Peerke) Willekens, S.J. memutuskan untuk mengundurkan diri.

Dimasa kepemimpinan Mgr. Petrus Johannes (Peerke) Willekens, S.J. tepatnya pada 7 Februari 1950, nama Vikariat Apostolik Batavia berubah menjadi Vikariat Apostolik Djakarta. Adapun orang yang melanjutkan adalah;

8. Adrianus Djajasepoetra, S.J. (3 Januari 1961 s.d. 21 Mei 1970, pensiun)

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, S.J.dan dipilih oleh Paus Pius XII menjadi Vikaris Apostolik Jakarta pada 18 Februari 1953. Setelah penunjukkan dirinya menjadi Vikaris Apostolik Djakarta dengan gelar Uskup Tituler Trisipa pada 18 Februari 1953, ia ditahbiskan menjadi uskup pada 23 April 1953 oleh Nuncio Apostolic untuk Indonesia sekaligus Uskup Agung Tituler Misthia, Mgr. Georges de Jonghe d'Ardoye, M.E.P., dengan Uskup Ko-konsekrator Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. yang merupakan Vikaris Apostolik Semarang dan Mgr. Pierre Marin Arntz, O.S.C. dari Vikaris Apostolik Bandung. Seiring peningkatan status Vikariat Apostolik Djakarta menjadi Keuskupan Agung Djakarta yang terjadi terkait Konstitusi Apostolik Qoud Christus Adorandus tentang berdirinya Hierarki Gereja Katolik di Indonesia secara mandiri oleh Paus Yohanes XXIII, maka status Mgr. Djajasepoetra berubah dari Vikaris Apostolik Djakarta menjadi Uskup Agung Djakarta sejak 3 Januari 1961. 

Kondisi sosial politik Indonesia saat itu memberi banyak dampak pada kepemimpinannya. Seperti penentangannya pada intrik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan perubahan besar dalam diri gereja setelah diadakan Konsili Vatikan II (1962--1965), di mana ia menghadiri keempat sesi yang diadakan. Ia menghabiskan masa tuanya di Girisonta, Jawa Tengah sampai wafat pada 10 Juli 1979 dalam usia 85 tahun.

Tingkat KAJ

Seiring berjalannya waktu pada tanggal 3 Januari 1961, status Vikariat Apostolik Batavia kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Djakarta dengan uskup agung pertamanya Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ dan memiliki 2 Keuskupan Sufragan yaitu: Keuskupan Bogor dan Keuskupan Bandung. Namun, untuk upaya penyesuaian ejaan bahasa, pada tanggal 22 Agustus 1973, nama Keuskupan Agung Djakarta diubah menjadi Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Adapun beberapa uskup setelahnya yang menjadi penerus uskup agung pertama KAJ, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, yaitu:

1. Mgr. Leo Soekoto, S.J. (Masa Jabatan : 15 Agustus 1970 -- 30 Desember 1995, wafat) 

Pada 21 Mei 1970, RP Leo Soekoto, SJ ditunjuk oleh Paus Paulus VI untuk menjadi penerus jabatan Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ. Ia diangkat dan ditahbiskan menjadi uskup agung kedua KAJ pada 15 Agustus 1970 oleh Mgr. Yustinus Kardinal Darmojoewono. Pada tahun yang sama, ia juga terpilih menjadi sekretaris Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Mgr. Leo memilih lambang keuskupan berupa perisai bergambar salib, yang di atasnya bertengger kepala singa sedang mengaum menggambarkan Leo Agung, Paus, dan sarjana gereja "Pelindung dan penyelamat Kota Roma dari serangan bangsa-bangsa yang belum berkebudayaan." Dua tangkai daun dan buah jali tersunting di kiri-kanan yang mengiaskan asal kelahiran beliau: Kampung Jali, Desa Gayamharjo.Dan selembar pita bertuliskan Scio Cui Credidi  yang berarti "Aku tahu kepada siapa aku percaya." 

Pada 17 Juli 1993 tugas penggembalaannya sebagai Mgr. Leo Soekoto SJ semakin berat. Bapa Suci menunjuknya sebagai Administrator Apostolik ad Nutum Sanctae Sedis untuk Keuskupan Bogor. Tugas rangkap dua Keuskupan ini dijalankannya sampai tanggal 23 Oktober 1994, setelah Uskup Bogor yang baru, Mgr. Michael Angkur OFM, ditahbiskan menjadi Uskup Bogor. Beliau akhirnya memutuskan pensiun dari tugasnya sebagai Uskup Agung Jakarta tanggal 10 November 1995. Mgr. Leo kemudian tinggal di Girisonta, Jawa Tengah untuk menghabiskan masa purnakarya dan pada tanggal 30 Desember 1995, Mgr. Leo meninggal dunia pada usia 75 tahun, setelah memimpin KAJ selama 25 tahun.

2. Mgr. Julius Kardinal Damaatmadja, S.J. (Masa Jabatan : 11 Januari 1996 - 28 Juni 2010, pensiun)

Tidak lama setelah wafatnya Mgr. Leo Soekoto, SJ, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja sebagai Uskup Agung Jakarta pada tanggal 11 Januari 1996. Ini bukanlah titik awal tugas penggembalaan bagi Kardinal Darmaatmadja, sebab ia sudah ditahbiskan sebagai uskup Keuskupan Agung Semarang sekitar 13 tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 29 Juni 1983 oleh Kardinal Yustinus Darmojoewono. "In Nomine Jesu", 'Dalam Nama Yesus' begitulah semboyan tahbisan yang dipilih Mgr. Julius Riyadi Darmaatmadja SJ saat ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang. 

Pada 28 April 1984 Mgr. Julius Darmaatmadja juga diangkat oleh Tahta Suci sebagai Uskup bagi ABRI menggantikan Kardinal Yustinus Darmojoewono sebagai Uskup ABRI, ia tidak memperoleh pangkat dan jabatan di organisasi ABRI karena ia bukan militer dan jabatan uskup tidak ada dalam ABRI tetapi jabatan yang diberikan oleh Tahta Suci Vatikan. Setelah wafatnya Kardinal Yustinus Darmojoewono, ia diangkat sebagai kardinal pada tanggal 26 November 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Sebagai kardinal, ia juga turut serta dalam pemilihan Paus baru pada tahun 2005, yang akhirnya kardinal terpilih yakni Paus Benediktus XVI.  

Pada tanggal 28 Juni 2010, pukul 12.00 (waktu Vatikan), Bapa Suci Paus Benediktus XVI secara resmi mengumumkan penerimaan surat pengunduran diri yang diajukan oleh Mgr. Julius Kardinal Riyadi Darmaatmadja, SJ sebagai Uskup Agung Jakarta karena faktor usia yang telah mencapai 75 tahun (aturan mengenai batasan umur ini terdapat di dalam di Kitab Hukum Kanonik). Sejak saat itu, Kardinal Darmaatmadja menjadi Uskup Emeritus (uskup yang pensiun) Keuskupan Agung Jakarta dan saat ini berdomisili di Wisma Emaus Girisonta, yang terletak di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

3. Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo (29 Juni 2010 - sekarang)

Mgr. Ignatius Suharyo resmi menjadi Uskup Agung Jakarta sejak 29 Juni 2010, sejak Tahta Suci Vatikan resmi menerima pengunduran diri Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J., dan dalam Misa di Gereja Katedral Jakarta pada 29 Juni 2010, bertepatan pula dengan Perayaan Syukur 27 Tahun Tahbisan Uskup Julius Kardinal Darmaatmadja, S.J. dan 14 tahun menjadi Uskup Agung Jakarta, Mgr. Suharyo resmi diinstalasi menjadi Uskup Agung Jakarta, ditandai dengan penyerahan tongkat gembala Keuskupan Agung Jakarta kepadanya. 

Sebelumnya, Mgr. Ignatius Suharyo pernah ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang pada 21 April 1997 oleh Paus Yohanes Paulus II. Ia ditahbiskan pada 22 Agustus 1997 di Gedung Olahraga Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, S.J., yang merupakan pendahulu Mgr. Suharyo sebagai Uskup Agung Semarang.  Ia memilih semboyan "Serviens Domino Cum Omni Humilitate" (Kis 20:19), yang artinya "Aku Melayani Tuhan dengan Segala Rendah Hati", sebuah bagian dari perikop perpisahan Santo Paulus dengan para penatua di Efesus. Sebagai seorang Uskup, ia memilih untuk tidak menggunakan zucchetto dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam memimpin Misa, serta tidak menggunakan tongkat gembala ketika memberikan homili.

Saat ini, selain menjadi uskup KAJ, ia juga menjadi Uskup Ordinariat Militer Indonesia. Sejak 15 November 2012, ia menjabat sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia menggantikan Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFM.Cap. selama 3 periode hingga tahun 2022. Pada tanggal 1 September 2019, ia secara resmi ditunjuk sebagai Kardinal untuk Gereja Katolik di Indonesia. 

Keuskupan Agung Jakarta memainkan peran penting dalam membentuk keunikan Gereja Katolik Indonesia melalui kontribusinya di beberapa bidang:

  1. Pendidikan: Keuskupan Agung Jakarta adalah rumah bagi beberapa universitas Katolik terkemuka, seperti Universitas Atmajaya yang terkenal dengan keunggulan akademik dan identitas Katolik yang kuat. Lembaga-lembaga ini telah melahirkan banyak pemimpin dan pemikir Katolik berpengaruh yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan Gereja di Indonesia

  1. Media: Keuskupan Agung Jakarta memiliki kehadiran yang kuat di media, khususnya melalui grup Kompas-Gramedia, yang memiliki surat kabar harian terbesar di Jakarta, Kompas. Kehadiran media ini membantu menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Katolik kepada khalayak yang lebih luas, menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai peran Gereja dalam masyarakat Indonesia

  1. Inkulturasi: Keuskupan Agung Jakarta berada di garis depan dalam upaya inkulturasi di Indonesia, yang melibatkan integrasi ajaran Katolik dengan adat dan tradisi setempat. Pendekatan ini memungkinkan Gereja untuk tumbuh dan berkembang di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan tetap mempertahankan identitas khasnya

  2. Kepemimpinan: Keuskupan Agung Jakarta telah melahirkan beberapa pemimpin Katolik berpengaruh yang memainkan peran penting dalam menentukan arah Gereja di Indonesia. Misalnya, Uskup Agung Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta saat ini, telah menjadi tokoh terkemuka dalam Konferensi Waligereja Katolik Indonesia (KWI) dan telah memberikan kontribusi signifikan terhadap keterlibatan Gereja dalam isu-isu sosial dan politik

  3. Keterlibatan Sosial dan Politik: Keuskupan Agung Jakarta telah aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik di Indonesia, melakukan advokasi untuk keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Keterlibatan ini telah membantu Gereja mempertahankan relevansi dan kredibilitasnya di mata masyarakat Indonesia, sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial di antara para anggotanya

Kontribusi Keuskupan Agung Jakarta ini secara kolektif berkontribusi terhadap keunikan Gereja Katolik Indonesia, yang ditandai dengan kemampuannya beradaptasi dengan kondisi lokal, berinteraksi dengan masyarakat luas, dan mempertahankan rasa identitas dan tujuan yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun