Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

DI Sanalah Aku Berdiri

4 Juni 2022   14:39 Diperbarui: 4 Juni 2022   14:44 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi adalah sebuah kesempatan untuk merasakan hari ini seperti puisi yang sedang dituliskan atau dibaca ulang dengan emosi yang sudah berganti. Saya menulis dan saya menemukan aku lirik tanpa sengaja, aku lirik lahir dari kata-kata. Kadang aku lirik itu menjelma ia, mereka, kami, engkau, atau benda-benda seperti jendela, bawang, garam, pisau dan masing-masing dari mereka itu bukan pula hal-hal, seseorang, benda-benda yang bisa saya kenali dengan baik. Jadi, setiap aku lirik sebenarnya selalu aku lirik yang asing bagi saya sendiri.

Dan aneh sekali bahwa aku lirik itu tak dapat sepenuhnya saya atur menjadi, misalnya, kuda dalam salah satu lukisan Ugo Untoro, atau menjadi kebebasan yang meleleh dan abstrak macam dalam lukisan-lukisan Hanafi. Saya dan aku lirik benar-benar tidak saling mengenali, baik dalam proses penulisan maupun dalam jarak waktu pembacaan ulang. Hal yang sama berlaku pada saat saya membaca ulang puisi-puisi para penyair lain. Para penyair lain pun atau pembaca umum lain, akan sama jika membaca ulang puisi-puisi saya dalam jarak waktu tertentu. Itu pasti.

Mungkin ini dapat disebut kesempatan puitik, yakni kesempatan untuk merasakan waktu persentuhan dengan kata-kata yang asing itu; aku lirik adalah hal paling asing tentu saja karena dialah sumber dari segala keterasingan. Mungkin begitu.

Hal ini tidak pernah saya rasakan jika membaca ulang buku-buku ilmu. Ilmu-ilmu makin saya kenali setiap kali membacanya, dan makin mengenali bukan suatu kesempatan puitik. Kesempatan puitik berlaku sebaliknya: makin dikenali makin tak terkenali. Hal ini mungkin tidak dirasakan Bob Dylan di satu hari ketika ia merasa wajib memahami lagi lirik-lirik lagu yang pernah dikarang dan dinyanyikannya, padahal tidak mungkin. Momen penciptaan berbeda dengan momen pembacaan ulang.

"Saya mendapati diri saya pada situasi ganjil. Saya bisa mendengar bunyi rem yang berdecit di kepala saya.... Saya sudah tidak menaruh perasaan terhadap lagu-lagu itu. Saya tidak tahu cara menyanyikan lagu-lagu itu dengan dengan niat. Kebanyakan malah baru sekali dinyanyikan, saat lagu-lagu itu direkam. Ada begitu banyak lagu yang tidak bisa saya bedakan---saya bahkan mungkin mencampuradukkan lirik lagu yang satu dengan lagu yang lain. Saya membutuhkan sontekan lirik untuk memahami apa yang lagu itu ceritakan dan ketika membaca liriknya, terutama lirik lagu-lagu yang lebih lawas, yang lebih tidak terkenal, saya tidak tahu cara membawakan lagu-lagu ini dengan emosional."[1]

Selain jarak waktu, mungkin kita bisa bicarakan juga jarak tempat. Di satu kesempatan saya berjalan-jalan di Perancis, dari sudut-sudut Paris hingga ke pelosok-pelosok Normandie, saya mengenangkan banyak puisi Indonesia dan terharu dengan para penyair itu, saya pun menulis begitu banyak puisi sepanjang perjalanan. Pada saat itu yang terasing bukan saya dan aku lirik-aku liriknya, tapi malah saya sebagai saya sendiri; bahasa Indonesia atau bahasa Sunda yang saya gunakan dalam puisi-puisi saya terasa bukan dari Indonesia atau tanah Priangan atau Banten. Aku lirik sendiri saat itu malah terlihat "kerasan" tinggal di negeri orang, setiap apa pun yang dikatakan aku lirik menjelma puisi-puisi yang baik dalam versi saya sendiri (ya, saya bisa menilai puisi-puisi saya yang buruk juga). Hal ini sangat berbeda dengan yang dialami Afrizal Malna saat berada di Jerman, dia merasa bahasa Indonesia tidak lagi punya tempat dan menjelmalah puisi-puisi yang dituliskan dalam Berlin Proposal[2]. 

 

Jarak tempat juga berlaku pada mereka yang menang di negeri orang, seperti para atlet atau mahasiswa dan pelajar yang menang pertandingan lalu menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Lagu ini tak pernah haru---bahkan sering juga dinyanyikan dengan kegeli-gelian---jika dinyanyikan di negara sendiri, tapi akan penuh haru jika dinyanyikan di negara orang. Pengalaman ini merupakan pengalaman jarak tempat, lagi pula lagu ini memang mensyaratkan posisi yang bukan di Indonesia mengingat adanya larik Di sanalah aku berdiri.

 

"Di sana" tentu nun jauh di Indonesia. Karena itu mungkin kita hanya bisa merasa haru terhadap negara sendiri jika kita tetap berjarak! (Berjarak di masa pandemi Covid-19 mungkin bisa jadi sarana untuk melatih keberjarakan dengan negara sendiri!). Manakala kita menyanyikan lagu itu, atau membicarakan Indonesia, anggaplah kita sedang di Barcelona bersama Susi Susanti saat Olimpiade 1992. Hal yang sama dapat saya lakukan kalau saya membaca ulang puisi-puisi saya yang ditulis di Perancis, saya mengambil jarak dari Indonesia dan kembali ke Perancis agar bisa kehilangan rasa asing dan kerasan bersama aku lirik-aku lirik yang pernah kerasan. Mungkin Susi juga merasakan haru lagi---serasa di Barcelona lagi---ketika ia membawa obor api Asian Games 2018 di Yogyakarta.

Pengalaman keberjarakan dan keharuan ini penting kiranya dalam apresiasi puisi di mana saya dan aku lirik yang lahir sebagai penemuan-penemuan tak disengaja itu ternyata berdialektika dengan nasionalisme saya sendiri, hal mana tak pernah saya rasakan dalam mempelajari ilmu. Ilmu adalah jarak yang mengasingkan saya dari kebangsaan saya.

 

Pengalaman sains

Ketika SMA saya belajar kimia, garam menjadi kimia, emas menjadi kimia, udara yang saya hirup menjadi kimia, apa pun terasa dan terlihat sebagai kimia; ketika saya belajar matematika saya tidak lagi melihat lingkaran bulan, lingkaran matahari, tapi lingkaran itu sendiri; ketika saya belajar fisika, apel bukan lagi New Zealand tetapi sebuah pengalaman penting Newton; dan yang paling aneh adalah ketika saya belajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila, nama sebelum PPKn), pelajaran ini terasa mencekam: gurunya galak dan kami merasa anak-anak pendosa pada negara, anak-anak tak bermoral, dan moral mestilah moral Pancasila yang entah apa saja sebab waktu itu moral tidak sama dengan nilai yang tergoda universalitas tapi kesopansantunan kami sebagai anak sekolah yang definisinya ada di pihak guru. Intinya, tak ada negara dalam PMP pun, tetapi simbol dan semboyan dan nilai sepihak yang dipaksakan.

Kini saya dapat merasakan harunya membaca ulang Pancasila bukan karena PMP, tetapi karena pengalaman saya memahami puisi demi puisi para penyair lain atau pengalaman saya sendiri dalam penulisan dan pembacaan ulang karya sendiri. Saya bisa terharu membaca artikel-artikel matematika, fisika, kimia, juga karena latihan terharu membaca puisi-puisi. Kini apa pun di mata saya telah menjelma sebagai bahasa yang diberi jarak waktu dan tempat. Pancasila adalah puisi sepanjang saya berjarak dengannya.

Dan matematika adalah bahasa yang bisa saya gunakan untuk membaca fisika dan fisika adalah bahasa yang dapat dipakai untuk membaca kosmologi serta kimia, dan kimia sendiri dapat saya gunakan sebagai bahasa untuk membaca ulang biologi. Tapi bahasa dalam arti tersebut hanya bahasa ilmu dan tidak berkaitan langsung dengan keharuan bahasa Indonesia (dalam arti kebangsaan). Kebenaran mendasar bahasa memang hanya ada di matematika dan fisika adalah terapannya, hal ini berlaku pada kimia sebagai terapan fisika dan biologi sebagai terapan kimia serta kehidupan sebagai terapan bilogi. Ketika SMA saya tidak masuk kelas Fisika, tetapi Biologi sebab berharap bisa melihat "kehidupan" tersebut, tetapi ternyata tidak. Sains apa pun merupakan ilmu yang berjarak dengan keharuan kebangsaan sehingga mereka tidak punya momen untuk merasakan.

Keharuan itu selalu berkaitan dengan kebangsaan. Manusia tidak mungkin tanpa kebangsaan, bahkan hal ini berlaku pada suku pendalaman (kesukuannya adalah kebangsaannya). "Aku" sendiri hanya bisa didefinisikan dalam kebangsaanya, tidak mungkin dalam keterputusan[3]. Ingat bahwa keberjarakan mengisyaratkan adanya hubungan, sedangkan keterputusan tidak mengandung hubungan lagi. Saya segera terputus dari ke-aku-an saya ketika, misalnya, pertama kali dan hingga sekarang, memikirkan lagi besaran-besaran pokok dalam fisika: panjang, waktu, massa, suhu, intensitas cahaya, kuat arus, jumlah zat. 

Dalam besaran-besaran pokok fisika itu saya tidak punya kesempatan menemukan aku lirik, dan kini saya menyadari setiap aku lirik adalah jembatan aku dengan kebangsaanku. Sekali lagi, jarak selalu mengisyaratkan adanya ketersambungan dan aku-liriklah yang menyambungkannya.

Medali emas yang dipakai Susi Susanti adalah sebuah kenyataan kimia di mata saya, emas adalah aurum (Au) dengan nomor atom 79, dan itu bahasa ilmu yang terputus, tapi emas itu mengharukan saya ketika Susi saya "alami" sebagai seorang Indonesia dan ia bersama medali itu suatu hari menyanyikan Di sanalah aku berdiri. Maka suatu hari ketika saya menjadi protokol sebuah upacara bendera, saya meminta hadirin untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan kata-kata macam ini: "Mari kita menyanyikan lagu Indonesia Raya seakan-akan kita berada di Barcelona dengan medali emas terkalung di dada!" Hadirin saat itu malah tertawa karena mereka menganggap kebangsaan itu "di sini" di Indonesia. Tidak, kebangsaan hanya mungkin kita rasakan dalam momen keharuan keberjarakan dengannya---Indonesia mesti ada di sana!

Itu sebabnya saya kadang produktif menulis puisi-puisi berbahasa Sunda karena saya makin merasakan keberjarakan dengan kesundaan itu. Saya lahir dan besar di Jawa Barat, tapi setelah lulus S1 langsung bekerja dan tinggal sampai sekarang di Banten. Bahasa Sunda tidak lagi menjadi milik saya, tetapi menjadi milik aku lirik. Aku lirik-aku lirik dalam puisi-puisi Sunda saya yang ditulis di Banten adalah aku lirik-aku lirik yang berjarak dengan kedua tempat.

Saya tidak mungkin menjadi orang Priangan lagi karena sudah delapan belas tahun tinggal di Banten dan memilih Banten sebagai tempat menyibukkan diri, tapi menjadi orang Banten saya juga tidak mungkin seperti orang Banten yang lahir dan besar di Banten. Akhirnya puisi-puisi tersebut---sebagian sudah terbit dalam antologi Ceurik Arsnik[4]---menjadi semacam eksperimen kimia dalam rangka menciptakan bahasa sendiri seakan di negara tersendiri pula: Sunda Priangan dan Sunda Banten bercampur dalam pilihan kata atau struktur bunyi yang ditemukan aku lirik tanpa sengaja itu. Kedua alam Sunda seakan saling melarutkan tanpa takaran yang bisa diukur atau ditimbang. 

Seperti itu pula kiranya saya menduga hubungan aku lirik-aku lirik dengan para penyairnya, saling melarutkan dalam dialektika pembacaan---termasuk saat proses penulisan karena menulis adalah membaca---dan kebangsaan adalah tujuan yang tidak disadarinya, tapi itulah melulu yang dibicarakan aku lirik. Puisi adalah sebuah konstruk bahasawi yang menghubungkan aku dengan kebangsaannya dalam keharuan tertentu.

Saya makan nasi dan nasi adalah beras dan beras adalah bagian dari kebangsaan saya. Tapi dalam kimia tentu beras ini didefinisikan sebagai karbohidrat baik oleh kimia organik maupun oleh biokimia, baik tentang reaksi-reaksi di luar tubuh seperti keringat maupun reaksi-reaksi atas peran enzim.

 

Penemuan tak disengaja

Observasi, eksperimen, komputasional, teoretikal, adalah empat metode penemuan sains, bukan? Galileo tidak melakukan eksperimen tapi observasi, kultur jaringan adalah sebuah eksperimen, postulat Bohr adalah sains teoretikal (elektron mengelilingi inti atom pada lintasan tertentu, elektron dapat berpindah dari kulit satu ke kulit lain dengan memancarkan atau menyerap cahaya). Persamaan diferensial tentu tidak bisa dikerjakan kalkulator warung, tapi membutuhkan komputer sehingga menjadi angka-angka yang dapat dibandingkan dengan percobaan. Sifat komputasional awalnya adalah jembatan, tetapi juga untuk menemukan hal baru karena kemampuan sintesisnya.

Penemuan-penemuan aku-lirik bisa melakukan semua metode tersebut. Mengamati dan mengatakan adalah sebuah penemuan observatif. Menetes perlahan lewat saringan/ demi saringan adalah contoh observasi Agus Sarjono hingga menjadi puisi "Kopi Vietnam", tapi ia melanjutkannya seperti kenangan/ berjingkat meluputkan diri dari barikade/ masa silam, tahun-tahun peperangan. Kali ini Sarjono meneruskannya dengan pengalaman sejarah Vietnam dan juga negaranya sendiri Indonesia (ini tidak ada dalam empat metode sains di atas). Selanjutnya Sarjono mengatakan Pahit dan pekat, menghujam/ ke genangan kental manis susu harapan/ yang dikalengkan, biar awet/ biar senantiasa berdegup/ sepahit cinta/ sepahit maut.[5] Tentu bagian terakhir yang saya kutip ini boleh saja disebut komputasional karena maut belum dialami pahitnya oleh Sarjono (ingat kembali fungsi komputasional yang juga bisa menemukan hal baru) dan karena ia memasangkan pahitnya maut itu bukan ke dirinya yang belum mengalami, tapi pada maut lain yang dilihatnya, didengarnya, dibacanya, seperti maut-maut dalam sejarah perang; maka ia melandaskan kepahitan maut itu pada metode sejarah.

Inti dari penemuan aku lirik yang awalnya membicarakan cara kopi Vietnam dalam obserasi yang melewati saringan demi saringan dan tiba-tiba tak sengaja memperlihatkan kenangan perang yang memahitkan kematian-kematian itulah yang saya sebut penemuan tak sengaja. Penyair Sarjono tentu tidak menulis seperti Balmer menguji postulat Bohr dengan eksperimen spektrum, tapi menulis untuk membicarakan kejarakan aku lirik dengan bangsa-bangsa di mana manusia menemukan keakuannya.

Dalam pengantar buku Kopi, Kretek, Cinta Sarjono mengatakan "Jangan-jangan benar bahwa penyair tidak bisa lepas dari negerinya, susah maupun senang."[6] Hal itu ia rasakan ketika berada di Eropa dan ia merasakan semangat menulisnya "ternyata sirna bersama berlalunya musim dingin" dan hal itu bukan karena perubahan musim ternyata, tapi karena "tiba-tiba dicekam oleh kerinduan untuk kembali berada di tengah-tengah riuh negeri saya" yang "mesra di mata batin saya."[7] Saya menduga kini jangan-jangan aku lirik adalah mata batin para penyair yang dengan demikian tak membutuhkan observasi pada alam di depan mata macam iklim di Eropa yang diamati Sarjono, tetapi tetap kembali pada alam keakuan yang dijembatani aku lirik. 

Dengan mengutip pandangan seorang tokoh dalam novel Naipaul dan pendapat Chinua Achebe yang menanggapi novel Naipaul tersebut, Sarjono berusaha mensintesa mata batin itu sebagai hal yang tidak sekadar di hati, tapi juga di jalan yang berdebu kampung halamannya sendiri.

Ya, tapi bagaimana bisa penyair memasuki kebangsaan mereka/kampung halaman itu, jika mereka tak memiliki jembatan aku lirik yang selalu ditemukannya secara tiba-tiba dan tak disengaja itu?

Ilmu di dalam sains tentu tidak didasari oleh jarak kerinduan pada kebangsaan, meskipun boleh jadi mereka menemukan hal-hal yang tidak disengajanya atau tidak dimaksudkannya. Tapi kalau sains bekerja di atas ketidaksengajaan, sains telah tak berada di dalam metode-metode penemuannya sendiri. Dengan demikian sains terasing dari dirinya sendiri, lebih gawat dari penyair yang terasing di negeri orang dan tidak rindu pula ke kampung halamannya sendiri. Di sanalah aku berdiri hanya akan bermakna jika aku di dalamnya merupakan aku yang menemukan keakuannya lagi sehingga bebas dari keterasingan.***  

[1] Bob Dylan, Chronicles, terj. Daniel Santosa, Jakarta: KPG, hal. 159-160.

[2] Afrizal Malna, 2005, Bandung: Nuansa Cendekia, lihat pengakuan Afrizal tentang bahasa Indonesia sepanjang ia di Jerman dalam pengantar buku tersebut.

[3] Tema keterputusan ini lebih jelas dalam esai saya yang berjudul "Subjek dan Subjek-Lain dalam Yuliana W.S. Rendra".

[4] Arip Senjaya, Ceurik Arsnik Made in Nagar Komik, 2021, Serang: Anak-Anak Rel.

[5] Lihat puisi ini dalam Kopi, Kretek, Cinta, kumpulan puisi Agus R. Sarjono, Depok: Komodo Books, 2013, hal. 22.

[6] Ibid., hal. 7.

[7] Ibid., tiga kutipan berturut-turut diambil dari hal. 6-7.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun