Â
Pengalaman sains
Ketika SMA saya belajar kimia, garam menjadi kimia, emas menjadi kimia, udara yang saya hirup menjadi kimia, apa pun terasa dan terlihat sebagai kimia; ketika saya belajar matematika saya tidak lagi melihat lingkaran bulan, lingkaran matahari, tapi lingkaran itu sendiri; ketika saya belajar fisika, apel bukan lagi New Zealand tetapi sebuah pengalaman penting Newton; dan yang paling aneh adalah ketika saya belajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila, nama sebelum PPKn), pelajaran ini terasa mencekam: gurunya galak dan kami merasa anak-anak pendosa pada negara, anak-anak tak bermoral, dan moral mestilah moral Pancasila yang entah apa saja sebab waktu itu moral tidak sama dengan nilai yang tergoda universalitas tapi kesopansantunan kami sebagai anak sekolah yang definisinya ada di pihak guru. Intinya, tak ada negara dalam PMP pun, tetapi simbol dan semboyan dan nilai sepihak yang dipaksakan.
Kini saya dapat merasakan harunya membaca ulang Pancasila bukan karena PMP, tetapi karena pengalaman saya memahami puisi demi puisi para penyair lain atau pengalaman saya sendiri dalam penulisan dan pembacaan ulang karya sendiri. Saya bisa terharu membaca artikel-artikel matematika, fisika, kimia, juga karena latihan terharu membaca puisi-puisi. Kini apa pun di mata saya telah menjelma sebagai bahasa yang diberi jarak waktu dan tempat. Pancasila adalah puisi sepanjang saya berjarak dengannya.
Dan matematika adalah bahasa yang bisa saya gunakan untuk membaca fisika dan fisika adalah bahasa yang dapat dipakai untuk membaca kosmologi serta kimia, dan kimia sendiri dapat saya gunakan sebagai bahasa untuk membaca ulang biologi. Tapi bahasa dalam arti tersebut hanya bahasa ilmu dan tidak berkaitan langsung dengan keharuan bahasa Indonesia (dalam arti kebangsaan). Kebenaran mendasar bahasa memang hanya ada di matematika dan fisika adalah terapannya, hal ini berlaku pada kimia sebagai terapan fisika dan biologi sebagai terapan kimia serta kehidupan sebagai terapan bilogi. Ketika SMA saya tidak masuk kelas Fisika, tetapi Biologi sebab berharap bisa melihat "kehidupan" tersebut, tetapi ternyata tidak. Sains apa pun merupakan ilmu yang berjarak dengan keharuan kebangsaan sehingga mereka tidak punya momen untuk merasakan.
Keharuan itu selalu berkaitan dengan kebangsaan. Manusia tidak mungkin tanpa kebangsaan, bahkan hal ini berlaku pada suku pendalaman (kesukuannya adalah kebangsaannya). "Aku" sendiri hanya bisa didefinisikan dalam kebangsaanya, tidak mungkin dalam keterputusan[3]. Ingat bahwa keberjarakan mengisyaratkan adanya hubungan, sedangkan keterputusan tidak mengandung hubungan lagi. Saya segera terputus dari ke-aku-an saya ketika, misalnya, pertama kali dan hingga sekarang, memikirkan lagi besaran-besaran pokok dalam fisika: panjang, waktu, massa, suhu, intensitas cahaya, kuat arus, jumlah zat.Â
Dalam besaran-besaran pokok fisika itu saya tidak punya kesempatan menemukan aku lirik, dan kini saya menyadari setiap aku lirik adalah jembatan aku dengan kebangsaanku. Sekali lagi, jarak selalu mengisyaratkan adanya ketersambungan dan aku-liriklah yang menyambungkannya.
Medali emas yang dipakai Susi Susanti adalah sebuah kenyataan kimia di mata saya, emas adalah aurum (Au) dengan nomor atom 79, dan itu bahasa ilmu yang terputus, tapi emas itu mengharukan saya ketika Susi saya "alami" sebagai seorang Indonesia dan ia bersama medali itu suatu hari menyanyikan Di sanalah aku berdiri. Maka suatu hari ketika saya menjadi protokol sebuah upacara bendera, saya meminta hadirin untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan kata-kata macam ini: "Mari kita menyanyikan lagu Indonesia Raya seakan-akan kita berada di Barcelona dengan medali emas terkalung di dada!" Hadirin saat itu malah tertawa karena mereka menganggap kebangsaan itu "di sini" di Indonesia. Tidak, kebangsaan hanya mungkin kita rasakan dalam momen keharuan keberjarakan dengannya---Indonesia mesti ada di sana!
Itu sebabnya saya kadang produktif menulis puisi-puisi berbahasa Sunda karena saya makin merasakan keberjarakan dengan kesundaan itu. Saya lahir dan besar di Jawa Barat, tapi setelah lulus S1 langsung bekerja dan tinggal sampai sekarang di Banten. Bahasa Sunda tidak lagi menjadi milik saya, tetapi menjadi milik aku lirik. Aku lirik-aku lirik dalam puisi-puisi Sunda saya yang ditulis di Banten adalah aku lirik-aku lirik yang berjarak dengan kedua tempat.
Saya tidak mungkin menjadi orang Priangan lagi karena sudah delapan belas tahun tinggal di Banten dan memilih Banten sebagai tempat menyibukkan diri, tapi menjadi orang Banten saya juga tidak mungkin seperti orang Banten yang lahir dan besar di Banten. Akhirnya puisi-puisi tersebut---sebagian sudah terbit dalam antologi Ceurik Arsnik[4]---menjadi semacam eksperimen kimia dalam rangka menciptakan bahasa sendiri seakan di negara tersendiri pula: Sunda Priangan dan Sunda Banten bercampur dalam pilihan kata atau struktur bunyi yang ditemukan aku lirik tanpa sengaja itu. Kedua alam Sunda seakan saling melarutkan tanpa takaran yang bisa diukur atau ditimbang.Â
Seperti itu pula kiranya saya menduga hubungan aku lirik-aku lirik dengan para penyairnya, saling melarutkan dalam dialektika pembacaan---termasuk saat proses penulisan karena menulis adalah membaca---dan kebangsaan adalah tujuan yang tidak disadarinya, tapi itulah melulu yang dibicarakan aku lirik. Puisi adalah sebuah konstruk bahasawi yang menghubungkan aku dengan kebangsaannya dalam keharuan tertentu.