Mohon tunggu...
Arinda Safira
Arinda Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang mudah penasaran ini tidak begitu tertarik dengan bakso dan mie ayam seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka jangan beri saya kedua itu untuk sebuah perayaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Leni Gendhis: Perempuan di Balik Kayu

29 November 2023   12:40 Diperbarui: 29 November 2023   13:07 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang perempuan bersenandung di balik bangunan setengah mangkrak. Ia menyanyikan lagu berbahasa Jawa dengan suara setengah serak. Sesekali matanya mengintip di sela-sela kayu yang dipaku menutupi jendela. “Koe neng kono?” (Kamu di sana?) tanyanya kepada siapapun orang yang melewati rumah itu. Perempuan itu cukup menghibur, tingkah absurdnya seringkali mengundang gelak tawa, seperti saat ia mengomentari pedagang sayur yang keranjangnya miring sebelah, memanggil seorang kuli bangunan untuk membantunya mengubur kotorannya, sampai mengumandangkan takbir hari raya padahal belum saatnya.

Perempuan itu anak dari seorang sesepuh desa yang paling dihormati di desa itu, namanya Leni Gendhis. Konon ia mulai mengalami gangguan mental setelah pernikahannya batal akibat tidak direstui oleh Ibunya. Ayahnya mengizinkannya, namun Ibunya melarangnya habis-habisan. Leni Gendhis yang terkenal begitu ramah, cerdas, dan cantik, lantas menjadi perempuan yang menggali tanah untuk mengubur kotorannya sendiri karena ia dikurung dalam rumah tanpa tempat sanitasi.

“Sopo? Nggoleki sopo, Cah Ayu?” (Siapa? Nyari siapa, Anak Cantik?) Tanya Bu Sri, pedagang sayur langganan Ibuku, sembari ia memasukkan cabai dan bawang merah pesanan pelanggannya.

Leni Gendhis yang sebelumnya bertanya dengan nada ceria tiba-tiba berubah parau. “Bojoku… bojoku ilang mergo Mbah Jumi asu.” (Suamiku… suamiku hilang karena Mbah Jumi anjing) Mbah Jumi adalah nama Ibu yang mengurungnya di tempat itu. Leni Gendhis memang tidak dipasung, tapi ia telah menghabiskan sembilan tahun di sana.

Ibu memberiku roti yang ia ambil dari keranjang sayur Bu Sri. “Aku mau, Cah Ayu.” Katanya setelah aku membuka roti yang Ibu berikan. Ibu memberiku roti lagi, kemudian kakiku yang kecil saat itu berjalan pelan mendekati jendela yang ditutupi kayu-kayu.

Aku memasukkan roti itu ke sela kayu, Leni Gendhis mengambilnya lembut, diringi mulut yang setengah menganga. “Nuwun, Cah Ayu!” (Terima kasih, Anak Cantik!) Serunya menyambut roti yang aku berikan.

“Rasa cokelat.” Kataku menjelaskan rasanya.

Leni Gendhis tidak menghiraukan perkataanku. Ia langsung menarik diri menjauhi jendela dan duduk di atas lantai tanah yang tidak beralaskan apa-apa. Aku mengintipnya menikmati roti yang sebelumnya aku berikan. Dia tidak minum? Itulah pertanyaan yang sekilas mampir di kepalaku.

Aku kembali menghampiri Ibu. “Dia tidak minum?” tanyaku kepada Ibu, yang secara tidak langsung memintanya untuk membelikan minum.

Ibu memberiku satu botol air mineral. Aku meminta satu kotak cokelat dari Bu Sri. Kubawa keduanya dan kumasukkan ke sela-sela kayu yang sebelumnya, ah, ternyata tidak muat! Aku mencari sela kayu yang lebih besar seukuran botol air mineral. “Aku ada minum. Nanti diminum, ya!” seruku dengan mendekatkan mulut ke lubang jendela supaya bisa didengarnya. Tapi, negatif. Dia sangat fokus kepada pekerjaannya sendiri.

Sejak itu, aku mulai sering memperhatikannya tiap kali melewati rumah itu. Entahlah, aku hanya merasa dia tidak seperti yang orang-orang bicarakan. Dia cukup cakap dan mengerti pembicaraan orang lain. Hanya saja, dia butuh banyak waktu sendiri untuk membicarakan dunia ini dengan dirinya.

Beberapa kali Ibu mengirimku untuk memberikan makanan ke Leni Gendhis, karena Ibu dan beberapa warga lain pun paham kalau Mbah Jumi tidak memberikan makanan yang layak kepada Leni Gendhis selama ia dikurung di sana.

Ibu pernah berkata padaku di satu kesempatan saat aku menanyakan kemungkinan Leni Gendis melukai orang, “Leni Gendhis tidak menyerang orang lain selain Mbah Jumi.”

“Oh, mungkin karena itu juga dia dikurung?” tanyaku yang makin penasaran.

Setelah aku berusia 18 Tahun, Ibu tidak lagi memintaku mengirim makanan ke Leni Gendhis. Selain perekonomian keluargaku yang menurun, Mbah Jumi mulai melarang orang-orang yang memberikan makanan diam-diam di sela kayu.

Beberapa warga sempat bergantian menegur karena Leni Gendhis tidak diberi makan layak selama ia dikurung. Tapi usaha itu hanya menghasilkan tarikan napas panjang sebab Mbah Jumi tidak ingin masalah keluarganya dicampuri.

“Bagaimana mungkin ada perempuan dikurung bertahun-tahun di rumah kosong tanpa makanan dan sanitasi yang layak? Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit jiwa saja kalau memang benar membutuhkan tindakan dari ahlinya?” tanyaku yang mulai berani mengomentari perlakuan Mbah Jumi.

“Kita tidak bisa mencampuri urusan orang lain. Batas kita hanya sampai mengingatkan.” Ujar Ibu yang sama kerasnya.

Di tengah percakapanku dengan Ibu, kami terus memotong kentang pada hajatan Bu Sri yang hendak ngunduh mantu, Mbah Inna tiba-tiba menyela, “Kamu ini kenapa suka sekali dengan Leni Gendhis? Belum kapok dimarahi Mbah Jumi habis-habisan?”

Pertanyaannya itu membawaku menjelajah waktu, sembilan tahun lalu, pada saat di mana aku diam-diam mencari cara membuka pintu tempat Leni Gendhis dikurung, lantas ‘melepaskannya’. Aku hanya penasaran, kalimat mana yang benar dari semua rumor yang beredar. Apakah dia akan melukai orang, atau dia akan mencari Mbah Jumi untuk dilukai?

Melihatnya keluar dengan jalan yang tertatih setengah sempoyongan, membuatku melangkah yakin mendekatinya. Ia memiringkan kepala, melihatku dengan mata membelalak kebingungan. Aku mengulurkan tangan, menunggu apa yang kemungkinan ia lakukan. Leni Gendhis mengambil tanganku, mengelus-elus punggung tanganku yang berdarah akibat menghancurkan kayu. Lantas dia membalikkan badan, kemudian berlari khasnya ke arah berlawanan dariku.

Aku pulang, tidak mengikutinya karena tujuanku hanya ingin melepaskannya. Anehnya, aku senang melilhatnya seperti itu.

Beberapa jam kemudian penduduk desaku gempar. Leni Gendhis membawa-bawa garpu dan mencari Mbah Jumi. Mbah Jumi yang bersembunyi di rumah warga berteriak mencari tahu siapa pelaku yang membuat Leni Gendhis bisa bebas berkeliaran.

Lalu aku menyerahkan diri ke Pak Sarwedi, ketua RT. Pak Sarwedi hanya menggelengkan kepala dan membantuku bermediasi dengan Mbah Jumi supaya dimaafkan. Ibu yang tidak menyadari bahwa aku akan senekat itu lantas menelpon Ayah yang berada di luar kota untuk segera pulang dan melaporkan tingkah anaknya.

Ayah seketika itu juga pulang karena ingin meminta anaknya dari pengamanan warga. Ibu yang terkejut dan setengah sadar, menggendong adik kecilku dengan mengelus-elus dadanya. Aku tahu ia menyebut banyak-banyak istighfar.

Beberapa anak muda tertawa geli karena hal ini, tapi sebagian yang lain khawatir karena Mbah Jumi sangat berapi-api, “Anak Nakal! Anak Nakal! Bagaimana orangtuamu mendidik kamu?”

Pak Sarwedi menghalangi Mbah Jumi menyentuhku, Bu Sri merangkulku dan mengelus-elus pundakku. Warga menahanku, namun menghardik Ibuku habis-habisan. Kepala Mbah Jumi berdarah-darah, banyak sayatan di wajahnya, dia ketakutan luar biasa.

Melihat kondisinya sekacau itu, aku hanya penasaran, bagaimana rasanya jika binatang peliharannmu menyerangmu?

Apakah akan sama seperti ini?

Tapi itu anakmu.

Kejadian itu menjadi berita terheboh sepanjang tahun, dan selalu dibahas dipertemuan-pertemuan warga. Jika Mbah Jumi tak hadir di pertemuan, itu menjadi cerita yang sangat menghibur, namun jika ada Mbah Jumi, itu menjadi cerita yang paling dihindari. Ada seseorang yang pernah berkata, “Jangan membicarakan itu di depan Mbah Jumi, nanti umurnya pendek.” Celetukan itulah yang menjadi prinsip para mutakalim.

Mbah Inna yang menceritakan hal itu pun tertawa terbahak-bahak. Membawa suasana masak-memasak menjadi panggung stand-up comedy. “Untung Ibumu sabar, ikhlas anaknya ditahan warga. Tapi yo dideleng ambek ngelus dodo (tapi ya dilihat dengan mengelus dada).”

Tawa kami menghening setelah Pak Sarwedi mengumumkan di toah masjid kalau Leni Gendhis meninggal dunia. Persiapan hajatan ngunduh mantu pun seketika menjadi persiapan perayaan duka.

Perempuan di balik kayu itu akhirnya meninggal dunia. Mengakhiri apatisme masyarakat. Mengakhiri kekejaman Mbah Jumi. Berita burung mengumumkan kalau Leni Gendhis telah meninggal dua hari yang lalu. Seluruh masyarakat saling berpandang iba. Ada rasa sesal karena kami gagal menjaganya. Ada rasa benci yang tiba-tiba muncul terhadap Mbah Jumi dan keluarganya.

Mereka meneriaki siapapun yang memberikan Leni Gendhis makanan diam-diam dari sela jendela kayu rusak. Mereka meludahi orang yang ingin memberi Leni Gendhis minum atau yang sekadar mengajaknya berbicara. Lantas diakhir hayatnya, Leni Gendhis diumumkan meninggal karena sakit bertahun-tahun yang ia derita.

Benarkah?

Benarkah ini karena sakit menahun?

Benarkah ini karena sakit menahun dan bukan pembunuhan berencana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun