Mohon tunggu...
Arinda Safira
Arinda Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang mudah penasaran ini tidak begitu tertarik dengan bakso dan mie ayam seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka jangan beri saya kedua itu untuk sebuah perayaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keputusannya adalah Tidak Mencintaiku

28 Januari 2023   04:30 Diperbarui: 28 Januari 2023   04:43 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Menikah sama saya saja, Pak.” Ucapku. Serius.

Pak Ramlan tersenyum teduh. Dia tidak banyak bergerak sekarang. Lalu mengelus kepalaku yang ditutupi kerudung. “Kamu ini.” Katanya. “Kamu ini benar-benar nggak bisa basa-basi.”

Aku tersenyum memperlihatkan gigi atasku yang rapi. “Bapak selalu bisa memahami saya dengan baik.” Kataku.

Pak Ramlan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Saya akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Itu keputusan saya.” Aku melihat mimik muka Pak Ramlan yang sedang kebingungan menyusun kalimat terbaik untuk tidak mengecewakanku. Tapi kalimat seindah apapun itu kalau nyatanya menyakitkan akan tetap menyakitkan, seindah apapun kalimat itu nanti. Aku memahami gerak gerik ini.

“Saya bangga dengan kamu Resti. Saya ingin bertemu denganmu lagi nanti di acara lain, yang mungkin lebih besar dari acara ini. Saya akan memperhatikan kamu dari jauh.” Benar, bukan yang aku bilang? Dia selalu punya caranya sendiri untuk membuatmu nyaman saat berada di sekitarnya. Baiklah. Di sekitarnya.

“Saya juga akan lebih menunjukkan kemampuan saya supaya Pak Ramlan lebih bangga.” Kataku.

“Tidak perlu, Resti. Kamu hanya harus melakukan itu untuk diri kamu sendiri. Kamu sudah sejauh ini. Saya tahu kamu paham maksud saya. Saya percaya sama kamu.” Selang tiga detik. “Buat Ibu dan Adik kamu bangga, ya!” lanjutnya.

Aku tersenyum lebar, sembari menyembunyikan air mataku di sana. “Terimakash, Pak. Saya nggak akan ngelupain, Bapak.” Kataku. Jujur.

Pak Ramlan tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk aku sambut, dan aku melakukannya. Sampai kapanpun aku akan tetap memanggilnya Pak Ramlan. Tidak akan ada yang berubah dari caraku memanggilnya.

Pak Ramlan memang sangat mencintai dunia pendidikan. Keputusannya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi adalah keputusan yang bulat. Maka aku harus menghargainya. Pak Ramlan yang punggungnya mulai menjauh dari jangkauan mataku itu, berhasil membuatku tumbuh menjadi manusia yang penuh harapan. Bukan lagi perempuan yang berusaha untuk mendapatkan pasangan bule untuk memperbaiki keadaan, melainkan dengan usahanya sendiri. Aku tidak tahu isi hati Pak Ramlan, tapi aku tahu kalau dia memutuskan untuk tidak mencintaiku.

Di saat aku mengunjungi perpustakaan beberapa bulan lalu, Mbak Naumi bilang Pak Ramlan dulu menyukaiku. Karena itu dia banyak membantu jalanku. Mulai dari mencarikan asrama dan beasiswa untuk Adik, dari membuka dropship dan reseller jajanan pasar untuk memasarkan dagangan Ibuku via online, meminta bantuan Mbak Naumi untuk memberiku buku pelajaran yang ternyata beberapa adalah milik Pak Ramlan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun