“Belum.” Katanya sembali membenarkan caranya berdiri. Pria jangkung ini benar-benar tahu caranya membuat orang lain nyaman untuk berada di sampingnya, dan dari itu aku ingin terus di sampingnya.
“Menikah sama saya saja, Pak.” Ucapku. Serius.
Pak Ramlan tersenyum teduh. Dia tidak banyak bergerak sekarang. Lalu mengelus kepalaku yang ditutupi kerudung. “Kamu ini.” Katanya. “Kamu ini benar-benar nggak bisa basa-basi.”
Aku tersenyum memperlihatkan gigi atasku yang rapi. “Bapak selalu bisa memahami saya dengan baik.” Kataku.
Pak Ramlan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Saya akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Itu keputusan saya.” Aku melihat mimik muka Pak Ramlan yang sedang kebingungan menyusun kalimat terbaik untuk tidak mengecewakanku. Tapi kalimat seindah apapun itu kalau nyatanya menyakitkan akan tetap menyakitkan, seindah apapun kalimat itu nanti. Aku memahami gerak gerik ini.
“Saya bangga dengan kamu Resti. Saya ingin bertemu denganmu lagi nanti di acara lain, yang mungkin lebih besar dari acara ini. Saya akan memperhatikan kamu dari jauh.” Benar, bukan yang aku bilang? Dia selalu punya caranya sendiri untuk membuatmu nyaman saat berada di sekitarnya. Baiklah. Di sekitarnya.
“Saya juga akan lebih menunjukkan kemampuan saya supaya Pak Ramlan lebih bangga.” Kataku.
“Tidak perlu, Resti. Kamu hanya harus melakukan itu untuk diri kamu sendiri. Kamu sudah sejauh ini. Saya tahu kamu paham maksud saya. Saya percaya sama kamu.” Selang tiga detik. “Buat Ibu dan Adik kamu bangga, ya!” lanjutnya.
Aku tersenyum lebar, sembari menyembunyikan air mataku di sana. “Terimakash, Pak. Saya nggak akan ngelupain, Bapak.” Kataku. Jujur.
Pak Ramlan tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk aku sambut, dan aku melakukannya. Sampai kapanpun aku akan tetap memanggilnya Pak Ramlan. Tidak akan ada yang berubah dari caraku memanggilnya.
Pak Ramlan memang sangat mencintai dunia pendidikan. Keputusannya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi adalah keputusan yang bulat. Maka aku harus menghargainya. Pak Ramlan yang punggungnya mulai menjauh dari jangkauan mataku itu, berhasil membuatku tumbuh menjadi manusia yang penuh harapan. Bukan lagi perempuan yang berusaha untuk mendapatkan pasangan bule untuk memperbaiki keadaan, melainkan dengan usahanya sendiri. Aku tidak tahu isi hati Pak Ramlan, tapi aku tahu kalau dia memutuskan untuk tidak mencintaiku.