Setelah ujian akhir aku bertemu Pak Ramlan di perpustakaan. Kami banyak membahas tentang dunia perkuliahan dan tentang cara belajar. “Kamu tertarik kuliah, Resti?” tanyanya yang ingin meyakinkanku.
“Iya, Pak.” Jawabku yang menginginkan penjelasannya lebih lanjut. Setelahnya, dia banyak memberitahuku tentang beasiswa dan pembelajaran gratis yang kiranya bisa aku akses. Aku mencermati semua perkataannya.
Tiba-tiba Mbak Naumi datang, dia adalah penjaga perpustakaan yang sedang hamil besar. “Resti mau kuliah?” tanyanya menimpa pembicaraan kami.
“Iya, Mbak.”
“Oh, bagus bagus!” serunya sambil mengambil duduk di depan komputernya.
Besoknya Mbak Naumi tiba-tiba memberitahuku kalau dia punya buku pelajaran yang bisa aku pelajari untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi. Aku mengiyakannya. Sepulang sekolah aku mengambilnya, di rumah miliknya yang sedang direnovasi menjadi dua lantai, lalu dia memberikanku satu kardus baju bekas miliknya. Semua baju itu masih sangat layak pakai. Akhirnya aku mendapat jawaban atas beberapa pertanyaanku.
Sampai lulus, Ibu tetap tidak mengizinkanku untuk berkuliah. Akhirnya aku kerja. Sembari menabung untuk mencoba masuk ke perguruan tinggi lagi di tahun depan. “Semua yang kita usahakan nggak akan ada yang sia-sia, Resti.” Kata Isti saat aku bilang aku sudah bekerja di perusahaan retail. Isti ternyata juga bekerja. Dia bahkan mencari pekerjaan lebih dulu dariku karena ingin segera menabung. “Kami benar-benar nggak beruntung tahun ini.” ucapku dalam hati.
Setahun berlalu. Sesekali aku berkunjung ke perpustakaan sekolah yang dulu sering aku kunjungi untuk bertemu Mbak Naumi. Mbak Naumi menyambutku dengan pertanyaan, “Bagaimana kuliahnya?”
Itu bukan pertanyaan yang buruk, tapi cukup menyakitkan untukku. “Aku kerja, Mbak.” Jawabku. Lalu hari itu, kami saling menceritakan keseharian masing-masing dan aku mengetahui kalau Mbak Naumi kali ini sedang hamil anak kedua. Aku tidak mendengar kabar Pak Ramlan lagi. Kata Mbak Naumi beliau sudah tidak mengajar di sini. Ya, di manapun dia sekarang, aku ingin kehidupannya selalu baik-baik saja.
Syukurnya selama setahun bekerja aku sudah bisa membeli motor. Adikku bersekolah di sekolah yang menyediakan asrama gratis ditambah dengan beasiswa pendidikan, dan Ibu masih setia dengan pekerjaannya yang sudah bertahun-tahun dia lakukan. Perekonomian keluarga kami sudah semakin stabil.
Sesekali aku teringat perkataan Pak Ramlan. “Kamu tahu kenapa saya melakukan semua ini?” tanyanya waktu aku mulai mengkritisi kalau Pak Ramlan kadang terlalu mencampuri urusan orang lain saat ingin membantu mereka. “Saya melakukan itu karena mereka yang minta. Dan karena saya tahu bagaimana rasanya menjadi orang susah dan kesusahan. Saya tahu rasanya membutuhkan bantuan tapi tidak tahu harus meminta bantuan ke siapa. Saya tahu persis perasaan putus asa itu dan saya mau cukup saya saja yang merasakannya, jangan anak-anak lain.”