Membangun komunikasi yang positif adalah salah satu solusi untuk mengatasi konflik ini. Stereotip dan prasangka dapat diminimalisir jika setiap etnis dapat melakukan komunikasi secara terbuka melalui kontak antar persona maupun antar kelompok dengan etnis yang berbeda.Â
Sikap terbuka yang dibangun melalui kontak antar persona harus diimbangi dengan timbal balik yang positif dan juga kerjasama yang baik untuk mengurangi terbentuknya prasangka buruk.Â
Sebuah interaksi yang sebelumnya sudah didasari atas kepercayaan, apabila dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan saling pengertian di antara kedua belah pihak, sehingga tindakan diskriminasi dapat diminimalkan.
Pemerintah kota Makassar telah mengambil tindakan untuk mengatasi konflik ini dengan cara bekerja sama dengan paguyuban-paguyuban etnis Tionghoa dan Bugis Makassar, sering mengadakan berbagai forum diskusi pluralisme tentang pembauran Etnis Tionghoa di Makassar.Â
Tujuannya yaitu untuk membuka komunikasi dan mengadakan interaksi antara kedua etnis tersebut. Selain itu juga untuk membangun kembali kepercayaan dengan sesama warga lainnya, tokoh-tokoh warga Tionghoa di Makassar selalu berusaha bekerja sama dengan pemerintah dan tokoh lintas etnis lainnya, contohnya dengan membuat kegiatan-kegiatan yang dapat dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang digelar setiap tahun.Â
Di sisi lain, Forum Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan juga selalu menggelar kegiatan-kegiatan yang menyatukan kedua etnis tersebut, misalnya dengan menghadirkan Grup Sendratasik yang menyanyikan lagu-lagu Bugis Makassar, tetapi menggunakan aliran musik Tionghoa (Tionghoa Indonesia, 2010, h. 9).Â
Seiring jalannya waktu, kehidupan multikultural di Makassar, khususnya Bugis etnis Makassar dan Tionghoa, semakin membaik, terlebih lagi setelah pemerintah membuat beberapa peraturan yang menganulir peraturan lama sehingga membuat etnis Tionghoa tidak lagi hidup dalam lingkup yang terbatas.Â
Peraturan baru tersebut, misalnya, pengakuan Konghucu sederajat dengan agama Islam,Kristen, Hindu, dan Budha, undang-undang kewarganegaraan, kebebasan berekspresi, dan mengembangkan kebudayaan dan juga menjadikan Imlek sebagai hari besar keagamaan.
Indonesia sebagai negara multikultur juga telah berupaya untuk menangani berbagai konflik sosial dan etnis, contohnya dengan membuat dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013 yang berisi tentang penanganan konflik. Melalui undang - undang tersebut, diharapkan konflik dapat diatasi dengan baik.Â
Penanganan konflik adalah kegiatan sistematis yang dilakukan secara berencana, baik sebelum konflik, saat berlangsungnya konflik, maupun sesudah konflik terjadi yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan setelah konflik.Â
Penyelesaian konflik antara etnis Tionghoa dan Makassar contohnya melalui proses mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah Makassar.