Warga keturunan Tionghoa menutup diri dengan rumah tertutup serta menjunjung dan memelihara budaya nenek moyang. Sebaliknya etnik Bugis Makassar memiliki stigma dan juga prasangka bahwa keturunan Tionghoa egois dan hanya memikirkan untung rugi jika berhubungan dengan orang lain. (Old Nabble, 2010).
Warga keturunan Tionghoa dianggap menang dalam bidang perdagangan karena etnis Bugis Makassar tidak dapat menyaingi. Sementara itu, etnis Bugis Makassar mendominasi bidang politik yang strategis bagi kebijakan dalam bidang sosial. Ketiadaan satu media yang mempertemukan etnis Tionghoa dan etnis Bugis Makassar adalah realitas yang melahirkan persepsi dan prasangka. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata justru memperkuat simbol-simbol identitas primordial etnis Tionghoa dan etnis Bugis Makassar, sehingga potensi kekerasan menjadi bersifat laten.Â
Hal inilah yang disebut Samovar dan Porter (1985, h. 78) sebagai suatu sikap kaku terhadap sekelompok orang berdasarkan keyakinan yang salah, pemikiran sederhana yang dilebih-lebihkan, dan secara emosional kaku dan sulit untuk diubah.
 Hal ini memicu penghindaran diri dari setiap kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang yang tidak disukainya. Di samping itu, kondisi tersebut juga membuat perbedaan (diskriminasi) melalui tindakan tindakan aktif serta permusuhan sebagai bentuk manifestasi prasangka.
Stereotip dan prasangka ini juga yang mempengaruhi komunikasi antar budaya Tionghoa dan Bugis Makassar. Etnis Tionghoa cenderung melakukan usaha penghindaran untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak diinginkan. Salah satu bentuk penghindaran tersebut adalah pembangunan rumah tempat tinggal yang sangat tertutup dan seolah-olah tidak ingin bersentuhan langsung dengan dunia luar.Â
Kebanyakan dari mereka juga menghindari urusan dengan pribumi, seperti saat pengurusan surat-surat, mereka lebih memilih menggunakan calo.Â
Bahkan anak-anak etnis Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta yang khusus untuk etnis tersebut. Sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada anak-anak etnis Tionghoa yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang banyak mendidik anak-anak pribumi.Â
Perbedaan-perbedaan semacam itu menimbulkan pemikiran bahwa adakah keuntungan yang bisa mereka peroleh jika saling berhubungan dan berkomunikasi dari kedua etnis tersebut
Dilihat dari kenyataan di atas menunjukkan bahwa, dalam berkomunikasi, setiap anggota etnis akan berpedoman pada kaidah-kaidah, norma-norma, dan budaya etnisnya.Â
Di dalam masyarakat Tionghoa maupun Bugis Makassar terlihat jelas terdapat berbagai norma, nilai, tradisi, kaidah, serta budaya bawaan yang dijadikan pedoman untuk berkomunikasi oleh masing-masing etnis. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat memicu terjadinya gesekan-gesekan dan benturan-benturan dalam komunikasi antar budaya yang pada ujung menimbulkan konflik.
Solusi Untuk Mengatasi Konflik Etnis Bugis Dan Etnis Tionghoa