Tidak akan ada yang merasa nyaman dan tenang ketika harus pergi jauh akibat dikejar-kejar penagih utang. Senyaman apa pun tempat pelarian tetap tidak bisa memulihkan beban mental. Kami ke sini membawa seabrek masalah hidup, malah diperkeruh oleh kejadian-kejadian aneh.
Keadaan makin sulit karena Ayah yang tidak bisa diajak sejalan, sejak tinggal di sini aku dan Mama makin mengkhawatirkan banyak hal. Aku tidak berani jujur pada Ayah, kalau keputusan menerima Tawaran Om Tama bisa dibilang pilihan yang salah.
Aku yakin Om Tama memang bermaksud baik, soal hal-hal tak biasa yang terjadi itu di luar kendalinya. Ia tidak memberi batas waktu sebetahnya kami saja, tapi kami juga tidak bisa seenaknya minta dijemput sekalipun sudah tidak betah. Kenyataannya walaupun baru sebentar, aku memang tidak betah.
Tiap waktu aku dihantui ketakutan dan kekhawatiran, magrib di hari kedua kami tiba-tiba digegerkan oleh bau busuk disusul bau pandan yang sangat menyengat. Mama yang sensitif terhadap bau sampai mual-mual. Sembari gemetaran aku dan Ayah berusaha menyisir seisi rumah dan halaman berbekal lampu minyak dan senter ponsel yang dayanya masih tersisa. Anehnya sumber bebauan itu tidak kunjung ditemukan, aku dan Ayah sangat kelimpungan mencarinya.
"Kata orang-orang kalau mendadak ada bau-bau aneh yang tidak jelas sumbernya, pertanda ada mahkluk halus." Aku refleks menutup mulut keceplosan berucap demikian di dekat Ayah.
Ia menoleh ke arahku memberi tatapan peringatan. "Mulai deh kamu ini!" sungutnya.
Aku menelan ludah, kesekian kalinya bikin Ayah kesal ia tak suka mendengar ceritaku yang mengungkit hal-hal metafisik. Semakin malam bau-bau itu sirna dengan sendirinya. Karena kondisi mual Mama cukup parah kami sampai melewatkan makan malam. Setelah Mama membaik Ayah menyuruhku tidur lebih dulu, tetapi aku sulit terlelap sebab rumah terasa mencekam dan pengap.
Tiap kali diserang kantuk aku langsung terjaga kembali, mimpi teriakan minta tolong dan sekelebat bayangan sosok misterius itu datang lagi. Kupikir itu memang bukan sekadar mimpi, ada sesuatu yang tidak beres di sini. Siapa mereka dan kenapa? Dan sosok itu sekilas menyerupai Om Tama. Aku tidak salah mengingat, apakah Om Tama baik-baik saja?
Om Tama masih hidup kenapa di sini seperti bergentayangan. Aku berusaha mengenyahkan pikiran negatif, barangkali itu jin yang menyerupai Om Tama, aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Meskipun begitu, otakku terasa buntu menggali jawaban dari semua rasa penasaran dari misteri yang dialami akhir-akhir ini.
Dan entah yang ke berapa kali aku kembali terjaga, kali ini karena racauan Mama. Kata Ayah, Mama mendadak demam dan meracau tak jelas. Sesekali ia menjerit dan menangis sambil menunjuk-nunjuk setiap sudut ruangan. Aku panik bukan main, Ayah pun hampir kewalahan.
Sepanjang Mama bersikap aneh, kami nyaris tidak berhenti melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang kami hapal. Malam terlewati begitu sulit beruntungnya saat hari terang kondisi Mama membaik. Namun, anehnya saat ditanyai apa yang Mama lihat semalam, ia tak ingat apa-apa.
"Mama nggak ingat apa-apa, memangnya Mama kenapa semalam?" Mama balik bertanya kepadaku dan Ayah.
Alisku dan Ayah kompak mengerut, aneh. Kenapa bisa begitu, apa Mama kesurupan?
"Nggak kenapa-kenapa, Ma. Mama cuma demam tinggi," pungkas Ayah.
Padahal aku penasaran apa yang dilihat Mama, barangkali ia melihat sosok misterius yang menyerupai Om Tama.
***
"Agni bangun, sudah sore!"
"Bangun, Nak!"
Suara Mama lolos sampai ke alam tidur membangunkanku yang kelewat pulas. Aku mengerjap-ngerjapkan mata lalu menguceknya. Aku mengambil jeda demi mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Rumah terasa lebih lengang, setelah kulihat-lihat Ayah tidak ada bersama kami.
"Mama, sudah baikan, kah?" tanyaku sembari berusaha bangun.
"Iya, pusingnya saja yang masih ada sedikit."
"Syukurlah. O iya, Ayah ke mana, Ma?"
"Bilangnya sih mau cari Kakek misterius itu."
Aku terperanjat. "Sudah berapa lama, Ma?" tubuhku yang tadinya lesu seketika menegang.
"Kurang lebih setengah jam, Mama dari tadi nungguin dia, kok belum pulang, ya?" Mama berdecak cemas, ia mendekati jendela.
Aku baru-baru turun dari kursi kayu dan bergegas keluar. Aku mondar-mandir sambil menerawang ke sekitar. Aku takut sesuatu terjadi pada Ayah, buat apa juga ia mencari Kakek itu, bukankah ia tidak menganggap serius peringatannya? Duh, Ayah. Saat hendak menuruni beranda, terdengar langkah seseorang dari samping rumah. Aku bernapas lega begitu melihat orangnya adalah Ayah.
Sebagai satu-satunya jalan setapak yang terdekat dari rumah, Aya pasti mencari si Kakek ke arah yang kemarin aku susuri. Jalan kendaraan pun hanya sampai sini setelah itu tidak ada jalan lain lagi. Aku cepat-cepat menghampiri Ayah lalu disusul Mama dari dalam.
"Ketemu, Yah?" tanyaku tak sabar.
"Nggak ada, bisa-bisanya kalau dicari nggak menampakkan batang hidung. Ayah mencarinya hanya ingin bilang jangan menemui kami lagi terutama kalian. Jangan sampai menakuti-nakuti kami, itu saja!"
Kupikir Ayah penasaran dan ingin meminta penjelasan dari si Kakek, ternyata hanya ingin memarahinya. Ayah-ayah, aku menggeleng tak habis pikir. Tahu Ayah kelelahan, Mama cepat mengajaknya ke dalam, sementara aku tetap di luar. Aku membuang napas yang terasa begitu berat, kulihat kabut tipis mulai turun waktu terasa lebih singkat hanya karena siangnya kuhabiskan dengan tidur sebagai ganti terjaga semalaman.
Kalau dipikir-pikir lebih enak tidur saat siang, sebab setiap malam ada saja gangguannya. Berat rasanya setiap menghadapi malam, aku takut setakut-takutnya. Bagaimana caranya cepat keluar dari sini? Aku tidak tahan lagi. Merasa udara semakin mengigit aku berniat kembali ke dalam, tetapi niatku harus tertunda ketika tiba-tiba terdengar erangan dari samping rumah.
Tanpa banyak berpikir aku bergegas melihatnya, sontak saja aku melongo saat mengetahui erangan itu berasal dari dua ekor kucing hutan yang berebut mangsa buruan. Seketika aku takjub bisa melihat spesies kucing yang dilindungi itu. Saking senangnya saat mereka terbirit-birit kabur, kuikuti mereka tanpa memedulikan kaki yang tak beralas.
Aku seperti kesetanan terus berlari mengejar mereka tanpa takut meskipun harus menerobos semak-semak di halaman belakang. Ups, tanpa diduga kedua kucing itu masuk ke dalam kain hitam melalui celah bawah dekat permukaan tanah. Entah dorongan dari mana, aku nekat saja merendahkan tubuh mengendap-endap lalu mengintip dari celah yang sama.
Berharap keberadaan kucing yang kulihat, malah sesuatu yang lebih mencengangkan dan mengerikan yang kudapati di sana. Mataku melebar menajamkan penglihatan, aku terkesiap. Begitu teringat larangan yang Om Tama pesankan, aku spontan bangkit lalu lari secepat mungkin menuju rumah.
Saat sampai beranda lututku lemas dan gemetaran, aku harus memberitahu Ayah dan Mama apa yang aku lihat di bawah beringin yang ditutupi kain hitam setinggi kurang lebih dua meter itu. Sebelum masuk, kuintip mereka lewat jendela. Hatiku mencelos mendapati Mama menangis dan Ayah yang terlihat sangat murung.
Aku yakin mereka sedang membicarakan masalah rumah tangganya. Kebiasaan, mereka tidak pernah menampakkan gestur sedih atas masalah yang menimpa. Namun, ketika sedang berdua mereka saling mengekspresikannya. Tubuhku kutarik menjauhi jendela, aku bersandar ke bilik rumah. Tangsiku pecah juga, tetapi kutahan agar tidak sampai bersuara. Bagaimana ini? Aku diserang bingung yang menggunung. Meskipun nanti kuberi tahu mereka, Ayah pasti akan marah besar.
Apa semua yang kulihat ada kaitannya dengan peringatan si Kakek? Aku tertegun. Aku nyaris lari untuk mencari si Kakek, kalau saja tidak sampai ingat dengan hasil pencarian Ayah. Niat itu urung, terlebih di atas sana sudah semakin gelap oleh kabut, kalau aku memaksakan ke sana, takut tidak bisa pulang.
Aku yakin Om Tama-lah yang paling tahu dari semua misteri ini. Apakah yang ada di dalam kain hitam bagian dari rahasianya? Oh, Gala, lo nggak berbohong, kan? Lo bilang lo baru pertama kali ke sini. Di sana ada onggokan tulang belulang, Gala! Apa lo bersengkongkol dengan Ayah lo buat bunuh gue sekeluarga?
Takut, ngeri, merinding, seram, kurasakan secara bersamaan. Batinku menjerit, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya. Doaku yang paling dalam, Tuhan tolong selamatkan keluargaku ini.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H