Tolong! ... Tolong! ... Tolong! Begitu tersadar aku sudah dalam posisi duduk, napas tersengal-sengal, peluh bercucuran dan merinding sekujur badan. Aku berusaha menenangkan diri, pencahayaan remang-remang dari lampu minyak malah memperparah rasa takut. Di tengah gigil hebat yang mendera aku berpikir keras, apakah tadi benar-benar mimpi? Kenapa begitu nyata di telinga? Mengerikannya suara-suara itu sangat pilu dan bukan hanya dari satu orang, tapi suara banyak orang. Kalaupun nyata aku sangat sangsi mengingat tadi siang saja sangat sunyi.
Aku melirik ke bawah di mana orangtuaku tidur menggelar tikar, sedangkan aku di kursi bambu tidak jauh dari mereka. Kami memutuskan tidur di ruang tengah agar tetap saling berdekatan. Ingin sekali aku membangunkan mereka, tetapi dengkuran halus Mama membuatku urung melakukannya.
Kelihatannya mereka tidur pulas, perjalanan jauh kemari membuat kami sangat kelelahan. Masalah yang membelit sudah lebih dari cukup menyabotase nikmat tidur dan makan kami akhir-akhir ini. Jadi aku tidak tega mengganggu tidur mereka yang nyenyak kembali.
Kakiku yang tadinya sudah turun menapaki lantai papan, kembali kunaikkan. Aku duduk memeluk lutut dalam kondisi tetap gemetaran. Dalam bungkamku yang masih dihantui ketakutan, mataku menjelajah ke setiap sudut ruangan yang gelap. Entah kenapa dari setiap lubang kecil bilik rumah seolah ada banyak pasang mata mengawasiku.
Aku menoleh ke segala arah perasaanku sangat tidak enak, apa pun yang mengawasiku seakan mendekat. Namun, nihil aku hanya mendapati gelap meski begitu bulu kudukku meremang hebat. Aku bingung harus melakukan apa tidur lagi pun tidak mungkin terlelap, terlebih temperatur ruangan mendadak gerah dan pengap. Situasi aneh ini memunculkan sebersit rasa ingin pulang. Memangnya pulang kemana? Nasib-nasib. Hatiku getir sekali.
Terlalu banyak peluh yang keluar dan suhu panas yang tak wajar, membuatku dilanda haus yang cukup hebat. Untungnya air minum ada di meja sebrang, ketika hendak meraih botol air tiba-tiba aku mendengar sesuatu. Sontak aku tertegun dan tanganku kembali ke posisi semula. Aku celingukan, itu suara gemeretak langkah.
Siapa? Aku menelan ludah, tenggorokan terasa sakit saking keringnya. Derap langkah yang mulanya sesekali, lambat laun malah semakin ramai bak di keramaian. Kacau, aku gelagapan sendiri. Rumah seolah dikepung segerombolan orang, anehnya tidak ada suara lain selain gedebak-gedebuk langkah kaki. Kulihat Mama dan Ayah tetap di posisi yang sama, suara ganjil di luar tidak sampai mengdistraksi lelap mereka.
Bibir yang gemetaran kugigit kuat-kuat tak perduli kemungkinan munculnya luka setelahnya. Meskipun takut setengah mati aku penasaran ada apa sebenarnya di luar. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, niatku bulat ingin mengintip jendela.
Kakiku kuturunkan pelan lalu melangkah hati-hati mendekati jendela tanpa bersuara. Derap ramai masih berlangsung sementara aku sudah berdiri nan gemetaran di depan gorden buluk jendela depan. Peluh makin mengucur deras dan saking takutnya kepalaku sampai terasa mau pecah.
Kemudian tanganku perlahan meraih gorden. Mengherankannya begitu gorden kubuka meskipun hanya sedikit, suara itu lenyap seketika. Aku menganga tak percaya di luar pun yang nampak hanya gelap. Aku mundur kengerian, gorden pun kembali tertutup, dan saat itu pula derap ramai kembali terdengar. Aku makin tercengang, tanpa berpikir panjang kubuku lagi gordennya, suara pun kembali hilang.
Aku menggeleng-gelengkan tak percaya dan bergegas mundur, niatku membangunkan Mama dan Ayah karena sudah tak kuat. Begitu membalikkan badan aku tersentak ada sesosok misterius berdiri tepat di hadapanku. Sayangnya tidak sampai mengingat detail perangainya sebab detik kemudian aku tak ingat apa-apa.
***
Rumah dinaungi kanopi hijau dari pohon beringin super besar, belum lagi keberadaan jenis-jenis pohon lain yang membuat sinar matahari tidak begitu sempurna menembus ke permukaan. Pukul 08.00 baru terang, kata Ayah dari subuh sampai hampir setengah tujuh keadaan masih dibungkus kabut pekat. Aku bangun kesiangan dan sialnya kejadian semalam masih sangat menghantui.
Sewaktu sarapan Mama dan Ayah bertanya kenapa aku bisa terkapar di dekat jendela. Ayah dan Mama bangun lebih pagi, mereka kaget melihatku dan bergotong royong memindahkanku. Aku ceritakan semuanya yang kualami semalam. Mama terkaget-kaget bahkan rautnya berubah cemas, berbanding terbalik dengan Ayah yang tak seekspresif Mama.
"Aku jadi merasa kesal sama Om Tama, katanya di sini aman. Kok aku bisa mengalami hal-hal aneh. Apa gunanya kain hitam itu kalau aku masih diganggu!" gerutuku.
Ayah menatapku tajam, sorot matanya sangat menusuk. "Jaga ucapan Agni! Dia sudah baik tolongin kita, coba di antara banyak teman Ayah mana yang sudi menolong saat kita jatuh miskin begini? Hanya Tama. Soal hal-hal aneh yang kamu alami jangan diperpanjang, siapa tahu itu cuma halusinasi. Lain kali kalau mau tidur jangan skip doa!" tandasnya.
Hanya Mama yang bersimpati dan percaya yang aku alami, bersitegang dengan Ayah membuatku kalut. Ya, aku memang keterlaluan bisa-bisanya marah ke Om Tama, nggak tahu diri sekali. Aku bukan pengidap skizofrenia, derap langkah dan sosok misterius itu, aku mendengar dan melihatnya secara sadar.
Merasa jengah hanya di rumah aku pergi keluar niatnya ingin menenangkan diri, akan tetapi diam-diam menyelinap ke halaman belakang. Daya tarik kain hitam sangat kuat, aku meragukan kalau itu penangkal astral. Takhayul, omong kosong belaka, mana ada yang seperti itu? Aku celingukan takut Ayah memergoki, kalau berlama-lama bisa saja Ayah melihat, aku pun buru-buru pergi memilih berjalan ke arah lain.
Sepi, hutan tidak tersentuh banyak aktivitas manusia, hanya ramai oleh desir dedaunan dan suara para binatang penghuninya. Seperti kicau burung, decit serangga dan samar-samar pekik dari primata. Harusnya suasana langka nan mahal ini jadi healing, tapi malah bikin frustasi dan merinding. Kakiku terus menjajaki jalan setapak kecil yang mengarah ke Utara dengan kontur agak menanjak. Saat menyadari napas mulai terengah-engah, aku menoleh ke belakang yang ternyata keberadaanku sudah cukup jauh dari rumah.
Perasaan seakan ada yang mengawasi kembali melingkupiku, aku memutar sembari memfokuskan pandangan ke segala arah. Di antara semak-semak belukar dan pepohonan yang berdiri bungkam, tidak ada penampakan apa pun. Aku berdecak sebal ketika mengingat ucapan Gala soal macan, bagaimana kalau aku sampai dimangsa dan tersisa tulang belulang? Aku bergidik, keinginan pulang muncul begitu mendesak.
Belum juga berbalik ke arah jalan pulang aku lebih dulu dikejutkan oleh kemunculan Kakek bercaping yang tiba-tiba muncul dari balik pohon yang jaraknya tak jauh dariku. Tentu saja aku terkejut sampai-sampai hampir terjengkang.
"Pergi dari sini, cepat pergi!" perintahnya dingin, nadanya berat dan menekan.
Matanya yang cekung menatapku kosong, pasti ia adalah Kakek yang Mama ceritakan kemarin. Aku memberanikan diri merespon ucapnya. "K---enapa k---ami harus pergi, Kek?" tanyaku gemetaran.
"Sebelum terlambat!"
Hanya itu yang keluar dari mulut tipis dan pucatnya, lalu ia pergi menerobos semak-semak tanpa kesusahan, seolah itu jalan yang sudah biasa ia lalui setiap harinya. Aku tidak sampai memikirkan kemana si Kakek pergi, kepalaku lebih dibingungkan oleh peringatannya. Siapa ia sebenarnya, orang baik atau jahat? Atau mungkin cenayang? Kenapa seakan-akan tahu akan ada sesuatu yang terjadi pada kami di sini? Aku semakin takut, saat sudah sampai rumah pun aku tidak berhenti memikirkannya.
Melihatku pulang-pulang dengan napas memburu dan bergestur ketakutan, Ayah dan Mama sampai beranjak dari duduknya lalu menghampiriku bersama an. Wajah mereka seragam penuh tanya dan penasaran.
"Kamu dari mana saja, Nak? Terus kamu kenapa ?" tanya Mama terdengar khawatir.
Sebelum berbicara, aku berusaha memperbaiki ritme napas supaya lebih tenang. "Aku ketemu Kakek yang Mama lihat kemarin. Dia menyuruh hal yang sama ke aku, Ma. Kita harus pergi sebelum terlambat."
Mama berjengit kaget, sementara Ayah tertegun bisu di wajahnya yang kerap berekspresi datar nampak samar-samar kekhawatiran.
"Bagaimana ini, Yah? Sebaiknya kita nggak mengabaikan ucapan orang itu!' rengek Mama panik.
Kupikir kali ini ia akan sepakat, tetapi malah menggeleng mantap. "Ma, Agni, kalian ingat 'kan apa yang dikatakan Tama? Setiap dia ke sini selalu aman-aman saja. Percaya saja sama dia, oke?!" Ia melihatku dan Mama bergantian, sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tak tergoyahkan.
Aku dan Mama kalah lagi, Ayah selalu menang dalam perdebatan. Kami selalu dipaksa mengabaikan hal-hal yang dianggapnya tidak cukup menarik perhatiannya. Aku merenungi semua yang sudah dialami di sini, dengan sikap Ayah yang seperti itu, apakah kami hanya cukup mengabaikannya begitu saja? Itu bukan solusi, jelas-jelas ini ganjil. Aku yakin betul ada yang tidak beres di sini.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H