Aku menggeleng-gelengkan tak percaya dan bergegas mundur, niatku membangunkan Mama dan Ayah karena sudah tak kuat. Begitu membalikkan badan aku tersentak ada sesosok misterius berdiri tepat di hadapanku. Sayangnya tidak sampai mengingat detail perangainya sebab detik kemudian aku tak ingat apa-apa.
***
Rumah dinaungi kanopi hijau dari pohon beringin super besar, belum lagi keberadaan jenis-jenis pohon lain yang membuat sinar matahari tidak begitu sempurna menembus ke permukaan. Pukul 08.00 baru terang, kata Ayah dari subuh sampai hampir setengah tujuh keadaan masih dibungkus kabut pekat. Aku bangun kesiangan dan sialnya kejadian semalam masih sangat menghantui.
Sewaktu sarapan Mama dan Ayah bertanya kenapa aku bisa terkapar di dekat jendela. Ayah dan Mama bangun lebih pagi, mereka kaget melihatku dan bergotong royong memindahkanku. Aku ceritakan semuanya yang kualami semalam. Mama terkaget-kaget bahkan rautnya berubah cemas, berbanding terbalik dengan Ayah yang tak seekspresif Mama.
"Aku jadi merasa kesal sama Om Tama, katanya di sini aman. Kok aku bisa mengalami hal-hal aneh. Apa gunanya kain hitam itu kalau aku masih diganggu!" gerutuku.
Ayah menatapku tajam, sorot matanya sangat menusuk. "Jaga ucapan Agni! Dia sudah baik tolongin kita, coba di antara banyak teman Ayah mana yang sudi menolong saat kita jatuh miskin begini? Hanya Tama. Soal hal-hal aneh yang kamu alami jangan diperpanjang, siapa tahu itu cuma halusinasi. Lain kali kalau mau tidur jangan skip doa!" tandasnya.
Hanya Mama yang bersimpati dan percaya yang aku alami, bersitegang dengan Ayah membuatku kalut. Ya, aku memang keterlaluan bisa-bisanya marah ke Om Tama, nggak tahu diri sekali. Aku bukan pengidap skizofrenia, derap langkah dan sosok misterius itu, aku mendengar dan melihatnya secara sadar.
Merasa jengah hanya di rumah aku pergi keluar niatnya ingin menenangkan diri, akan tetapi diam-diam menyelinap ke halaman belakang. Daya tarik kain hitam sangat kuat, aku meragukan kalau itu penangkal astral. Takhayul, omong kosong belaka, mana ada yang seperti itu? Aku celingukan takut Ayah memergoki, kalau berlama-lama bisa saja Ayah melihat, aku pun buru-buru pergi memilih berjalan ke arah lain.
Sepi, hutan tidak tersentuh banyak aktivitas manusia, hanya ramai oleh desir dedaunan dan suara para binatang penghuninya. Seperti kicau burung, decit serangga dan samar-samar pekik dari primata. Harusnya suasana langka nan mahal ini jadi healing, tapi malah bikin frustasi dan merinding. Kakiku terus menjajaki jalan setapak kecil yang mengarah ke Utara dengan kontur agak menanjak. Saat menyadari napas mulai terengah-engah, aku menoleh ke belakang yang ternyata keberadaanku sudah cukup jauh dari rumah.
Perasaan seakan ada yang mengawasi kembali melingkupiku, aku memutar sembari memfokuskan pandangan ke segala arah. Di antara semak-semak belukar dan pepohonan yang berdiri bungkam, tidak ada penampakan apa pun. Aku berdecak sebal ketika mengingat ucapan Gala soal macan, bagaimana kalau aku sampai dimangsa dan tersisa tulang belulang? Aku bergidik, keinginan pulang muncul begitu mendesak.
Belum juga berbalik ke arah jalan pulang aku lebih dulu dikejutkan oleh kemunculan Kakek bercaping yang tiba-tiba muncul dari balik pohon yang jaraknya tak jauh dariku. Tentu saja aku terkejut sampai-sampai hampir terjengkang.