Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pelarian-Pelarian [Part 2]

4 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 4 Januari 2025   13:59 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah di tengah hutan yang berebut (pexels.com/@fidan-nazim-qizi)

"Pergi dari sini, cepat pergi!" perintahnya dingin, nadanya berat dan menekan.

Matanya yang cekung menatapku kosong, pasti ia adalah Kakek yang Mama ceritakan kemarin. Aku memberanikan diri merespon ucapnya. "K---enapa k---ami harus pergi, Kek?" tanyaku gemetaran.

"Sebelum terlambat!" 

Hanya itu yang keluar dari mulut tipis dan pucatnya, lalu ia pergi menerobos semak-semak tanpa kesusahan, seolah itu jalan yang sudah biasa ia lalui setiap harinya. Aku tidak sampai memikirkan kemana si Kakek pergi, kepalaku lebih dibingungkan oleh peringatannya. Siapa ia sebenarnya, orang baik atau jahat? Atau mungkin cenayang? Kenapa seakan-akan tahu akan ada sesuatu yang terjadi pada kami di sini? Aku semakin takut, saat sudah sampai rumah pun aku tidak berhenti memikirkannya.

Melihatku pulang-pulang dengan napas memburu dan bergestur ketakutan, Ayah dan Mama sampai beranjak dari duduknya lalu menghampiriku bersama an. Wajah mereka seragam penuh tanya dan penasaran.

"Kamu dari mana saja, Nak? Terus kamu kenapa ?" tanya Mama terdengar khawatir.

Sebelum berbicara, aku berusaha memperbaiki ritme napas supaya lebih tenang. "Aku ketemu Kakek yang Mama lihat kemarin. Dia menyuruh hal yang sama ke aku, Ma. Kita harus pergi sebelum terlambat."

Mama berjengit kaget, sementara Ayah tertegun bisu di wajahnya yang kerap berekspresi datar nampak samar-samar kekhawatiran.

"Bagaimana ini, Yah? Sebaiknya kita nggak mengabaikan ucapan orang itu!' rengek Mama panik.

Kupikir kali ini ia akan sepakat, tetapi malah menggeleng mantap. "Ma, Agni, kalian ingat 'kan apa yang dikatakan Tama? Setiap dia ke sini selalu aman-aman saja. Percaya saja sama dia, oke?!" Ia melihatku dan Mama bergantian, sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tak tergoyahkan.

Aku dan Mama kalah lagi, Ayah selalu menang dalam perdebatan. Kami selalu dipaksa mengabaikan hal-hal yang dianggapnya tidak cukup menarik perhatiannya. Aku merenungi semua yang sudah dialami di sini, dengan sikap Ayah yang seperti itu, apakah kami hanya cukup mengabaikannya begitu saja? Itu bukan solusi, jelas-jelas ini ganjil. Aku yakin betul ada yang tidak beres di sini. 

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun