Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pelarian-Pelarian [Part 1]

4 Januari 2025   12:15 Diperbarui: 4 Januari 2025   12:15 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah di tengah hutan yang berkabut (pexels.com/@fidan-nazim-qizi)

Tidak pernah terpikirkan olehku akan mengalami ujian hidup hingga ke titik serendah ini. Dua bulan terakhir keluargaku dibelit pelik, bisnis Ayah yang telah dirintis kurang lebih 11 tahun tanpa diduga mengalami masalah keuangan serius. Pada awalnya Ayah optimis bisnisnya masih bisa ditolong. Berpegang pada kepercayaannya, ia tak segan menggunakan seluruh tabungan, bahkan mengambil dana pinjaman untuk menambal masalah finansial perusahaannya. 

Sayang, segala usaha yang dilakukan gagal, perusahaan malah semakin collapse dan meninggalkan banyak utang. Rumah, tanah, kendaraan dan segenap harta benda habis dijual untuk menutupi beban utang. Namun, hasil semua penjualan itu ternyata masih belum cukup, hingga pada akhirnya kami harus melarikan diri.

Akhir dari pelarian kami setelah beberapa kali berpindah tempat adalah rumah panggung kayu tua minimalis di tempat terpencil. Beruntung masih ada teman Ayah yang peduli. Om Tama, teman sesama pebisnis, mempersilakan kami menempati salah satu rumahnya yang dianggap paling aman dari kejaran orang-orang. Katanya rumah ini tempat pelariannya di kala suntuk dan lelah karena pekerjaan. Saking baiknya, kami diantarkan secara khusus olehnya dan Gala, anak sulungnya, yang kebetulan temanku masa SMA.

"Gue nggak yakin deh, lo bisa betah di sini. Andai keadaan keluarga lo nggak sekacau itu, Papa gue pasti pinjamin rumah yang lebih nyaman, gede dan bagus dari ini," kata Gala sambil memasang wajah iba. Tapi kata-katanya terkesan mengejek serta nadanya terdengar angkuh.

Baca juga: Distopia

Aku bergeming sengaja menunggu langkah orangtuaku dan Om Tama menjauh. Di situasi seperti ini sebenarnya aku malu dan gengsi setengah mati dekat-dekat apalagi sampai harus berbicara padanya. Hatiku juga getir sebab harus menerima kenyataan kabarnya Gala berhasil diterima kuliah di universitas negeri unggulan. Sedangkan aku? Boro-boro melanjutkan kuliah, hidup saja tidak jelas seperti ini. Menjadi buronan. 

"Ini nggak terlalu buruk kok, semoga bisa betah."

Aku tidak sanggup menatap Gala. Dan memilih melempar pandang ke mobil Jeep Wrangler Rubicon miliknya ini yang keadaannya belepotan tanah. Sungguh perjalanan ke sini tidak mudah dan memakan waktu hingga empat jam dari kota. Sekarang aku benar-benar terasing bak hidup di peradaban purba tanpa listrik dan sinyal yang entah sampai kapan.

Gala berdeham. "O iya, sebetulnya gue baru tahu kalau Papa punya rumah di tempat seterpencil ini." Mata dan kepalanya tak bisa diam, celingukan melihat sekitar yang sepenuhnya hijau oleh pepohonan.

"Jadi ini pertama kalinya lo ke sini?" tanyaku agak kaget.

Baca juga: Sukacita yang Semu

Gala mengangguk, "Ya begitulah, toh biasanya gue dibawa ke tempat-tempat yang jauh lebih bagus dari ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun