Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sosok Cahaya dari Ujung Desa

12 November 2024   14:55 Diperbarui: 12 November 2024   15:04 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah seminggu terakhir suasana rumah panggung sederhana milik sepasang suami istri, Risti dan Abi terasa begitu muram. Keluarga kecil itu diselimuti kesedihan yang dalam. Pasalnya, Falah, anak semata wayangnya yang baru kelas tiga SD mogok sekolah. Segala bujuk rayu dilakukan agar anaknya kembali ke sekolah. Namun, usaha mereka selalu gagal.

"Bagaimana lagi ini, Pak? Masa iya anak kita harus putus sekolah," lirih Risti dari balik jendela yang sedang memperhatikan anaknya bermain dengan kucing peliharaannya di luar.

Abi terdiam karena sudah sangat bingung menghadapi anaknya yang tampak trauma itu. Pihak sekolah sama khawatirnya terhadap Falah, apalagi setelah tahu apa yang terjadi sebenarnya, mereka sigap mengatasi permasalahan yang menimpa salah satu anak didiknya itu. 

Sekolah sangat bertanggung jawab, karena penyebab Falah mogok belajar, justru akar masalahnya terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan, Pak Uttar, selaku kepala sekolah selalu memantau keadaan Falah.

Keesokan harinya selepas jam pelajaran selesai, Pak Uttar kembali berkunjung. Sebelum menemui Falah, ia terlebih dahulu berbincang bersama Risti dan Abi, membicarakan hal yang sangat penting.

"Nak, Falah, Bapak bawa kabar baik lho," sahut Pak Uttar. "Aza, sudah pindah dan Pak Wira, dipindahkan juga ke sekolah lain. Pokoknya bakal ada Bu Guru super baik yang menggantikannya. Jadi jangan takut ke sekolah lagi, ya. Kita belajar lagi, oke?!" lanjutnya riang agar Falah tidak sedih lagi.

Respon Falah sedikit lebih hangat meski tanpa ada kata yang terucap. Kabar yang dibawa Pak Uttar berhasil mencairkan suasana hati anak itu sehingga ekspresinya terlihat lebih tenang. Ketakutan Falah selama mogok sekolah adalah Aza, murid kelas enam yang baru-baru ini diketahui sering merundungnya. Namun, Falah selalu memendam ketakutan dan sakit hatinya sendirian. 

Puncaknya di suatu siang sepulang sekolah, ia bilang pada ibunya tidak mau sekolah lagi. Orangtuanya selalu bertanya apa alasannya, tapi Falah bungkam dan ketika dibujuk agar kembali ke sekolah ia menangis. Tapi, setelah tiga hari mogok akhirnya ia berterus terang. Tentu saja pengakuannya mengagetkan dan mengiris hati orangtuanya.

Aza sering mengancam Falah agar tidak membocorkan prilakunya ke orang lain. Ia menjadikan Pak Wira sebagai tameng agar Falah ketakutan. Pak Wira adalah kakak Aza yang merupakan guru, sekaligus wali kelas Falah. 

Namun, Pak Wira sendiri tidak tahu menahu kalau adiknya sering berbuat buruk pada Falah. Karena kasus itu, Aza dipindahkan dan Pak Wira meminta dipindah tugaskan karena merasa malu oleh perilaku sangat tidak terpuji adiknya. 

***

Dua hari berlalu, Falah masih enggan bersekolah sepertinya masih ada sisa-sisa ketakutan yang membayanginya. Bu Melati, selaku guru pengganti Pak Wira, sepulang mengajar di hari pertamanya, langsung mengunjungi kediaman Risti dan Abi sembari ditemani Pak Uttar. Perempuan berusia 28 tahun itu, turut prihatin atas apa yang dialami Falah.

Ia bertekad akan membantu memulihkan mental Falah bagaimanapun caranya. Masa depan Falah masih panjang sangat disayangkan kalau ia sampai tak mau bersekolah lagi. Dirundung di usia sedini itu memang sangat menyakitkan dan akan terekam dalam memori bahkan sampai dewasa.

Alih-alih dipaksa, Bu Melati akan melakukan pendekatan terlebih dahulu. Ketika Falah sudah mengenal baik dan merasa nyaman dengan keberadaannya, mudah bagi Melati mengajak kembali bersekolah.

Hari berikutnya, Bu Melati kembali menemui Falah. Namun, kali ini ia ditemani teman-teman Falah yang sudah sangat kangen pada temannya itu. Pada awalnya Falah terkejut bahkan sempat menghindar. Tapi, berkat kepiawaian Bu Melati dalam mencairkan suasana dan keceriaan murid-muridnya, Falah pun lambat laun bisa sedikit lebih santai.

Sebelum pamit pulang, Bu Melati sengaja mengajak Risti dan Abi bicara. "Gini lho, Bu, Pak. Kan saya tidak bisa setiap hari mampir ke sini. Saya juga punya pekerjaan di tempat tinggal baru saya yang ada di ujung desa. Jadi niat saya ini mau memberi tawaran sama Bapak. Apa betul Pak Abi suka membuat perabotan dari kayu dan bisa memperbaiki rumah?"

"Oh iya, Bu, itu memang pekerjaan saya sehari-hari."

"Nah, kalau begitu saya butuh jasa Bapak. Saya ingin dibuatkan rak untuk buku-buku yang dibawa dari kota. Saya mau buat taman baca bagi anak-anak desa. Kebetulan juga kontrakan saya butuh sedikit perbaikan. Bapak bekerja setelah saya pulang mengajar saja dan saya minta tolong, tiap bapak berkerja bawalah Falah."

Saat itu juga permintaan Bu Melati langsung disepakati. 

***

Hari pertama bekerja di kontrakan Bu Melati, Abi dan Falah sudah mendapati teras depan rumah itu ramai oleh anak-anak yang mengerubungi banyak buku. Pada awalnya, Falah enggan bergabung meskipun sudah diajak berkali-kali oleh Bu Melati dan anak-anak lain. 

"Ayo, Nak, ke sini," ajak Melati lembut sambil menghampiri anak itu.

"Iya, Falah. Gabung sama kita yuk!" timpal salah satu anak yang membuntuti Bu Melati.

Namun, Falah menolak dan hanya memperhatikan dari kejauhan dengan raut penuh minat. Di sela-sela waktu, Melati sering menghampiri Falah yang diam di dekat bapaknya yang sedang bekerja. Ia membawakan banyak buku dan cemilan untuk Falah.

"Coba deh, Nak, buka dan baca buku-bukunya dan makan juga cemilannya, biar nungguin bapaknya nggak bosan."

"Memangnya, boleh, Bu?" tanya Falah pelan, ia masih malu-malu.

Bu Melati tersenyum dan mengangguk, "Boleh dong, dibawa ke rumah pun boleh asal dibaca."

Falah tersenyum senang, keramahan dan kebaikan Bu Melati sepertinya bakal berhasil mengambil hatinya. Di luar jam mengajar, ia rela menghabiskan banyak waktu mendampingi anak-anak membaca dan belajar sambil bermain di teras depan kontrakannya. Termasuk mendampingi Falah yang di tiga hari pertama masih tetap memisahkan diri dari anak-anak lain. 

Secara perlahan di hari keempat, kelima hingga keenam, akhirnya Falah mulai berbaur bersama yang lainnya di taman baca milik Bu Melati. Ia tidak kaku lagi dan menghindar, sudah terlihat jauh akrab dalam berteman. Wajahnya kembali berseri, senyumannya lebar dan tawanya sangat lepas. 

Momen itulah yang ditunggu-tunggu Melati, ia pun bernapas lega melihat kondisi mental Falah yang semakin membaik. Di suatu kesempatan, Bu Melati mengajak Falah berbicara saat kegiatan membaca sudah hampir selesai.

"Oh iya, Falah. Besok mau ikutan kan makan bersama bareng-bareng teman-teman?"

"Iya dong Bu. Di sini, kan?" tanya Falah tampak antusias.

Melati menggeleng, "Bukan, tapi di sekolah. Bu Melati bakal masakin kalian makanan enak dan dimakan saat pelajaran selesai. Janji, ikutan, ya?"

Sejenak Falah terdiam, Bu Melati was-was takut kalau anak itu tiba-tiba menolak. Tapi, beberapa saat kemudian ia memberi anggukan dan tersenyum lebar. "Baik, Bu. Besok Falah bakal ke sekolah dan belajar lagi."

"Hore! Falah sekolah lagi, yeay!" teriak teman-temannya. Mereka menghampiri Falah lalu menyalaminya sangat heboh.

Bapaknya yang bekerja tak jauh dari keberadaan anak-anak, ikut terharu dan diam-diam menangis. Rasanya ia ingin cepat pulang memberitahukan istrinya di rumah.

Sambil menahan air mata, Bu Melati mengelus kepala anak itu penuh syukur. "Besok pagi, Ibu bakal jemput kamu, ya."

"Iya, Bu. Makasih banyak sudah baik banget sama Falah, ya, Bu," ucap Falah tulus yang membuat air mata gurunya deras berjatuhan.

Merasa terharu melihat gurunya menangis karena bahagia, anak-anak lantas memeluk Bu Melati ramai-ramai. "Makasih banyak Bu Melati." Ucapan terima kasih silih berganti terlontar dari mulut mereka.

***

Hari kembalinya Falah ke sekolah disambut baik dan penuh sukacita oleh pihak sekolah dan teman-temannya. Bahkan orangtua Falah sampai menangis-nangis saking berterima kasihnya pada Melati yang sudah sangat sabar mengembalikan anaknya seperti dulu lagi. 

Melati tidak jumawa, ia tidak merasa jadi yang paling berjasa. Menurutnya peran anak-anak di taman bacanya pun sangat besar, karena keberadaan merekalah, Falah bisa pulih lebih cepat. Oleh karena itu, ia rela memasak banyak makanan untuk anak-anak sebagai bentuk rasa terima kasih.

Pada orangtua Falah, Bu Melati berjanji akan mendampingi anaknya belajar mata pelajaran yang tertinggal selama lebih dari dua minggu. Ia juga siap membantu setiap orang tua murid kalau anak-anaknya kesusahan belajar di luar jam pelajaran. Pintu rumahnya selalu terbuka lebar selama itu untuk kepentingan pendidikan.

Kehadiran Bu Melati bukan hanya membawa perubahan untuk Falah saja tapi untuk sekolah dan anak-anak lain. Keberadaannya memberi secercah harapan baik, salah satunya menghidupkan literasi anak-anak yang sebelumnya akses terhadap buku pun sangat terbatas.

Terlebih sikap tulusnya terhadap anak didiknya membuat ia dicintai banyak orang. Saking terkesannya dengan pengorbanan dan kebaikan guru muda itu, Pak Uttar dan orang-orang sampai menjulukinya sebagai sosok cahaya dari ujung desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun