Aku mengerutkan alis, kalimat terakhir Dianti menarik perhatianku. "Penyesalan apa?" tanyaku.
Dianti yang mulanya ikut menatap jendela loteng otomatis menatapku dan balik bertanya, "Maksud, Mbak?" Tampaknya dia setengah tak sadar ketika menjawab pertanyaanku, khususnya bagian yang terakhir. Asal ceplos saja padahal aku yakin dirinya berusaha menjaga ucapannya. Lalu kuulangi ucapan mana yang aku tanyakan.
Dia menelan ludah, mimiknya masam seakan menyesal karena sudah tanpa sadar mengucapkan kalimat terlarang. Dia menatapku ragu-ragu. "Oh soal itu," tuturnya sembari senyum-senyum tak jelas.
"Aku sudah menjadi bagian dari keluarganya. Aku berhak tahu," desakku.
Beberapa saat Dianti diam tak merespon, air mukanya memperlihatkan pergelutan antara gelisah, takut dan tak enak. Setelah menunggu agak alot, wajah perempuan yang diyakini lebih tua beberapa tahun dariku itu menjernih lalu menatapku penuh keyakinan. Tentu saja sorot matanya membuatku antusias sekaligus lega.
Sebelum berbicara dia mencalang keadaan sekitar memastikan tidak ada orang lain di sekitaran klinik juga yang paling penting belum ada tanda-tanda Tante Amara pulang. Dia berdeham, menatapku lurus-lurus. "Sebenarnya yang tahu semuanya adalah ibuku. Namun, ibuku meninggal seminggu yang lalu karena penyebab yang tak begitu jelas. Jauh Ibuku sebelum berpulang, dia sudah membicarakannya padaku. Omong-omong, ibuku adalah orang kepercayaan Bu Amara. Dia sudah bekerja bahkan dari sebelum Rie lahir, dan sudah tiga hari ini aku bekerja untuk menggantikannya. Kupikir memang sudah saatnya pihak keluarga tahu. Aku pribadi sangat kasihan pada Bu Amara dan kuharap setelah aku memaparkan semuanya, Mbak Theia dan keluarga bisa merangkulnya lebih dekat lagi."
Sebelum kisah itu dimulai kusempatkan memberi ucapan dukacita untuk Dianti yang baru saja kehilangan ibunya. Dan setelah itu barulah dia bercerita, bahwa keluarga Tante Amara mulanya baik-baik saja. Kehadiran anak di antara mereka setelah dua setengah tahun menikah membuat keluarga kecilnya sangat harmonis. Anak mereka, Rie, lahir prematur tumbuh menjadi anak yang hiperaktif juga mengalami kesulitan berbicara. Rie didiagnosa menderita gangguan ADHD kepanjangan dari attention deficit hyperactivity disorder, sejenis gangguan mental yang memengaruhi perilaku anak. Selain hiperaktif, anak dengan ADHD juga memiliki perilaku impulsif. ADHD belum bisa disembuhkan secara total, meskipun demikian Tante Amara dan Paman Hisao bahu membahu merawat Rie sebaik mungkin dengan melakukan terapi dan pengobatan.
Dan percikan api dalam bahtera rumah tangga mereka muncul saat ayah Paman Hisao meninggal di kampung halamannya, Jepang. Ibunya yang sedari awal menentang pernikahan anak semata wayangnya dengan Tante Amara menyuruh Pama Hisao pulang untuk meneruskan usaha keluarga. Latar keluarga Paman Hisao adalah farmasi mereka bergelut dalam bidang obat-obatan, Paman dan ayahnya sama-sama seorang apoteker. Saat itulah Paman Hisao mengalami pergolakan batin hebat, awalnya dia bersedia kembali ke Jepang asal dengan istri dan anaknya. Tetapi tanteku menolak, dia bidan yang berdedikasi tinggi, tentu saja tidak ingin meninggalkan profesinya yang dianggapnya sangat mulia. Setelah keributan besar di antara mereka, Paman Hisao memutuskan kembali ke Jepang sendirian. Tante Amara di rumah menjadi sangat keteteran, merawat Rie yang hiperaktif seorang diri dengan sedikit bantuan dari ibunya Dianti yang sudah lanjut usia. Dia sempat mempekerjakan pengasuh tetapi malah berakhir tak mengenakan dimana anaknya diperlakukan kasar. Kesulitan Rie dalam berbicara dan hiperaktivitas yang membuatnya sulit diatur membuat si pengasuh merasa jengkel. Setelah kejadian itu, Tante Amara sangat trauma dan tidak pernah memperkerjakan orang lain lagi. Tante memutuskan membiarkan Rie berkeliaran di klinik selama dia bekerja dan terpaksa tidak lagi menerima panggilan pasien di luar klinik karena putrinya tidak ada yang menjaga. Sebelumnya ketika Paman Hisao ada bersama mereka, dialah yang banyak mengorbankan waktunya untuk mengasuh Rie. Di samping klinik terdapat apotek dan Paman Hisao-lah yang mengelolanya.
Selama mengasuh Rie sendirian, lelah tenaga dianggap tak seberapa karena memang itu tugas seorang ibu. Tetapi kelelahan psikis yang luar biasa mengguncang Tante Amara, ibunya Dianti sering memergoki Tante menangis ketika ditanya kenapa dia menangis, jawabannya karena dia merasa gagal menjadi orang tua.
"Gagal?" tanyaku tidak paham.
Dianti mengangguk pelan mimiknya berubah muram. "Bayangkan saja Mbak, bagaimana perasaan Bu Amara ketika mendapat omongan tak mengenakan dan tatapan aneh dari orang-orang karena keadaan Rie. Orang-orang yang kebanyakan pasien Bu Amara sendiri banyak mempertanyakan, kenapa bisa? Padahal orangtuanya sama-sama berkecimpung di dunia kesehatan, tetapi anaknya tidak kunjung bisa berbicara dan berprilaku berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Sungguh semua itu sangat melukai Pak Hisao dan Bu Amara, hanya saja ketika mereka masih bersama, keduanya selalu saling menguatkan sehingga bisa meredam guncangan mentalnya masing-masing. Dan keadaannya jauh berbeda ketika hanya Bu Amara yang merawat Rie sendirian, dia limpung tak ada tumpuan lagi ketika dirinya rapuh. Ketahanan mentalnya runtuh berakibat pada mood-nya yang sering berubah dan sangat sensitif," paparnya.