Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Loteng Tante Amara

3 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:59 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu kami tidak banyak mengobrol, walaupun penampilanku lebih dari cukup menunjukkan bahwa aku dalam kondisi ketakutan, nyatanya Tante Amara tak sampai menaruh simpati apalagi empati. Sehari bersamanya, kutemukan perbedaan sikapnya antara saat menjalani profesinya dengan menjadi dirinya sendiri saat di rumah.

***

Keesokan harinya aku bangun kesiangan, sekitar pukul delapan. Sepertinya aku baru bisa terlelap ketika menjelang subuh karena beberapa jam sebelumnya, guncangan akibat serentetan kejadian menakutkan itu belum mereda. Setelah mandi dan hendak sarapan, aku menemukan note di meja makan yang berbunyi, "Tante pergi ke rumah pasien. Sarapan seadanya saja." Pagi itu aku hanya memakan tempe goreng sisa sore sebelumnya. 

Aku berniat menghabiskan waktu di luar kejadian semalam membuatkan takut jika harus lama-lama berada di dalam. Terlebih listrik belum menyala, aku sangat bosan dibuatnya. Bosan dan putus asa menuggu sinyal, sangat cemas karena sejak kemarin tak bisa menghubungi Farhan, dia juga sampai tak pulang. Tahu begini aku tidak mau ikut dengannya, aku sangat-sangat menyesal dan ingin pulang. Suamiku bekerja sebagai konsultan proyek, minggu lalu dia meminta izin bekerja ke luar kota selama beberapa hari untuk mengawasi sebuah proyek pembangunan. Aku meminta ikut dengannya, karena kebetulan tempat yang ditujunya sebuah desa yang bertetangga dengan desa tempat tinggal salah satu kakak ibunya yaitu Tante Amara. Tante Amara sendiri berprofesi sebagai bidan, dia memiliki klinik dan juga bersedia dipanggil ke rumah-rumah.

Selama kelayapan di luar aku mendapat kabar penyebab listrik mati dikarenakan hujan besar semalam yang menyebabkan tebing-tebing longsor menggusur tiang-tiang listrik juga memblokade jalan. Sedikit lega mendengar kabar tersebut, pantas saja Farhan tidak bisa pulang karena akses jalan tertutup longsoran. Namun, kecemasan itu tak hilang begitu saja selama aku belum mengetahui kabar suamiku. 

Beberapa saat kemudian, aku tertarik mengikuti langkah Kuroi menuju klinik Tante Amara yang jaraknya sekitar dua belas meter dari rumah. Kucing hitam gembul bernama unik nan aneh, seaneh tingkah polah majikannya. Aku bertanya pada Dianti, si tukang beberes klinik, kenapa kucing itu bisa diberi nama Kuroi. Ia menjawab sambil tersenyum ramah, "Aku pernah mendengar dari ibuku, kucing ini diberi nama oleh Pak Hisao yang saat itu masih menjadi suami Bu Amara. Kuroi adalah bahasa Jepang yang berarti hitam dalam bahasa Indonesia."

Satu dari beberapa hal yang membuatku penasaran sudah terjawab. Kucing gendut yang ada di pangkuanku diberi nama sesuai tampilannya, hitam. Kuroi terlihat seram dan misterius tetapi karakteristiknya sangat menyenangkan. Buktinya, meskipun aku orang baru tetapi dia nyaman ada di dekatku. Sebenarnya, aku belum banyak mengetahui tentang Tante Amara dan keluarganya, pernikahanku dengan Farhan baru seumur jagung, menginjak empat bulan, pun perkenalan kami terbilang cukup singkat kurang dari setahun. Sedikit hal yang aku tahu mengenai kehidupan Tante Amara. Dia resmi menjanda dari lima bulan yang lalu tepat sebulan setelah Rie wafat. Entah, badai sepelik apa yang menerpa keluarga kecilnya sehingga berakhir menyedihkan seperti ini. Satu hal lain yang tidak aku lupa juga bahwa Tante Amara satu-satunya anggota keluarga suamiku yang memutuskan memisahkan dan mengasingkan diri dari lingkungan sosial keluarga besarnya di kota. Konon yang membuatnya memilih jalan demikian, selain insecurity akan nasibnya, juga untuk menghindari tekanan-tekanan dari orang-orang sekitar dikarenakan dirinya tak kunjung menikah. Tante Amara adalah anak ketiga dari empat bersaudara, saudara pertama dan kedua adalah laki-laki dan si bungsu yang tak lain adalah ibu dari suamiku. Dulu Tante Amara dilangkahi menikah ibu mertuaku, dia lama hidup sendiri sebelumnya akhirnya menikah dengan pria Jepang.

Satu hal lain yang belum kudapatkan jawaban dari rasa penasaranku adalah loteng. Aku terus menatap dari beranda klinik, jendela tertutup rapat gorden putih, tepat di bawahnya sepetak taman yang ranum oleh peony cantik bermekaran. Benakku melayang teringat malam hari ketika Tante Amara membawa empat tangkai peony ke rumah.

"Mbak, nggak bosan ya memandangi loteng terus?" tanya Dianti yang baru kembali ke beranda setelah menyelesaikan pekerjaan di dalam klinik. Rupanya dia memperhatikanku ditengah-tengah aktivitasnya.

Aku tersenyum dan bertanya, "Apa jendelanya selalu tertutup?"

Dianti duduk, kami ngemper di teras. "Setahuku sejak Rie meninggal, jendela itu tidak pernah dibuka lagi. Dengan membukanya rasa penyesalan Bu Amara akan muncul kembali dan semakin memperdalam lukanya, jadi dia memilih untuk menutupnya saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun