Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Irma dan Tabir Kepalsuan

20 Desember 2023   13:48 Diperbarui: 21 Januari 2024   12:37 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah topeng (sumber gambar /unsplash.com/@theonlynoonan)

Ketika langit sudah redup di mana matahari telah lengser meninggalkan jejak oranye di horizon sebelah barat, saat itu pula tenaga Irma sudah di titik terendahnya. Siklus hariannya selalu seperti itu, pagi segar bugar dan menjelang malam tubuhnya layu kehabisan energi terkuras seharian. Bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di kota yang jauh dari desa asal, membuat Irma mampu membiasakan diri dengan toyoran lelah yang sama setiap waktunya.

Kurang dari lima belas menit lagi adzan magrib bersipongang, tetapi panggilan ibadah selalu tak membuat jalanan atau toko-toko, warung kaki lima atau tukang bandros langganan Irma kehilangan ramainya. Lihatlah,  jalanan malah semakin sibuk, lalu lalang kendaraan tak membuat Irma yang baru beberapa langkah sejak turun dari angkot, merasa bergairah. Apa artinya malam minggu untuknya? Tidak spesial. Setiap malam adalah sama, masa menyepi dari riuhnya hari yang menjemukan dan melelahkan.

Sebelum benar-benar hilang masuk gang menuju kontrakan, Irma kembali menarik tubuhnya ke belakang, ekor matanya terlebih dahulu menangkap seorang pria dari arah kanan yang tengah tertegun lesu duduk tanpa alas di depan toko reparasi elektronik, di samping lapak Kang Iwan, tukang bandros favoritnya. Irma jadi enggan meneruskan jalan, ada sesuatu yang menggumpal di dada membuat macet sendi-sendi kakinya. Tak tega, demikian Irma rasakan. Seminggu yang lalu di hari yang sama, Sabtu, ia juga melihat tukang cobek malang itu. Apakah cobek-cebeknya tak ada yang laku sama sekali? Dagangan yang dipikulnya itu tetap utuh seperti kali pertama melihatnya. Atau itu barang baru karena yang sebelumnya sudah habis? Ah, entahlah ia merasa tak yakin apalagi dengan tebakan yang terakhir.

Sisi sentimental Irma kian terusik, kali ini hatinya terasa nyeri. Ia merasakan sendiri bagaimana susah dan lelahnya mencari uang, hanya saja nasib yang membedakan. Apalagi si pria itu pasti memiliki tanggungan berupa nafkah untuk keluarga. Irma sangat menyesal, karena Sabtu itu ia mengurungkan niat membeli satu cobek darinya karena khawatir uang pegangannya takkan cukup sampai akhir bulan.

Meskipun gajian masih menyisakan empat hari lagi, kali ini Irma tak banyak berpikir dan langsung bergegas menuju si tukang cobek. Soal bekal uang yang takkan cukup, biar jadi urusan belakangan, pikirnya. Harum kelapa terhirup begitu gurih dari gerobak bandros yang dilewatinya dan itu agak membuat Irma terlena. Sayangnya, ketika akhir bulan tiba sekadar jajan bandros pun akan urung dilakukannya demi menghemat dan akhirnya ia hanya bisa menikmati aromanya dengan selewat saja.

"Punteun, Pak." Irma menyapa dengan suara agak meninggi agar mengimbangi gemuruh kendaraan.

Baca juga: Malam Muram

Si penjual cobek cepat merespon dengan gestur ramah. Bola mata legamnya otomatis berbinar memunculkan cercah cahaya di wajah kuyunya. Tubuh kurus, mata kelewat cekung dan agak pucat. Irma menelan ludah, sontak ia ingat pada bapaknya sendiri yang mungkin seumuran dengan penjual cobek ini. Dadanya bagai disengat listrik membuyarkan benteng empati yang luruh seluruhnya.

"Iya, Neng?"

"Saya mau beli cobeknya satu. Yang paling besar berapa, Pak?"

Bibir keringnya yang barangkali belum tersentuh makanan dan minum itu melengkung sempurna. Ia menjawab dengan suara jernih, "Alhamdulilah ada yang beli juga. Dua puluh lima ribu saja."

Irma terdiam sejenak menatapnya iba, perasaannya memelas mendorong sesak di dada menjadi genangan tipis di mata sayunya. Ketika cobek yang dibelinya sudah dibebaskan dari beban cobek-cebek lebih kecil di atasnya ia segera meraih dompet kempesnya dari tote bag yang dikempit tangan dan menyodorkan uang sebesar tiga puluh ribu. Si penjual menggaruk tengkuk, bingung bagaimana kembaliannya, Irma pun sebenarnya tidak ada uang pecahan lima ribu. 

"Nggak apa-apa, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja," kata Irma pada akhirnya.

Si penjual awalnya berkeras menolak dan hendak menukarkan uang sepuluh ribu ke Kang Iwan agar jadi dua, lima ribuan. Tapi Irma melarang, bersikukuh memberikan uang kembalian karena memang ikhlas.

Irma yang tadinya merunduk lesu, otot-otot tangannya terpaksa mengencang kembali memboyong beban cobek yang beratnya lumayan. 

"Lho, buat apa beli cobek sebesar itu, Irma?" tanya Kang Iwan, tangannya yang sedang mencongkel bandros matang dari citakan terhenti sejenak.

"Buat bikin seblak Rafael," kekeh Irma.

Gadis dua puluh tahun itu pun menghilang ditelan remang-remang jalan gang. Irma mendengus, ia begitu muak dengan bau pesing yang selalu menguar di sekitar sana. "Kelakuan manusia-manusia primitif, buang air sembarangan," rutuk Irma di keheningan gang sepanjang sepuluh meter dan lebar tak lebih dari satu meter itu.

Beberapa langkah sebelum sampai di ujung gang, seorang gadis modis yang hendak pergi malam mingguan muncul dari arah berlawanan. Netra beningnya melirik singkat cobek jumbo yang dibawa Irma, tatapannya datar. Lalu mereka berpapasan, berlalu begitu saja, saling menyapa hanya dengan senyuman tipis, setipis interaksi keduanya meskipun bertetangga. Embusan yang ditinggalkan tubuh semampai tetangganya membaurkan harum jasmine tea yang amat manis hingga mampu menindih bau pesing yang memualkan. 

Leona, si tetangga, yang berpenampilan menarik dan mempesona, burung beo pak RT pun sampai terpincut, centil, sering membeo menggodanya bila mendapati Leona pulang. Ia berpendidikan dan cantik, sulit rasanya menemukan walaupun hanya setitik kekurangan darinya. Hal itu pula yang membuat para penghuni pintu kontrakan, merasa heran ada seorang mahasiswi kedokteran semenarik itu mengontrak di pemukiman sempit seperti ini. Entah demi menghemat atau apa, tetapi semua tahu Leona berasal dari keluarga berada. 

Irma masih ingat betul dengan perkataan ibu kontrakan yang mencoba mematahkan keheranan mereka, "Mau tinggal di mana saja orang kaya kan bebas!" Demikian katanya di hari pertama Leona mengontrak, dua bulan yang lalu. Irma yang saat itu hanya diam, dalam hatinya ikut membenarkan. 

***

Rintihan perempuan yang seolah datang dari kegelapan nan jauh lagi-lagi membuat Irma langsung terjaga. Ia otomatis menatap langit-langit triplek yang cemong oleh bekas rembesan hujan yang bocor membentuk semacam gambar awan. Semuanya terlihat begitu jelas, karena lampu pijar lima watt di atasnya tidak dimatikan. Kepalanya berdenyut mendadak pusing, Irma tak begitu mengingat sejak kapan tepatnya, barangkali dari sebulan yang lalu atau lebih lama dari itu, kerap terbangun oleh rintihan misterius. Ia mengernyit bingung, suara-suara itu bagai mimpi tapi terdengar sangat nyata. Apa ini semacam gangguan tidur, karena terlalu lelah bekerja di siang hari? Lebih dari sebulan ini ia selalu lembur untuk menambah-nambah penghasilan demi menyokong kebutuhan di perantauan dan keluarga di kampung. Nyaris setiap lewat tengah malam ia selalu mendengar keanehan itu, lama-lama ia pun dibuat merinding. 

Tiap kali terbangun selalu antara pukul 01.00-02.00 yang di mana orang-orang tengah di fase pulas-pulasnya. Ia sering beranjak dari kasur tipis tanpa dipan di kamar sempitnya hanya untuk mengintip jendela di dekat pintu masuk, tetapi suasana sekitar selalu sama, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dan semuanya berlalu begitu saja. Karena barangkali itu memang gangguan tidur, ia pun memilih tak begitu memusingkannya karena khawatir bisa membuatnya merasa tak betah. Bahkan jika siang hari tiba, ingatan tentang itu seakan tidak berjejak karena teralihkan oleh pekerjaan. 

Setelah selesai bekerja lalu pulang dan beristirahat, esoknya bekerja lagi, pulang dan seterusnya seperti itu. Ia sampai berpikir jika seandainya terjadi sesuatu di lingkungan tempat tinggalnya, barangkali ia akan jadi orang terakhir yang menyadarinya, sebab sempitnya waktu walaupun sekadar untuk bersosialisasi. Hidupnya seolah diprogram antara tombol on dan off, putih dan hitam nyaris tanpa warna lain yang normalnya anak muda rasakan. Irma harus banting tulang yang mana ia adalah anak sulung di keluarganya. Irma tak banyak mengeluh soal tanggung jawab, ia sadar dengan keadaan dan ini jalan satu-satunya untuk berbakti pada orangtua. Namun, terkadang ia juga ingin seperti gadis-gadis seumurannya, kuliah, bergaul, punya banyak relasi dan pengalaman. Tak jauh-jauh pelarian nasib yang diidam-idamkannya adalah Leona. Ia sangat cantik, kaya dan berpendidikan. Barangkali jika dirinya terlahir dengan keadaan finansial lebih beruntung, di umurnya sekarang pastilah tengah sibuk mengenyam pendidikan di bangku universitas, mengejar impiannya menjadi seorang guru.

Pernah suatu hari keinginan menjadi seperti Leona sekonyong-konyong menggebu-gebu saat mendapati Leona dijemput oleh kekasih Chinese-nya naik ke mobil mewah. Di dekat pangkalan ojek yang tak begitu jauh dari mulut gang, Irma membatin jangankan mempunyai pacar, kenal dekat dengan lelaki pun tidak, rekan kerja di pabrik rata-rata ibu rumah tangga. Ia juga merasa insecure, apa ada lelaki di luar sana yang mau dengannya? Pertanyaan itu selalu muncul  ketika melihat sejoli di mana pun itu.

Namun, karena hidup di perkotaan tidak hanya tentang si kaya atau si cantik, alih-alih selalu merasa iri dan tak puas diri, ia juga sering tertampar ketika melihat orang dengan nasib yang tidak seberuntung dirinya. Irma bisa menangis dalam diam dan memberi sedikit uang jika kebetulan melihat anak-anak pemulung yang tak bersekolah atau pedagang kecil, seperti tukang cobek yang kembali ia lihat lagi.

"Kang Iwan, tukang cobek yang waktu aku beli, ternyata masih jualan di sini, ya?" kata Irma saat menunggu bandros pesanannya matang.

"Oh yang waktu itu? Iya, sepertinya emang berjualan di sekitar sini saja. Dia orang baru, mungkin sekitar dua mingguan keliling di sekitar sini. Tuh! Saya juga beli satu." Iwan menoleh, menuding cobek batu ukuran sedang di salah satu sudut di belakang gerobak. "Saya kasihan, jadi beli deh," katanya sembari membuka tutup citakan dengan bandros mekar di dalamnya.

Irma sendiri belum menggunakan cobek jumbonya, seblak Rafael yang tengah viral itu hanya jawaban asal-asalan agar si penjual cobek tidak tersinggung kalau sebenarnya ia membeli atas rasa kasihan. "Kalau nanti aku pindah dari sini saat kontrak kerja sudah habis. Cobek ini bakal kukasih tetangga sajalah," gumamnya setelah ia sampai kontrakan dan tak sengaja melihat cobek itu di antara gelas dan piring yang belum sempat dicuci. 

****

Tak biasanya kepala Irma terasa berat dan sakit, seolah ada benda berbobot besar menampol kepalanya keras-keras. Sore ini seharusnya lembur tetapi ternyata ia tak bisa memaksakan diri. Sepanjang perjalanan pulang selain merasakan sakit, kepalanya juga berpikir keras prihal uang gajiannya yang baru beberapa hari saja sudah habis. Bayar kontrakan, kasbon, dikirim ke kampung, buat bekal dan sedikit ditabung. Namun, tabungannya yang tak seberapa itu selalu tak bertahan lama karena tak jarang keluarganya masih membutuhkan uang sebelum ia kembali gajian. Beban pikirannya kian membuat kepalanya sakit dan runyam. Ia berjalan agak gontai ingin cepat-cepat sampai agar bisa istirahat. 

Namun, langkahnya yang baru sejengkal masuk gang harus terhenti, "Kenapa banyak orang di sini?" katanya heran. Beberapa meter di depannya orang-orang memadati sepanjang jalan selebar satu meter itu. Mereka berbisik-bisik menghalangi siapa pun yang ingin lewat. Kepala Irma seakan kehilangan sakitnya dan mulai direcoki rasa penasaran. Apa yang terjadi? Kenapa banyak orang? Apakah ada orang yang meninggal? Siapa? Dadanya mendadak riuh, bergejolak. Khawatir hal buruk terjadi di sekitar tempatnya tinggal. Sebelum sempat bertanya pada seseorang, orang yang memadati jalanan gang berbalik arah dan sebuah suara lantang menyuruh semua orang minggir dan mundur. Irma seolah terhipnotis, diam. Sampai akhirnya terpaksa mundur ketika ada orang yang menabraknya. Orang-orang tadi bubar dari gang, warga di sekitar sana kian banyak. Irma tertegun ketika iring-iringan manusia yang diberinya jalan melewatinya di antara kerumunan orang. Irma melongo otomatis menelan ludah. "Leona?" lirihnya. Gadis yang selalu membuatnya iri itu kenapa diborgol dan digiring sekelompok pria berbadan tegap menuju mobil hitam? Leona tertunduk dengan wajah bermasker. Pesonanya seakan hilang entah kemana, dosa apa yang dibuatnya sampai diperlakukan seperti kriminal? Pertanyaan-pertanyaan itu menguap seketika di kala pemilik kontrakan memberitahunya.

"Kita kecolongan, Irma!"

"Lho, kecolongan? Apa yang dicuri, Bu?" tanya Irma polos dan merasa tak mengerti masa iya Leona mencuri.

"Leona membuka praktek aborsi ilegal di kontrakan saya! Ya Allah, itu maksud saya kecolongan, Irma. Yang saya tangkap informasi dari para polisi tadi, si Leona membuka praktek di jam lewat tengah malam."

Lagi-lagi Irma dibuat melongo dan tertegun, ia nyaris tak percaya. Yang benar saja? Padahal Leona tak pernah memperlihatkan gelagat mencurigakan. Selain cantik, ia juga terlihat seperti gadis baik-baik. Keheranan yang dulu sempat mencuat terjawab sudah, alasan itulah yang membuat Leona mengontrak di sini. Ia pun mendadak mengingat sesuatu, rintihan perempuan misterius yang kerap didengarnya. Apa itu ada hubungannya dengan kasus Leona? Astaga, Irma mendadak lemas dan yakin itu bukanlah gangguan tidur, bukan pula mimpi. 

"Tahu tidak? Tanpa orang sini sadari ternyata ada seorang intel mengintai keseharian Leona di sini, dari sekitar dua minggu ke belakang."

"Intel?"

Ibu kontrakan mengangguk, wajahnya masam sekali. Keterkejutan Irma berbaur dengan rasa kasihan pada si ibu karena satu pintu kontraknya dibatasi oleh garis polisi. Sakit kepalanya mendadak muncul lagi, ia sangat-sangat tak habis pikir dengan tabir kepalsuan ini. Tapi ada satu lagi teka-teki yang belum terpecahkan. Siapa intel kepolisian itu? Beberapa hari setelah penggerebekan kontrakan yang ditempati Leona, Irma menyadari keberadaan si tukang cobek yang sering dilihatnya secara misterius tak terlihat lagi. "Apa dia intelnya?" gumamnya sembari memandangi cobek. Dia merenung, ternyata ada orang berwajah malaikat tapi menyembunyikan perilaku bejat, ada pula wajah-wajah susah dan memelas tapi barangkali itu hanya akting belaka.

Irma menghela napas berat. Tangannya memijat kepala yang makin sering terasa sakit. Ia menyeletuk, "Emang boleh ya hidup sebercanda ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun