Aku berseru menanyakan siapa otak pembunuhan itu. Antara penasaran dan takut, takut jika dalang dari semuanya ternyata orang dekat keluargaku.
"Keluarga Ki Ozi sendiri."
Tubuhku mengendur ketegangan yang sempat mencengkram perlahan melemah berganti helaan napas dan perasaan lega. Aku tertunduk, berdosa sekali karena sempat mencurigai Pak Jainal dan Bapak. Semoga Bapak tak pernah peka dengan kecurigaanku tadi.
Bapak mencondongkan tubuhnya ke depan dan bertanya lagi, "Kenapa bisa mereka menyerahkan diri, apa ada alasan spesifik?"
Mas Eka mengangguk takzim. "Jadi selama pelarian setelah membunuh dan menggantung jasad Ki Ozi, mereka kerap dihantui oleh roh Ki Ozi yang menuntut pertanggung jawaban, begitu katanya. Sebelum ke kantor polisi, mereka bahkan sempat pergi ke seorang kyai untuk meminta didoakan agar lepas dari teror itu. Selain didoakan, sang kyai menyarankan mereka untuk mengaku perbuatanya sebagai syarat terakhir." Mas Eka jeda sebentar lalu melanjutkannya lagi, "Keluarga Ki Ozi cepat dipanggil setelah kami mendapat pengakuan dari ketiga orang itu. Tentu saja mereka mengakuinya dan untuk motif, mereka ingin memutus lingkaran setan mematikan itu, agar tidak semakin banyak korban berjatuhan. Juga mereka murka karena nama baik keluarga jadi tercemar, juga disertai motif dendam karena dari anggota keluarganya sendiri turut menjadi korban santet. Kalian pasti masih ingat kematian Pak Sariman beberapa waktu lalu? Dia 'kan, sepupunya Ki Ozi. Keluarga tahu jika Pak Sariman jadi korban santet karena ia sangat vokal menentang tindakan Ki Ozi yang kelewat biadab itu."
Bapak kembali duduk seperti semula, kelegaan nampaknya tengah ia rasakan juga. "Jadi otak pembunuhannya adalah orang terdekat. Pantas saja bisa sampai berhasil, mereka pasti punya pendekatan khusus. Tahu titik kelemahan Ki Ozi."
"Betul, Pak. Mereka bilang untuk mempersiapkan pembunuhan itu sudah diatur jauh-jauh hari. Pokoknya sangat memperhitungkan segala sesuatunya. Kata mereka, setiap orang punya waktu sialnya masing-masing, dan pembunuhan itu dilakukan di waktu yang diyakini sebagai hari sial Ki Ozi."
Bapak tersenyum samar ia mengangguk puas mendengar penjelasan dari suamiku, lalu berucap, "Dalang pembunuhan tukang teluh paling ditakuti itu sudah terpecahkan. Sekalipun jika sampai tidak terungkap, warga desa kompak tidak menaruh peduli. Toh, kematian Ki Ozi adalah lelayu yang dinanti-nanti," pungkasnya. Bapak agak berseri-seri wajah kendurnya seakan meremaja kembali, satu beban berat yang ditanggungnya mengenai keamanan desa sudah tak perlu dipikirkannya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H