Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelayu yang Dinanti-nanti

6 November 2023   17:21 Diperbarui: 13 November 2023   14:23 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya. Kepalanya juga cedera parah. Tempurung pecah, sekujur badan lebam-lebam. Tangan kiri patah dan jari jemari kakinya buntung. Darah yang keluar menetes ke air sungai di bawahnya."

Aku meringis ngilu sekaligus ngeri. Hanya dengan membayangkannya saja sukses membuatku bergidik. Sontak bulu di tubuhku meremang, udara dalam ruangan mendadak terasa mengigit dan mencekam. Benar-benar pembunuhan brutal. Tidak heran kalau keadaan lehernya seperti itu pantas saja mayatnya digantung dengan posisi terbalik karena jika posisi kepala di atas, bisa-bisa tubuh dan kepalanya bercerai berai.

"Si pembunuh seakan ingin menunjukkan bagaimana tragisnya akhir hidup Ki Ozi. Dendam Kesumat, siapa pun yang berani membunuhnya, pasti memiliki perencanaan dan perhitungan yang tepat dan matang," kata Bapak seusai menyeruput teh hijau hangat yang baru kuhidangkan.

Ah, iya ucapan Bapak ada betulnya. Aku sering melihat di tv, korban pembunuhan kerap kali berakhir dibuang, disembunyikan atau dikubur untuk menghilangkan jejak. Tapi Ki Ozi malah digantung, dipamerkan kepada warga seakan itu karya seni yang layak untuk diapresiasi. Itu bentuk hukuman, orang jahat meregang nyawa di tangan penjahat pula.

Aku menatap Bapak dan Mas Eka bergantian, keduanya terhanyut dalam hiruk pikuk benaknya masing-masing. Bapak yang berumur 60 tahun dengan jabatan kepala desa selama tiga periode yang dimana ia selalu didesak oleh warga untuk mencalonkan kembali karena tidak adanya orang yang dianggap mumpuni memimpin desa, sekarang pikirannya pasti kian mumet ikut memikirkan pembunuhan salah satu warganya. Juga Mas Eka yang merupakan anggota polisi, ikut disibukkan dengan penyelidikan kasus tersebut.

"Omong-omong, Bapak nggak ada gambaran siapa pelakunya?" tanyaku seraya menelisik wajahnya yang mulai kendur dihiasi garis-garis halus.

"Tidak. Belum ada gambaran sama sekali meskipun kita tahu ada banyak orang yang tidak suka dan sangat benci padanya. Memang siapa yang cukup berani membunuh Ki Ozi? Pastinya bukan orang sembarangan."

"Kukira Bapak tahu, 'kan kepala desa barangkali bisa memahami setiap karakter warganya."

Bapak terperangah bahkan sampai batuk-batuk. "Astaga, Ayu. Bapak ini bukan cenayang!"

Aku terkekeh, memang bukan cenayang tapi untuk "perkiraan" mungkin saja Bapak punya, tapi soal itu tak sampai kuucapkan padanya. Aku menyiku Mas Eka yang hanya bergeming, aku mengulangi pertanyaan yang sama seperti pada Bapak tadi, suamiku menjawab, "Mas belum tahu. Keterangan dari para saksi belum cukup bukti. Sejauh ini tempat terjadinya pembunuhan belum diketahui. Rumah korban sudah digeledah tidak ada tanda-tanda pembunuhan di sana, semuanya rapi. Kemungkinan sebelum dibunuh, Ki Ozi diculik terlebih dahulu. Dan di bawah jembatan pun tidak ada barang bukti yang berarti. Tapi jelas ini pembunuhan terencana."

Aku diam, tubuh ini merosot ke belakang dan pikiranku mengawang-awang. Suara jangkrik dan sunyinya malam meninabobokan setiap pikiran penghuni rumah hingga terhanyut di dalamnya. Apa yang dikatakan Bu Anis tadi pagi, kurasa memang tepat mengingat track record Ki Ozi yang sangat biadab, kasus kematiannya tidak perlu adanya keterlibatan polisi, ah tetapi ini kan negara hukum dan bagaimanapun membunuh tidak dibenarkan. Aku yakin setelah Ki Ozi lenyap, desa akan aman tentram seperti semula. Memoriku meluncur jauh ke masa ketika kali pertama Ki Ozi kembali tepatnya satu tahun yang lalu setelah lima tahun menghilang yang konon pergi untuk mencari jati diri. Aku pernah mendengar dari teman Bapak saat mereka mengobrol di beranda, ternyata Ki Ozi habis berguru ilmu dari Banten dan Banyuwangi. Sayangnya, bukan ilmu putih yang dibawanya pulang melainkan ilmu hitam, sosok lelaki 41 tahun itu membawa bala bencana, memboyong kelam dan kemudharatan ke tanah kelahirannya. Kala itu ada selentingan terdengar kian nyaring bahwa Ki Ozi membuka praktek perdukunan, ia memiliki ilmu teluh tingkat tinggi. Dan itulah awal mula malapetaka desa yang kerap kali digegerkan kematian warga dengan penyebab yang tak wajar. Si Raja Santet, itulah sebutan dari orang-orang untuknya. Dengan mengingat-ingat kembali tentang Ki Ozi, membuatku menjadi sangat tak nyaman. Aku mendadak terperanjat, Bapak dan Mas Eka tidak lagi bergeming ketika ada ketukan pintu dan ucapan salam dari pintu depan. Saat aku hendak pergi untuk membukanya, terlebih dahulu Bapak mencegahku dan berkata dengan cepat, "Itu tamu Bapak, kalian naik ke atas saja," perintahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun